Rabu, Agustus 10, 2022
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Review Kitab
10 Kiat Mendekatkan Diri Kepada Allah, Telaah Kitab “al-qawâ’id Al-‘asyrah” Karya Imam Al-ghazali

10 Kiat Mendekatkan Diri Kepada Allah, Telaah Kitab “al-qawâ’id Al-‘asyrah” Karya Imam Al-ghazali

10 Kiat Mendekatkan Diri kepada Allah, Telaah Kitab “Al-Qawâ’id Al-‘Asyrah” Karya Imam al-Ghazali

Roland Gunawan by Roland Gunawan
25/06/2021
in Review Kitab, Tajuk Utama
6 1
0
6
SHARES
110
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Islamina.id – Kitab “al-Munqidz min al-Dhalâl” merupakan biografi al-Ghazali dalam menemukan hakikat kebenaran, sedangkan kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn” merupakan pemaparan mengenai hakikat kebenaran itu sendiri. Maka kitab “al-Qawâ’id al-‘Asyrah”, selain juga kitab “Kîmiyâ` al-Sa’âdah” dan “al-Adab fî al-Dîn”, sejatinya merupakan kelanjutan dari kedua kitab tadi, yang secara khusus membahas tentang kaidah-kaidah dan kiat-kiat mendekati Allah SWT guna merengkuh cinta-Nya, khususnya—tentu saja—di dunia tarekat.

Pada awalnya, seperti kebanyakan kitab keagamaan lainnya, al-Ghazali membuka kitab ini dengan pujian kepada Allah Tuhan semesta alam atas segala karunia dan hidayah-Nya kepada para pecinta-Nya, yang mana hati mereka digerakkan oleh-Nya untuk mengikuti tuntunan al-Qur`an dan al-Sunnah. Kemudian al-Ghazali menyebutkan salah satu pilar tasawuf, yaitu qiyâm al-layl, yang menjadi ciri khas para pecinta-Nya. Mereka, seperti juga disinyalir di dalam al-Qur`an, menjauhkan lambung mereka dari tempat tidur di malam hari untuk beribadah dan memanjatkan doa kepada Allah SWT dengan perasaan takut dan harap, selain juga banyak berbuat amal saleh.

BacaJuga

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

Tradisi Menyantuni Anak Yatim di Bulan Muharram

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 035

Selanjutnya, al-Ghazali memberikan isyarat bahwa para murid dapat mendorong jiwa mereka untuk menanjaki tangga-tangga cinta jika mereka mampu membiasakan diri dengan dzikir-dzikir seperti yang diamalkan para sufi yang sudah mencapai puncak kematangan jiwa-ruh karena kedekatan mereka dengan Allah SWT. Kematangan jiwa-ruh mereka telah menghantarkan mereka memasuki istana tauhid, di mana mereka melepaskan dahaga kerinduan dengan minuman cahaya yang memasuki tenggorokan, jasad dan ruh mereka. Saat itulah mereka berdialog secara rahasia dengan Sang Kekasih Abadi yang menjamu mereka dengan hidangan cahaya-Nya.

Maka, bagi mereka yang mempunyai gairah untuk menjalani dunia tarekat supaya merasakan nikmatnya berdekatan dan mencintai-dicintai Allah SWT, di bawah ini terdapat beberapa kaidah—bisa juga diistilahkan dengan ‘kiat’—yang harus perhatikan, yaitu:

Pertama: Niat yang Tulus (al-Nîyyah al-Shâdiqah)

Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya [perbuatan] setiap orang tergantung niatnya.” Niat mempunyai makna tekad atau keinginan kuat di dalam hati, sedangkan ‘tulus’ mempunyai makna dikerjakan atau ditinggalkan hanya karena Allah. Sebagai seorang sufi, al-Ghazali meletakkan niat di peringkat pertama. Karena, sesuai kandungan hadits tadi, apapun pekerjaan seorang tergantung niatnya. Sehingga tak berlebihan bila ia menjadi pilar pertama di dalam tarekat, yaitu arah atau tujuan yang baik untuk mencapai apa yang diinginkan dan keteguhan untuk aktif di tarekat tanpa memperdulikan aral-aral yang datang menghalang-halangi jalan menuju kebenaran.

Untuk menguatkan pilar tersebut, para salik dianjurkan membaca kisah-kisah para pecinta Tuhan (al-muhibbûn) di dalam kitab-kitab tasawuf lama, seperti “al-Risâlah” karya al-Qusyairi, “al-Hulyah” karya Abu Na’im, “Thabaqât al-Awliyâ`”, dll. Dengan membaca kitab-kitab itu para salik diharapkan dapat menumbuhkan keinginan kuat di dalam diri mereka untuk menempuh jalan tarekat. Sebab tanpa keinginan kuat untuk meraih kedudukan-kedudukan tinggi sebagaimana yang berhasil diraih oleh para generasi terdahulu, sangat tidak mungkin dalam diri seorang salik tertanam niat yang tulus.

Kedua: Melakukan Amal Ibadah Hanya Karena Allah

Menyangkut kaidah ini, al-Ghazali menyitir sebuah hadits yang berbunyi, “Sembahlah Allah seolah kamu melihat-Nya. Dan bila kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Tanda bahwa seseorang melakukan amal ibadah hanya karena Allah adalah ia tidak mengikatkan hatinya dengan selain-Nya dan tidak menghendaki apapun selain keridhaan-Nya. Dia, selain menggantungkan harapan-harapannya hanya kepada Allah SWT, juga meninggalkan hal-hal syubhât.

Tentu saja, melakukan amal ibadah hanya karena Allah tidaklah mudah. Makanya setiap salik dituntut untuk menanamkan dan memupuk keikhlasan di dalam hatinya. Dan keikhlasan bukanlah sesuatu yang muktasab, akan tetapi sebagaimana yang dikatakan Suhrawardi merupakan salah satu dari rahasia Allah SWT yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Ketiga: Hidup Selaras dengan Kebenaran dan Mengesampingkan Hawa Nafsu

Maksud dari kaidah ini adalah, berupaya menundukkan dan mengikutkan hawa nafsu kepada ajaran-ajaran yang telah digariskan oleh syariat. Menurut al-Ghazali, kebenaran harus senantiasa diikuti dengan kesungguhan, dan hawa nafsu harus dihadapi dengan kesabaran. Dengan kata lain, sabar untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang merupakan tuntutan hawa nafsu. Sebab, perbuatan apapun yang didasarkan pada hawa nafsu hanya akan menjerumuskan manusia kepada hal-hal yang merusak dan mencelakai dirinya sendiri. Allah berfirman, “Janganlah kamu menjerumuskan diri kalian kepada kehancuran.”

Dan sebenarnya, apa yang disebutkan oleh al-Ghazali di atas hanyalah efek, keadaan, sekaligus konsekuensi perbuatan tanpa menguraikan secara jelas dasar-dasar tarekat yaitu: tawbah, khawf, rajâ`, huzn, qanâ’ah, zuhd, wara’, tawakkul, shabr, syukr, jihâd al-nafs, ridhâ bi al-qadhâ`, tark al-‘ibâd (dalam artian tidak memalingkan hati kepada keadaan para hamba).

Keempat: Melakukan Amal Ibadah Sesuai Syariat Tanpa Membuat-buat Berdasarkan Hawa Nafsunya

Di sini al-Ghazali menekankan agar seorang salik tidak menjadikan syariat sebagai permainan akal pikirannya. Ajaran apapun dari syariat harus dipatuhi dan tidak dibantah, sekalipun itu disampaikan oleh seorang budak yang hina. Nabi saw. bersabda, “Hendaknya kalian mendengarkan dan mentaati [ajaran-ajaran syariat], meskipun seorang budak bangsa Habsyi yang menyampaikannya.”

Al-Ghazali, dengan kaidah ini, berupaya menjauhkan para salik dari keterjemusan ke dalam jurang bid’ah yang dilarang oleh agama. Maksud bid’ah di sini adalah membuat sesuatu yang baru di dalam agama yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. Sebuah hadits menyebutkan, “Setiap sesuatu yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan [tempatnya] adalah di dalam neraka.”

Namun hadits tersebut jangan serta-merta dipahami bahwa setiap hal baru yang dilakukan oleh sekelompok orang adalah bid’ah yang menyesatkan. Menurut Syaikh Mukhtar, seorang tokoh sufi di Mesir, definisi bid’ah yang benar adalah “Taqyîd mâ athlaqahullâh wa rasûluh-u, wa ithlâq mâ qayyadahullâh wa rasûluh-u” (me-muqayyad-kan apa yang di-muthlaq-kan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan me-muthlaq-kan apa yang di-muqayyad-kan oleh Allah dan rasul-Nya). Contoh sederhananya adalah shalat Ashar. Shalat Ashar muqayyad dari segi rakaat dan waktunya. Kalau kita tambah atau mengurangi rakaatnya dan mengerjakannya kapan saja semau kita, ini baru bid’ah yang harus dijauhi. Berbeda dengan dua kalimat syahadat sebagai pondasi awal agama yang bersifat muthlaq. Artinya tidak terikat oleh zaman dan tempat. Kapan saja kita mau, kita boleh melafalkannya. Demikian juga dzikir (menyebut nama Tuhan), di mana saja kita boleh berdzikir, dengan model atau bentuk apapun. Bisa dengan tarian—seperti dilakukan oleh para pengikut Jalaluddin Rumi—, memakai musik, berdiri, tidur-tiduran, di bioskop, di cafe, di masjid, di rumah, di kuburan, atau dalam bentuk tahlilan—seperti tradisi masyarakat NU—dll. Pendek kata, di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun dzikir boleh dilakukan. Sebab, Allah SWT hanya menyuruh para hamba-Nya untuk banyak-banyak menyebut-Nya.

Dan perlu digaris bawahi, bahwa bid’ah ada dua, yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang buruk (bid’ah sayyi`ah). Bid’ah yang baik contohnya seperti anggur yang dibuat khamr. Perubahan anggur menjadi khamr disebut bid’ah. Menurut syariat, khamr kalau diminum hukumnya haram, karenanya disebut bid’ah yang buruk. Dari dulu hingga saat ini banyak orang suka meminumnya, sehingga ini bisa disebut sunnah yang buruk (sunnah sayyi`ah). Demikian halnya dengan anggur yang dijadikan kismis. Seperti yang pertama, perubahan anggur menjadi kismis juga disebut bid’ah. Menurut banyak orang, kismis enak dijadikan camilan. Sedangkan menurut syariat kismis tidak apa-apa kalau dimakan, karenanya ia disebut bid’ah yang baik. Dari dulu sampai sekarang banyak orang yang mengkonsumsinya, maka ini bisa disebut sunnah yang baik (sunnah hasanah).

Kelima: Memiliki Keinginan Kuat (al-Himmah al-‘Ulyâ) yang Jauh Dari Hal-hal Merusak

Di sini, yang dimaksud al-Ghazali adalah bahwa tidak dibenarkan bila seorang hamba menunda-nunda suatu perbuatan sampai hari esok. Contoh yang bisa disebutkan di sini—sebagaimana juga disebutkan al-Ghazali sendiri di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn—adalah taubat. Seorang hamba kalau merasa banyak melakukan dosa dan kesalahan, hendaknya dia segera bertaubat, tidak boleh menunggu hari tua. Sebab ajal manusia tidak diketahui kapan datangnya. Sehingga dengan demikian, setiap hamba harus menyegerakan taubat selagi Allah masih memberikan kesempatan baginya. Kesempatan, seperti jamak kita tahu, tidak datang dua kali. Nabi saw. bersabda, “Lakukan sesuatu untuk duniamu seolah engkau akan hidup selamanya. Dan lakukanlah sesuatu untuk akhiratmu seolah engkau akan mati esok.”

Keenam: Merasa Lemah (al-‘Ajz) dan Hina (al-Dzillah)

Di sini al-Ghazali tidak memaksudkan bahwa para salik boleh malas dan mengabaikan usaha. Justru sebaliknya, dia menghendaki para salik menumbuhkan kesadaran di dalam diri mereka bahwa apapun yang mereka lakukan semuanya adalah atas kekuasaan Allah SWT. Para salik harus berusaha semaksimal mungkin melakukan segala bentuk ketaatan kepada Allah SWT dengan tetap menyadari bahwa tanpa kekuasaan dan kehendak-Nya mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa. Mereka harus merasa lemah dan hina di hadapan-Nya. Dengan begitu mereka tidak akan menjadi sombong dan memandang makhluk-makhluk Tuhan yang lain dengan pandangan menghargai sekaligus menghormati.

Para salik harus mengetahui Kemahakuasaan Allah supaya mereka tidak mudah melakukan hal-hal yang melampaui batas. Allah senantiasa menyayangi seorang hamba yang mengetahui kekuasaan-Nya, tidak melampaui batas dan tidak keluar dari jalan yang dikehendaki-Nya.

Allah SWT mempunyai kekuasaan paripurna yang tidak dapat dilemahkan oleh apapun, dan tidak terikat dengan sebab apapun. Dia-lah yang menentukan nasib hamba-hamba-Nya, dan Dia pulalah yang mengatur kejadian-kejadian alam menurut ukuran dan kebijaksanaan-Nya.

Ketujuh: Menumbuhkan Rasa Takut (al-Khawf) dan Harap (al-Rajâ`)

Dalam kaidah ini, al-Ghazali tidak memberikan paparan lebih jauh mengenai al-khawf dan al-rajâ`. Hal ini kemungkinan karena dia telah membahasnya secara gamblang di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai representasi rujukan tasawuf aliran Ahl al-Sunnah.

Mengenai al-khawf, misalnya, al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, “Ketahuilah bahwa hakikat al-khawf adalah penderitaan hati karena mewaspadai kemungkinan terjadinya keburukan di masa depan. Terkadang terjadi karena mengalirnya banyak dosa, dan terkadang juga karena takut kepada Allah SWT dengan mengetahui sifat-sifat-Nya yang tentu saja akan menimbulkan perasaan takut, inilah yang paling sempurna (yang paling baik). Sebab, siapapun yang mengetahui Allah, niscaya dia akan takut kepada-Nya.”

Apa yang dikatakan al-Ghazali di atas kiranya selaras dengan firman Allah SWT yang berbunyi, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama [yang mengetahui kekuasaan dan kebesaran Allah].”

Sedangkan mengenai al-rajâ` atau mengharapkan pahala dan ridha dari Allah SWT, al-Ghazali mengatakan, “Al-rajâ` adalah ketenangan hati karena menantikan sesuatu yang sangat diinginkan.” Di sini, yang dimaksud al-Ghazali dengan sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT.

Al-Ghazali membedakan antara al-rajâ` (berharap kepada Allah) dan al-tamannîy (berandai-andai). Orang yang berharap kepada Allah adalah orang yang melakukan ketaatan dengan memohon ridha-Nya, sedangkan orang yang berandai-andai justru mengabaikan usaha karena sifat malas yang menggerogotinya.

Dari itu, seorang salik yang mengaku benar-benar mengharapkan ridha dari Allah hendaknya ia menyingsingkan lengan bajunya untuk berusaha secara sungguh-sungguh dan ikhlas sehingga ia mendapatkan apa yang diinginkannya, bukan hanya berpangku tangan. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal saleh dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada-Nya.”

Seorang salik yang ingin menghadap dan mendekatkan diri dengan Allah SWT harus mampu menggabungkan dan menyeimbangkan antara al-khawf dan al-rajâ`; tidak melebihkan al-khawf di atas al-rajâ` sehingga ia berputus asa dari rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya, juga tidak melebihkan al-rajâ` di atas al-khawf sehingga ia mudah terjerumus ke dalam jurang maksiat dan keburukan. Ia harus berupaya untuk terbang dengan sayap al-khawf dan al-rajâ` mengikuti hembusan angin kebenaran yang bersih, sehingga ia senantiasa berdekatan dengan hadirat Ilahi.

Al-Ghazali menegaskan, bahwa orang-orang yang takut (al-khâ`ifûn) tidak hanya satu tingkatan. Menurutnya, ada beberapa tingkatan al-khâ`ifûn: pertama, khawf al-‘awâm (takutnya orang awam), yaitu takut akan hukuman dan keterlambatan pahala; kedua, khawf al-khâshshah (takutnya orang khusus), yaitu takut akan keterlambatan teguran; ketiga, khawf al-khâshshah al-khâshshah (takutnya orang paling khusus), yaitu takut akan ketertutupan dengan nampaknya keburukan budi pekerti.

Sama halnya dengan orang-orang yang berharap (al-râjûn) yang juga ada beberapa tingkatan: pertama, rajâ` al-‘awâm (harapan orang awam), yaitu harapan mendapatkan sebaik-baiknya tempat kembali dan meraih sebanyak-banyaknya pahala; kedua, rajâ` al-khâshshah (harapan orang khusus), yaitu harapan memperoleh ridha dan selalu dekat dengan Allah SWT; ketiga, rajâ` al-khâshshah al-khâshshah (harapan orang paling khusus), yaitu harapan kemungkinan untuk syuhûd (menyaksikan) dan meningkatnya pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Allah SWT.

Kedelapan: Selalu Melakukan Wirid dan Dzikir

Dalam dunia tasawuf, wirid dan dzikir merupakan salah satu pilar tegaknya sebuah tarekat. Dan al-Ghazali menyadari betul hal ini. Bahkan ia secara terang-terangan menyatakan bahwa dia sudah sampai pada tingkatan dzikir dengan al-ism al-a’zham “Allah”.

Seperti halnya al-Ghazali, para ulama tarekat secara umum mengamalkan wirid dan dzikir, di samping untuk meningkatkan kematangan jiwa, juga untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebut saja misalnya Sayyid Abdul Karim al-Jili yang telah menyusun dzikir-dzikir untuk diamalkannya sendiri dan para pengikutnya. Dzikir-dzikir yang disusunnya itu terdiri dari tiga belas nama Allah, yang mana setiap nama disebut sebanyak 100 ribu kali. Ketiga belas nama itu adalah: Lâ Ilâh-a illâ Allâh, Huwa, Hayyun, Wâjidun, ‘Azîzun, Wadûdun, Haqqun, Qahhârun, Qayyûmun, Wahhâbun, Muhayminun, dan Bâsithun.

Nama-nama tersebut ternyata juga banyak dijadikan dzikiran oleh para ulama dan para pengikut tarekat yang lain. Dalam beberapa kitab tarekat disebutkan bahwa para pengikut Sayyid Ahmad Rifa’i mengamalkan nama-nama tersebut sebagai dzikir. Juga para ulama tarekat al-Bayumiyah yang menjadikan ketiga belas nama Allah SWT tersebut sebagai dzikir. Namun, hal ini tidak lantas berarti bahwa para sufi tidak mempunyai dzikiran dan wiridan lain selain ketiga belas nama tadi. Al-adzkâr al-nabawîyyah (dzikir-dzikir Nabi saw.) dan tilâwah al-qur`ân (membaca al-Qur`an) terbuka seluas-luasnya bagi para ‘pencari akhirat’ yang dalam pengamalannya tidak membutuhkan izin dari para syaikh tarekat sebagaimana pemahaman orang-orang awam selama ini. Berdzikir dengan selain ketiga belas nama tadi bahkan disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh Nabi saw.

Dan perlu diketahui, bahwa para ulama tarekat mengamalkan ketiga belas nama tersebut sebagai dzikiran berdasarkan ilham setelah sekian lamanya mereka bergelut di dunia spiritual. Di samping ketiga belas nama tadi, setiap tokoh tarekat juga mengamalkan dzikir khusus yang sesuai dengan keadaan (al-hâl) masing-masing. Setiap nama Allah yang tergabung dalam al-Asmâ` al-Husnâ mempunyai keistimewaan dan epifani yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan masing-masing tokoh. Adapun bagi para pemula atau murid yang baru memasuki dunia tarekat, hendaknya mereka mengamalkan dzikir nama-nama yang diajarkan oleh para syaikh sampai akhirnya Allah SWT membuka jalan bagi mereka dan memberikan ilham kepada mereka untuk mengamalkan dzikir-dzikir yang sesuai dengan keadaan masing-masing.

Kesembilan: Selalu Merasa Diawasi Allah (al-Murâqabah)

Murâqabah (pengawasan) juga merupakan salah satu pilar tarekat terpenting yang harus selalu ditegakkan oleh para salik. Terdapat dua murâqabah atau pengawasan yang secara umum diyakini di dalam tarekat, yaitu pengawasan Allah SWT (murâqabatullâh) dan pengawasan pembimbing spiritual (murâqabah al-musyrif al-rûhîy) terhadap hati para salik. Menurut para sufi, maksud dari pengawasan Allah SWT adalah melakukan munâjât (dialog rahasia dengan memohon ampunan, rahmat dan ridha dari Allah) seolah-olah kita sedang melihat-Nya. Para sufi mengatakan bahwa pengawasan jenis ini merupakan dasar utama bagi para pecinta Allah (al-muhibbûn) agar selalu dekat dengan-Nya. Sedangkan pengawasan pembimbing spiritual adalah pengawasan ‘teman spiritual hati’, yang dalam dunia tarekat disebut syaikh atau maha guru. Pengawasan syaikh sangat penting untuk menghindari tipuan setan. Sebab, tipuan setan yang kerapkali membayangi para murid di awal mula perjalanan mereka di dunia tarekat memerlukan ‘penolakan’ (muthâradah) yang sangat keras. Sementara spiritualitas para murid di awal perjalanan mereka terkadang tidak mampu memikul perjuangan melawan tipuan setan sendirian, sehingga mereka sangat memerlukan ‘teman spiritual hati’ guna mengawal perjalanan mereka. Kematangan jiwa-ruh dan pengaruh syaikh di dalam dunia spiritual akan sangat membantu perjalanan para murid agar mereka dapat menyaksikan kilatan-kilatan cahaya Tuhan. Seperti halnya pengawasan Nabi Muhammad saw. terhadap para sahabat di awal-awal mereka masuk Islam.

Banyak kalangan berpendapat, terutama generasi belakangan, bahwa syaikh bisa menjadi wasilah untuk sampai kepada Allah. Pendapat ini bisa dianggap benar kalau yang dimaksud adalah orang-orang awam yang benar-benar tidak memahami al-Qur`an dan al-Sunnah sehingga mereka tidak mampu mencapai Allah kecuali dengan mengkuti para syaikh. Akan tetapi pendapat tersebut bisa salah kalau yang dimaksud adalah bahwa ikatan spiritualitas seorang murid dengan syaikhnya dapat menghantarkannya untuk sampai kepada Allah SWT. Sebab, ikatan spiritualitas murid dengan syaikhnya justru akan menjadi hijab antara dia dan Allah. Bila ini terjadi, maka murid yang demikian selamanya akan bergantung kepada syaikhnya sehingga dia akan sangat kesulitan untuk mencapai keinginannya dalam mengarungi dunia spiritual. Makanya, alangkah akan lebih baik bila seorang murid, terutama kalau dia sudah mencapai tingkatan ahli ilmu dan makrifat, untuk secara langsung ‘menuju’ Allah dengan sendirinya sebagaimana dilakukan oleh al-Ghazali dan para sufi lainnya.

Seorang salik yang sudah lepas dari ikatan spiritualitas syaikhnya, untuk selanjutnya ia harus mampu mempertahankan kondisi hatinya di bawah pengawasan Allah SWT tanpa sekejap pun berpaling dari-Nya. Ketika ia konsisten dengan itu dan berhasil menafikan sama sekali entitas selain Allah dari hatinya, berarti ia telah mencapai level pertama murâqabatullâh, yaitu ‘ilm al-yaqîn. Kemudian, ketika ia sudah mampu melihat Kemahakuasaan Allah dalam menggerakkan dan mendiamkan segala sesuatu tanpa membutuhkan topangan entitas apapun selain Dzat-Nya, berarti ia telah mencapai level kedua, yaitu ‘ayn al-yaqîn. Selanjutnya, kalau ia berhasil melampaui semua itu dan fanâ` dengan Allah, di mana ia tidak lagi melihat sesuatu apapun kecuali ia melihat Allah padanya, berarti ia telah mencapai level terakhir, yaitu haqîqah al-yaqîn. Pada level ini seorang salik akan menyaksikan keindahan rahasia-rahasia dan cahaya Allah melalui musyâhadah. Ia menjadi sangat dekat dengan Allah karena ikatan cinta yang tanpa batas. Allah akan menjadi mata yang ia gunakan untuk melihat. Allah akan menjadi lisan yang ia gunakan untuk bicara. Allah akan menjadi tangan yang ia gunakan untuk memegang. Allah akan menjadi kaki yang ia gunakan untuk berjalan.

Kesepuluh: Mengetahui Lahir dan Batin Apa yang Harus Dilakukan dengan Usaha

Ketaatan apapun yang harus dilakukan oleh seorang salik dalam upayanya mendekatkan diri dengan Allah dan meraih cinta-Nya, harus diketahui terlebih dahulu ilmunya. Al-Ghazali selalu mengajarkan untuk mencari tahu mengenai seluk-beluk suatu amal sebelum dikerjakan, baik lahir maupun batinnya, terutama sekali menyangkut masalah ibadah. Contohnya sederhananya adalah shalat. Secara lahir, yang harus dipelajari dari shalat adalah tata-caranya, mulai dari niat sampai tahiyat akhir. Lalu secara batin, yang mesti diketahui dari shalat adalah sebab kenapa Allah mensyariatkan shalat, juga hikmah berikut faedahnya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengetahui ini semua, setiap hamba akan termotivasi untuk mengerjakannya semaksimal mungkin. Dan ia akan terus berusaha konsisten guna meraih banyak faedah dan hikmah sebagai bekal hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Tags: Imam Al ghazalikarya al ghazalikitab al qawaid Al Asyrah
Previous Post

Kenangan Kecil untuk Agus Sunyoto

Next Post

Dinamisasi Fatwa MUI di tengah Pandemi dan Dampaknya di Masyarakat

Roland Gunawan

Roland Gunawan

Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

RelatedPosts

bulletin jum'at
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

05/08/2022
muharram
Kolom

Tradisi Menyantuni Anak Yatim di Bulan Muharram

01/08/2022
Bulletin Jum'at Al-Wasathy
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 035

29/07/2022
al-Qur'an Sunnah
Gagasan

Ijtihad dan Gagasan Kembali kepada al-Qur’an Sunnah (2)

28/07/2022
hijrah
Kolom

Hijrah Kolektif dari Narasi Kebencian dan Pemecah Belah

28/07/2022
al-qur'an sunnah
Gagasan

Ijtihad dan Gagasan Kembali kepada al-Qur’an Sunnah (1)

27/07/2022
Next Post
Dinamisasi Fatwa Mui Di Tengah Pandemi Dan Dampaknya Di Masyarakat

Dinamisasi Fatwa MUI di tengah Pandemi dan Dampaknya di Masyarakat

Perjalanan Pemikiran Al-ghazali: Simbol Intelektualitas Islam Di Masanya (1)

Perjalanan Pemikiran al-Ghazali: Simbol Intelektualitas Islam di Masanya (1)

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

Musdah Mulia

Kikis Intoleransi, Jangan Ada Lagi Pemaksaan Jilbab di Sekolah

07/08/2022
bulletin jum'at

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

05/08/2022
muharram

Tradisi Menyantuni Anak Yatim di Bulan Muharram

01/08/2022
Bulletin Jum'at Al-Wasathy

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 035

29/07/2022
al-Qur'an Sunnah

Ijtihad dan Gagasan Kembali kepada al-Qur’an Sunnah (2)

28/07/2022

Trending Artikel

  • Pribadi Nabi Muhammad Saw Yang Introvert

    Pribadi Nabi Muhammad SAW yang Introvert

    80 shares
    Share 32 Tweet 20
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    62 shares
    Share 25 Tweet 16
  • Cara Islam Mengatasi Rasa Insecure

    52 shares
    Share 21 Tweet 13
  • Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

    49 shares
    Share 20 Tweet 12
  • Definisi Dai, Ustadz, Mufti, Murobbi dan Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.