“Bronfenbrenner menegaskan bahwa aktualisasi nilai-nilai agama harus memiliki kondisi setting yang sinkron.
Agama merupakan way of life dan pijakan utama dalam mengambil berbagai keputusan. Sebagai sistem kepercayaan, agama berkontribusi dalam produksi perilaku manusia. Dalam desain pendidikan, pendidikan agama menjadi salah satu aspek pembangkit pendidikan karakter. Pendidikan menuju kematangan emosi dan rasa tanggung jawab akan efektif bila pendidikan agama berjalan sesuai kaidah. Meski diklaim sebagai moderator produksi perilaku humanis-harmonis, radikalisme dan intoleransi menjadi distraktor utama.
Penyampaian doktrin agama yang kaku dan menebar kebencian, mengkafirkan saudara sesama muslim, tentu saja dapat mengacaukan pikiran. Konsekuensi lanjutnya, hal ini membentuk pola berpikir ekstrim. Radikalis mengklaim bahwa mereka paling benar, sedangkan orang lain salah. Alhasil, irrational belief system yang akut dapat mendorong individu untuk bersikap ekstrim dalam beragama. Dalam rentang waktu tertentu, hal ini dapat merusak keseimbangan psikis.
Jaringan kaum radikal yang berupaya merusak fitrah pendidikan agama terus melebarkan doktrin intoleransi. Padahal, Islam hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ajaran agama dijadikan eksklusif untuk kelompok tertentu. Kaum radikal pun memandang sinis kelompok lainnya. Tentu saja, hal ini merupakan embrio penyimpangan ajaran agama. Agar pendidikan agama dapat menjadi moderator handal untuk memunculkan perilaku humanis harmonis, pendidikan agama harus inklusif dan damai.
Di tengah merebaknya pendidikan agama melalui dunia maya, fitrah pendidikan agama sebagai pemantik kesalehan sosial harus dijaga. Fitrah pendidikan agama adalah mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi semesta. Pendidikan agama idealnya disampaikan dengan cara yang ma’ruf sehingga termanifestasi dalam akhlak keseharian.
Sesungguhnya, setiap insan memiliki motivasi untuk meraih kebahagiaan batin melalui kematangan beragama. Kematangan dalam beragama ini harus terus dikawal pemangku kebijakan, para ulama, dan ormas Islam rahmatan lil’alamin. Umat harus memiliki kematangan beragama yang sehat. Jangan sampai, dakwah yang santun, harmonis, dan mencerahkan kalah ‘suara’ dengan ajakan berperilaku ekstrim dan radikal.
Jika dakwah yang menyejukkan menang ‘suara’, baik dalam jalur luring atau virtual-digital, maka umat pun akan terisi dengan ajaran Islam damai. Sehingga, naluri dalam beragama pun akan tumbuh penuh rasa welas asih , asah kognisi, dan asuh sesama. Upaya mengembalikan fitrah pendidikan agama sebagai moderator perilaku humanis dan harmonis dapat dilakukan dengan model sistem ekologis.
5 Sistem Bronfenbrenner
Bronfenbrenner menegaskan bahwa aktualisasi nilai-nilai agama harus memiliki kondisi setting yang sinkron. Agar pendidikan agama dapat menjadi moderator efektif bagi perilaku saleh sosial, maka setidaknya ada lima lapis proyek yang harus dilakukan secara berjamaah. Pertama, mikrosistem yang terdiri dari keluarga, pendidik, dan tokoh masyarakat. Mereka harus berkomitmen melakukan pendidikan yang tidak hanya kognitif-an sich, tetapi juga memberikan teladan, dan mentransfer values. Nilai-nilai toleransi dan Islam yang humanis dan damai harus diwujudkan dalam mikrosistem.
Kedua, mesosistem antara pengalaman di rumah, pengalaman di lingkungan belajar, dan pengalaman di masyarakat harus terhubung dan konsisten. Konsistensi pesan humanis dan damai dapat memudahkan nilai-nilai agama tumbuh dan melekat di hati anak. Kita harus mengambil peran dalam literasi agama yang efektif, khususnya pada anak. Jangan sampai, anak menelan mentah-mentah doktrin keagamaan yang menyesatkan dan radikal. Banyak kita temui, doktrin agama yang berlawanan dengan nuansa Islam rahmatan lil alamin.
Ketiga, pendidikan agama perlu ekosistem yang ‘sehat’ untuk memastikan bahwa agama dapat memantikkan kesalehan individu dan sosial. Meski pandemi sempat membatasi sejumlah aktivitas pendidikan agama, namun meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan dan pengayaan agama pada anak dan anggota keluarga harus tetap menjadi prioritas.
Keempat, makrosistem pendidikan agama harus berfungsi dengan baik. Orang tua dan pendidik harus berusaha untuk mewariskan pikiran-pikiran damai pada anak. Orang tua dan pendidik serta figur otoritas harus mewariskan mindset yang toleran, dan pola pikir yang bijak sesuai dengan kaidah agama. Kelima, pendidikan agama hendaknya dilaksanakan holistik sehingga memunculkan kronosistem yang mendukung perilaku beragama yang menyeluruh, damai, dan harmonis. Bila lima prasyarat konsistensi lingkungan di atas sudah terpenuhi, maka keber-agama-an yang humanis dan harmonis dapat terwujud.
Sayangnya, kaum radikal mendistraksi dengan beragam cara. Mereka mempengaruhi generasi muda untuk menjadi radikal. Bahkan, mereka melakukan rekruitmen secara on line sehingga pergerakan mereka demikian samar. Solusinya kini adalah, penciptaan lima sistem penguatan nilai-nilai toleransi dan wawasan Islam wasathiyah dalam lima sistem ala Bronfenbrenner harus segera diwujudkan. Kelima sistem tersebut dapat memberikan proteksi pada generasi dari ancaman intoleransi, paham radikal dan bahaya latennya. Wallahu’alam.