Tinggal menghitung hari lagi, kita memasuki bulan suci Ramadhan. Bulan dimana kita wajib menjalankan ibadah puasa dan memperbanyak amal shaleh. Jelang memasuki Ramadhan, ada berbagai tradisi unik yang dilakukan masyarakat Muslim Nusantara. Di beberapa wilayah Indonesia, terdapat banyak sekali tradisi dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Bulan Ramadhan menjadi sangat spesial, karena ada riwayat shahih dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab musnad-nya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلى الله عَليه وسَلم يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: “Rasulullah saw. memberikan kabar gembira kepada sahabat-sahabatnya, “Bulan Ramadhan telah datang. Ramadhan adalah bulan yang diberkahi. Allah telah mewajibkan puasa atas kalian. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup rapat-rapat dan setan-setan dibelenggu di dalamnya. Di dalam bulan Suci Ramadhan ada satu malam yang lebih baik daripada malam seribu bulan. Orang yang menghalangi kebaikan di dalam bulan Suci Ramadhan ini, maka dia akan terhalang dengan kebaikan.”
Data dari World Population Review, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Hal ini menjadikan nilai lebih bagi negara Indonesia sendiri yang dapat berjalan seiring dengan tradisi-budaya lokal dan Islam.
Dengan negara berpredikat Muslim terbanyak, sudah pasti bulan puasa akan selalu disambut dengan meriah oleh masyarakat. Beragam suku dan budaya tak jadi sekat penghalang untuk merayakan bulan suci Ramadhan. Mereka larut dalam makna ” al-islāmu dīn al-tsaqāfaẗ wa al-ḥaḍāraẗ ” (Islam adalah agama kebudayaan dan peradaban).
Apa saja tradisi yang dilakukan oleh Muslim Nusantara saat menyambut Ramadhan? Berikut tujuh tradisi yang dihimpun oleh penulis:
1. Meugang, Aceh

Meugang adalah salah satu tradisi dalam masyarakat Aceh yang masih dilestarikan oleh masyarakat setempat, baik rural maupun urban. Kata meugang juga sering disebut dengan kata mameumang, ma’meugang ketiga istilah sering diucapkan oleh masyarakat Aceh (Iskandar, 2010).
Beberapa referensi awal mula tradisi ini, yakni Raja Aceh, Sultan Iskandar Muda membagi-bagikan daging lembu atau kerbau kepada rakyat dan fakir miskin pada masa itu. Hal ini sebagai wujud syukur atas datangnya bulan suci Ramadhan. Bahkan dalam “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)“, Denys Lombard menyebutkan bahwa pada upacara meugang, juga ada semacam prosesi peletakan dan tabur bunga di makam para Sultan (Lombard, 2007). Kemungkinan ini juga sama halnya dengan tradisi ziarah.
2. Malamang, Sumatera Barat

Salah satu tradisi yang telah berlangsung sejak dahulu di Minangkabau, Sumatera Barat dan sudah jarang ditemui pada masa sekarang ini yakni tradisi malamang (membuat lamang).
Lamang yaitu makanan dari ketan yang dimasak bersama santan dan dikemas dalam wadah bambu, kemudian dimasak dengan perapian atau unggun. Makanan lamang (lemang) adalah salah satu makanan tradisional khas masyarakat Minangkabau, disamping randang, katupek (ketupat) dan lainnya. Malamang adalah proses pembuatan yang harus dilakukan untuk membuat lamang, dan tradisi membuat lamang itu lazim disebut dengan tradisi malamang (Refisrul, 2017).
Tradisi ini dibawa seorang penyiar Islam bernama Syekh Burhanuddin. Dikisahkan saat berkunjung ke rumah masyarakat dalam syi’ar Islam, disuguhkan menu makanan seperti gulai babi, rendang tikus, dan ular goreng. Kebiasaan penduduk yang masih ekstrem ini, akhirnya diolah dengan baik oleh Syekh Burhanuddin dengan memasak nasi—akhirnya diganti beras ketan— dalam ruas bambu.
Selain menjelang masuk bulan puasa Ramadhan, tradisi ini juga dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, menjelang Idul Adha, dan peringatan kematian (haul).
3. Nyadran, Jawa Tengah

Santoso dalam “Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, Dan Intisari Ajaran”, Tradisi Nyadran merupakan bentuk upacara selamatan di Jawa untuk menghormati arwah leluhur yang telah wafat serta dilaksanakan rutin setahun sekali menjelang bulan Ramadhan, tepatnya bulan ruwah atau Sya’ban (Santoso, 2012).
Nyadran juga disebut sebagai kegiatan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Rangkaian proses Nyadran diantaranya; membersihkan makam leluhur atau keluarga, membawa makanan hasil bumi, dan makan bersama. Tradisi ini dipercaya oleh masyarakat untuk membersihkan diri jelang bulan suci.
4. Megengan, Jawa Timur

Pada tradisi Muslim di Jawa, selamatan megengan dilaksanakan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan setiap tanggal 20 sampai 29 Sya’ban. Kegiatan ini umumnya ada di sekitar RT/RW setempat.
Megengan berasal dari kata megeng yang bermakna menahan (ngempet). Dalam arti lain sebagai penanda atau pengingat bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan puasa.
Dalam tradisi megengan ini, terdapat ambengan (sedekah), berupa nasi plus lauk pauknya, seperti telur, tahu tempe, apem, ayam, dan serundeng (Aibak, 2010).
Pada pelaksanaannya, umat Muslim berdoa mengharap kepada Allah SWT, supaya diberi kekuatan lahir batin melaksanakan puasa Ramadhan.
5. Nyorog, Betawi

Nyorog adalah kegiatan membagikan bingkisan atau makanan khas Betawi ke anggota keluarga atau tetangga dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan dan menyambut Idul Fitri. Tradisi ini biasanya dilakukan orang yang lebih muda ke orang yang usianya lebih tua (Zaelani, 2019).
Tradisi nyorog juga menawarkan beberapa tujuan, diantaranya: pendidikan sosial, pendidikan jasmani, pendidikan rohani, dan pendidikan akal. Semua itu dikarenakan proses silaturahim.
Saat ini, tradisi ini masih berlangsung di masyarakat Muslim Jabodetabek dan sekitarnya. Dengan menggunakan rantang besi (kotak makanan), para pemuda membagikan kepada para sepuh di keluarga sekitar.
6. Pacu Jalur, Riau

Pada mulanya, tradisi Pacu Jalur ini dimaksudkan untuk memperingati hari besar Islam seperti Maulid Nabi, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan tahun baru Hijriyah. Saat masa penjajahan, Pacu Jalur dijadikan kegiatan memperingati hari lahir Ratu Wihelmina (Ratu Belanda).
Pada awal abad ke-17, jalur atau perahu merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir.
Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya, jalur benar-benar digunakan sebagai alat transportasi substansial untuk warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut orang dengan kapasitas 40 (Hasbullah, dkk., 2015)
Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun. Perlombaan Pacu Jalur ini merupakan penghibur tersendiri bagi masyarakat sebelum memasuki bulan Ramadhan.
7. Ziarah Kubro, Palembang

Palembang sebagai kota yang memiliki peradaban tua, mempunyai ciri khas yakni kearifan lokal yang bernilai religius. Salah satunya adalah tradisi Ziarah Kubro yang sudah dikenal pada abad ke-16 M.
Tradisi Ziarah Kubro ini dimaknai sebagai usaha introspeksi diri dan menghidupkan memori para peziarah atas besarnya peran ulama dan para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam dalam menyebarkan Islam hingga pada masanya, Palembang dapat menyaingi atau bahkan menyalip Aceh sebagai pusat pembelajaran agama Islam (Amri & Maharani, 2018). Palembang pada masa itu mengalami perekonomian yang sangat maju dengan berbekal ekspor lada dan timah sebagai komoditas utama dalam mendorong laju perekonomian (Kersten, 2017: 47)
Selain tujuh tradisi diatas, masih ada banyak lagi tradisi lokal yang belum penulis sebutkan.
Baca Juga: Wayang: Sempat Dilarang, Akhirnya Disayang
Referensi:
Aibak, Kutbuddin. “Fenomena Tradisi Megengan di Tulungagung”. Jurnal Millah, Vol. X, No. 10, Agustus. 2010.
Amri, Prima, & Maharani, Septiana Dwiputri. “Tradisi Ziarah Kubro Masyarakat Kota Palembang dalam Perspektif Hierarki Nilai Max Scheler”. Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 2, Agustus. 2018.
Hasbullah, dkk,. Olahraga dan Magis: kajian terhadap Tradisi Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi. Pekanbaru: Asa Riau. 2015.
Iskandar. Perayaan Mameugang dalam Perspektif Hukum Islam. Laporan Penelitian Dosen. Lhokseumawe-Aceh: STAIN Malikusssaleh. 2010.
Kersten, Carool. A History of Islam in Indonesia. Edinburgh University Press, Edinburgh. 2017.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2007
Refisrul, “Lamang and Malamang Tradition in Minangkabau Society”. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 3, No. 2, November 2017.
Santoso, Imam Budhi. Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, Dan Intisari Ajaran. Yogyakarta: Memayu Publising. 2012.