Sampai saat ini pasti ada yang selalu bertanya, kenapa terorisme dan radikalisme itu dikaitkan dengan Islam? Kenapa bukan agama lain, padahal secara aksi dan tindakan, hal serupa juga sering dilakukan oleh umat beragama lain. Jawaban yang tepat adalah bahwa terorisme dan radikalisme itu tindakan.
Jadi tidak ada kaitannya dengan identitas agama manapun. Adapun jika selama ini yang terkait dengan aksi tersebut agama Islam, karena memang pelakunya orang-orang muslim yang mengatasnamakan aksi mereka itu dalam rangka bela Islam, jihad di jalan Allah, melawan kezaliman, dan lain sebagainya.
Infiltrasi seperti itu sudah pernah muncul di era awal Islam sebagaimana terepresentasikan dalam kelompok Khawarij. Indikasinya, mereka beranggapan bahwa hanya mereka dan sektenya yang benar. Sedangkan siapapun yang berbeda pendapat dengan mereka dianggap kafir dan akan kekal di dalam neraka. Begitu pula siapapun yang melakukan dosa kecil, maka mereka dianggap kafir (al-Syahratsani 1992).
Dalam konteks hukum, dulu kelompok Khawarij ini selalu mendengungkan untuk menerapkan hukum Allah. Mereka selalu berdalih “siapapun yang tidak menerapkan hukum Allah maka mereka adalah kafir, zalim, fasik.” Bahkan tuduhan seperti itu juga dilancarkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib sehingga mereka melakukan pembunuhan terhadap Sayyidina Ali.
Secara politik, menurut Khudlari Beik (2005), kelompok Khawarij sangat melarang keras terhadap pemimpin yang dianggap diktator, dan tidak diserahkan secara dinasti melainkan dipilih oleh orang-orang salih. Namun mereka tidak mengakui Sayyidina Usman, Ali dan Muawwiyah. Mereka sangat membenci Ali karena dianggap telah berbeda dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Dalam sepak terjangnya, kelompok Khawarij dianggap sangat keras dalam beragama. Dan mereka dari dulu sangat membenci eksistensi Syiah sebagai pengikut Ali dan keluarganya. Namun dua kelompok ini pernah berkontestasi secara kekuatan politik maupun ideologi pemikiran di era Sahabat kecil dan Tabiin, sekitar abad 2 Hijriah (Beik 2005).
Implikasi atas pertarungan sengit di atara mereka masih terasa hingga saat ini. Meskipun Khawarij tidak tampak secara organisatoris, berbeda dengan Syiah yang bahkan dijadikan sebagai mazhab meinstrem negara Iran. Namun benih-benih kekejaman dalam beragama sebagaimana dulunya dilakukan oleh Khawarij kian tumbuh subur.
Benih-benih di Lembaga Pendidikan
Seiring merebaknya lembaga pendidikan yang menawarkan kurikulum menghafal Al-Qur’an dan kultur ala awal Islam, namun di balik itu ternyata ada benalu dalam beragama. Pasalnya, mereka secara ideologi dibangun atas kepanikan moral yang menganggap bahwa gejala beragama hari ini sudah menyimpang dari ajaran Islam yang benar (Anwar 2019).
Sebagai pemanis lembaga pendidikan yang bercirikan seperti itu selalu menjanjikan akan mengembalikan kejayaan Islam dengan melahirkan generasi-generasi ahli di bidang agama dan juga di bidang sains. Seperti yang mereka dengungkan beberapa tokoh, Ibnu Khaldun, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, dan sejumlah ulama terkenal lainnya, yang mereka selain ahli agama juga ahli sains.
Namun sebelum mereka beranjak lebih jauh, tampaknya mereka juga belum menelisik lebih jauh siapa tokoh-tokoh muslim kenamaan yang mereka sebut itu, dan lengkap beserta corak pemikirannya. Tidak menutup kemungkinan seandainya para pelopor lembaga pendidikan yang bercorak islamis itu hidup di zamannya para ulama kenamaan yang mereka sebut, pasti mereka jadi orang-orang yang ada di barisan depan mengafirkan.
Kenapa demikian? Karena para ulama kenamaan tersebut tidak memiliki corak beragama yang kaku sebagaimana yang dipraktikkan dalam lembaga pendidikan mereka hingga hari ini. Dalam pemikiran, mereka cenderung lintas batas. Ulama sekelas Al-Ghazali saja pernah melancarkan kritik kepada Ibnu Sina (ahli medis) dan Alfarabi atas beberapa corak pemikirannya yang dianggap tidak tepat. Kritik al-Ghazali bisa dibaca dalam karyanya Tahafut al-Falasifah.
Sebagai perbandingan, mereka dengan pemikiran-pemikiran yang progresif saja dianggap sesat, liberal, kafir. Bagaimana mereka bisa menyikapi corak pemikiran para ulama kenamaan itu yang sudah lintas batas? Sedangkan corak beragama mereka cenderung kaku dan beranggapan paling benar sendiri dengan mengklaim hendak kembali pada Al-Qur’an dan Hadits.
Gejala seperti itulah yang sering kita lihat dari tindakan mereka yang mengafirkan siapapun yang dianggap berbeda, termasuk beda pilihan politik, sistem ekonomi, perbankan, dan lain sebagainya. Buletin Islamina secara khusus pernah membedah gejala ini dengan melihat kasus surat wasiat yang ditinggalkan pelaku Bomber di Makasar dan penyerang di Mabes Polri awal tahun ini.
Menurut kesimpulan Islamina, mereka adalah para korban dari paham keagamaan yang kaku dan berwawasan sempit. Infiltrasinya sangat mudah dilihat sebelum secara riil terlibat pada aksi terorisme dan radikalisme.