Beberapa waktu yang lalu, viral seorang pria sengaja menendang dan membuang sesajen di Pelinggih (tempat pemujaan umat Hindu). Aksi yang dilakukan pria tersebut menjadi sorotan kalangan umat Islam Indonesia. Lalu apa hubungannya dengan kasus Ahok?
Islam telah hadir di bumi Nusantara sejak 14 abad yang lalu. Kemudian Islam menyebar melalui ekonomi (perdagangan), sosial, dan politik. Hingga saat ini, Islam menjadi keyakinan mayoritas masyarakat khususnya di Indonesia.
Realitas ini, tidak lain buah dari perjuangan dakwah yang dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Wali Songo dan ulama-ulama Nusantara. Teknik dakwahnya pun juga tidak langsung menghilangkan tradisi masyarakat lama, yang berafiliasi Hindu-Buddha.
Namun, beberapa dekade terakhir ini, umat Islam menghadapi realitas baru. Yaitu, gambaran Islam yang dogmatis membuat kelompok Islam ini menjadi intoleran. Sehingga praktek keberagaman yang sudah terjalin bertahun-tahun mulai keropos.
Seperti yang terjadi baru-baru ini. Pria yang diketahui sebagai relawan bencana erupsi Semeru itu, melakukan tindakan yang menyakiti umat agama lain. Motif yang dilakukannya adalah pemurnian Islam. Ia meyakini, bentuk sesajen bagian dari kemusyrikan.
Penendang Sesajen: Sebuah Kajian Hukum dan Psikologis
Masih ingat pada tahun 2017, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok didakwa dengan Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE, yang terbukti telah menistakan agama Islam. Dan masih banyak lagi kasus yang tidak penulis sebutkan disini.
Pasal ini juga berlaku untuk semua agama. Isi dari Pasal 156a KUHP berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.
Rupanya, Pasal ini mudah disalahgunakan untuk kepentingan politik dan individu, bahkan sangat rentan menyasar kelompok minoritas.
Dalam Islam sendiri, Allah berfirman dalam Alquran Q.S. al-‘An’am 108:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” [Q.S. al-‘An’am:108]
Dari ayat diatas, umat Islam wajib mencerminkan akhlak terpuji, yakni tidak mencaci-maki umat agama lain. Dalam arti juga tanpa mengganggu dan merusak sesembahan non-Muslim. Jika Allah sudah memperingatkan seperti itu, berarti harus dilaksanakan!
Pelaku intoleransi seperti pria penendang sesajen di Lumajang, adalah salah satu umat Islam yang tidak mengamalkan Alquran. Hal ini dikarenakan ideologi fundamental dari pria tersebut.
Roy J. Eidelson dan Judy I. Eidelson (2003) dalam jurnal American Psychologist berpendapat bahwa ada lima gagasan atau kepercayaan berbahaya. Diantaranya superioritas, ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan. Ditinjau lebih dalam lagi, kelompok yang memiliki pikiran superior, hanya ajaran dari kelompoknya yang dianggap paling benar dan yang berbeda dianggap salah.
Dampak dari perbuatan yang dilakukan oleh pria intoleran tersebut adalah menyakiti keyakinan non-Muslim. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya.
Sekali lagi menjadi peringatan, bahwasanya kita menghadapi musuh bersama. Musuh yang dapat mencederai ajaran Islam melalui kelompok Islam sendiri. Lalu, apakah pria itu tidak mencontoh akhlak Nabi Muhammad SAW?
Dari kasus pria ini, dapat dikenakan Pasal 156a KUHP serta Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Melihat dari video yang viral tersebut, unsur-unsur kebencian dan penodaan keyakinan agama cukup lengkap. Persoalannya adalah kembali di isi otak penendang sesajen, bisakah taubat menjadi Muslim moderat dan progresif?
Baca Juga: Perempuan dalam Jejaring Terorisme : Pergeseran dari Simpatisan Menjadi Martir