Kudus dulunya bernama Tajug yang posisinya ada di antara Selat Muria. Pada waktu itu Selat Muria sendiri masih menjadi pemisah antara pulau Jawa dengan Muria, dan salah satu kota di pulau tersebut adalah kota Tajug yang berada di tepi sungai Gelis. Dinamai Tajug karena memiliki banyak Tajug.
Tajug sendiri adalah bentuk atap arsitektur yang sangat kuno dan keramat. Tajug juga digunakan sebagai tempat sembahyang oleh masyarakat keagamaan Hindu. Selain itu kota Tajug sudah lama menjadi pusat perdagangan tetapi posisi kota Tajug yang jauh dari selat Muria tidak adanya pelabuhan yang begitu besar. Sehingga ia harus menggunakan Tanjung Karang yang merupakan pelabuhan kecil sebagai tempat transit untuk melanjutkan perjalanan menuju Jepara, Demak dan Juwana.
Komoditas utama ekspor pelabuhan Tanjung Karang adalah kayu yang berasal dari alam Muria selain itu juga pedagang yang berasal dari Timur tengah, Tiongkok. Sedangkan pedagang asal Nusantara menjual diantaranya kain, barang pecah belah dan pertanian dari hasil masyarakat kota Tajug.
Pada saat itulah para penyebar Islam berdatangan ke kota Tajug selain juga berdagang mereka juga syiar agama seperti yang dilakukan Kiai Telingsing yang datang dari etnis Tionghoa ahli dalam bidang ukir, melukis serta terkenal dengan lukisan pulau motif Dinasti Sung dari Tiongkok.
Kiai Telingsing hadir di Kota Kudus lebih dulu dari pada sunan Kudus namun kedua sama-sama menyebarkan agama Islam. Pada masa Kiai Telingsing animo masyarakat masih terbilang sedikit, setelah datangnya sunan Kudus ke kota Tajug masyarakat yang dulunya masih mayoritas memeluk agama Hindu dengan cara pendekatan dan tepa salira oleh Sunan Kudus sedikit demi sedikit mulai mengikuti ajaran Islam.
Tepa salira adalah suatu bentuk rasa tenggang rasa di mana saling menghormati, tidak menyalahkan apa yang menurut kita tidak sama dengan kita, misalnya hubungan baik agama umat Islam dengan umat Hindu pada zaman dahulu. Sunan Kudus telah mencontohkan sikap toleransi tersebut karena dengan hidup ber tepa salira kita bisa hidup berdampingan dengan baik
Kiai Telingsing dan Syeh Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) keduanya adalah penyebar agama Islam di kota Kudus dan memiliki peran masing-masing. Kiai Telingsing yang ahli dalam bidang seni ukir membuat sunan Kudus tertarik untuk mempelajari, sedangkan sunan Kudus yang ahli dalam bidang akidah membuat Kiai Telingsing ingin lebih tahu soal agama Islam jadi keduanya memiliki hubungan yang baik dan saling belajar satu sama lain. Pada masa akhir hayat Kiai Telingsing mencari ganti dan terpilihlah sunan Kudus sebagai gantinya untuk meneruskan ajaran agama Islam di kota Tajug.
Sunan kudus yang sebelumnya adalah sebagai Senopati di kerajaan Demak, selain juga menjadi Senopati sunan Kudus juga sebagai imam masjid agung masjid Demak serta menjadi Qadhi atau hakim di kerajaan Demak karena beliau sangat menguasai ilmu keagamaan yang sangat mumpuni, hingga akhirnya ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya di kerajaan Demak dan lebih memilih untuk berdakwah di kota Kudus. Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam sangat mementingkan unsur kehormatan kepada warga setempat. Hal itu dilakukan supaya Islam datang tidak membawa masalah dan kekerasan namun sebaliknya sunan Kudus berdakwah secara pelan-pelan dan santun seperti apa yang telah diajarkan oleh Baginda Rasulullah Saw dalam menyiarkan Islam,
Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) dalam berdakwah pun juga tidak menghilangkan makna kekeramatan dan kesucian kota Tajug. Sunan Kudus amatlah bijaksana dalam melakukan dakwahnya di antaranya adalah beliau dapat menyiarkan agama Islam dengan adaptasi di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Hindu-Budha dengan cara dakwahnya yang tidak menghilangkan adat istiadat masyarakat setempat.
Hal itu juga terjadi pada penamaan kota Kudus yang tidaklah jauh dari nama sebelumnya, Tajug sebagai tempat ibadah orang Hindu dan memiliki kekeramatan. Dengan demikian kota ini dianggap suci oleh masyarakat setempat, sunan Kudus pun dalam mengganti nama kota ini tak jauh berbeda hanya berganti nama yang diambil dari Arab Al-Quds tidak lain makanannya adalah suci.
Tidak hanya dalam mengganti nama sebuah kota sunan Kudus juga mengutamakan Tepa Salira, masyarakat Hindu memiliki sebuah keyakinan pada hewan sapi yang dianggap sebagai hewan suci bagi umat Hindu, sebagai bentuk penghormatan sunan Kudus melarang umat muslim untuk menyembelih sapi, sampai sekarang ajaran-ajaran sunan Kudus masih dilestarikan.
Kota Kudus menjadi sebuah kota sejuta Tepa salira masyarakat yang hidup di kota tersebut hidup rukun walaupun berbeda keyakinan. Masyarakat hidup dengan mengutamakan saling menghormati adalah pokok dalam menjalani hidup, nilai-nilai Tepa salira lah membuat kehidupan manusia menjadi lebih indah dan harmonis.
Baca Juga: Cara Wali Songo Mendakwahkan Islam di Nusantara
Referensi:
-Mas’udi, “Genealogi Walisongo : Humanisasi Strategi Dakwah Sunan Kudus”. Kudus: STAIN Kudus, Jurnal ADDIN Vol. 8, No.2.
-https://www.parist.id/2019/10/tepo-seliro-ajaran-toleransi-sunan-kudus.html