islamina.id — Pemahaman-pemahaman moderatisme beragama tidak hanya bisa dipahami, akan tetapi juga disebarkan ke khalayak (netizen). Begitulah kalimat awal Habib Husein Ja’far Al-Hadar saat mengisi materi di hadapan peserta Muktamar Pemikiran Kyai dan Nyai Muda Pesantren, di Pesantren Al-Falak, Bogor, Selasa, (14/12).
Pengasuh konten populer ‘Pemuda Tersesat’ ini kemudian membuka dengan “jokes” perumpamaan. Para peserta yang dulu ingin orientasinya menjadi wali qutub, tetapi sekarang menjadi wali youtube.
Di dunia maya, kelompok-kelompok intoleran mendominasi untuk menyebarkan doktrin-doktrinnya. Hal ini dikarenakan sangat mudah, murah, dan paling efektif. Orang dapat sedemikian berubah dengan propaganda-propaganda di medsos.
Kita memasuki realitas baru yang dinamakan realitas virtual. Dimana orang sudah tidak lagi membedakan mana realitas nyata dengan realitas virtual (online). Bahkan, secara tidak sadar, orang lebih mementingkan realitas virtual daripada realitas nyata.
Dalam Muktamar Pemikiran Kyai dan Nyai, Husein menawarkan dua gagasan kepada para muktamirin. Gagasan-gagasannya antara lain yakni potensi digital dan potensi pesantren.
“Pertama, ada potensi digital, karena dalam riset menyatakan sebanyak 60 persen orang Indonesia menjadikan medsos untuk mencari rujukan ilmu agama. Fenomena inilah yang kemudian banyak pemuda mencari jati diri.” kata Husein.
Kepada para muktamirin, Husein juga memaparkan adanya satu realitas baru. Realitas baru yang muncul saat ini adalah ideologi netizen yang masih abu-abu. Tidak memiliki konsistensi sosok influencer yang dijadikan panutan.
“Saya sering di mention oleh orang yang memiliki dua sisi ideologi berbeda. Inilah salah satu problem yang belum diketahui oleh para gus dan ning!” ucap Husein.
Husein juga menceritakan, bagaimana awalnya ia membuat konten dengan segmentasi tasawuf. Yang notabene masih sedikit, sulit mencuri perhatian netizen, dan serba problematis.
“Ketika bicara tasawuf kepada para pemuda tersesat, mereka pusing. Juga bicara tasawuf pada kelompok ‘hijrah’, belum apa-apa sudah dituduh bid’ah. Serba problematis!” terang Husein di depan muktamirin.
Gagasan yang kedua, adanya potensi pesantren. Sekitar 30 ribu lebih pesantren di Indonesia mempunyai potensi menampilkan konten-konten keagamaan. Akan tetapi, kalangan pesantren (kelompok moderat) ini kurang militan dalam membuat konten.
“Kelompok moderat ini kurang militan saat membuat konten. Baru upload 2 atau 3 kali, sudah berhenti. Untuk itulah kelompok moderat harus lebih giat kembali di medsos untuk kampanye moderasi beragama.” tutur Husein.
Dalam dunia medsos, seseorang dapat membangun imajinasi dengan dua dimensi. Pertama, dimensi moderat dan kedua, dimensi ekstrimis. Sebagai contoh realitas, banyak terbitan Alquran, dengan memasukkan terjemahan-terjemahan versi kelompok ekstrimis. Media Alquran saja sudah bisa di-framing dengan ideologi tertentu.
Kemudian juga harus memahami basic algoritma, yang saat ini popularitas lebih penting daripada otoritas. Pola pikir pemilik perusahaan media adalah pragmatis. Untuk itulah mengapa perusahaan medsos tidak memikirkan isi konten, dan lebih mementingkan konten viral.
Baca Juga: Mengembalikan Peran dan Marwah Habib di Nusantara (2)