Biografi tidak akan pernah terlepas dari beraneka ragam bumbu untuk menambah kesan heroik tokoh yang diulas, apalagi yang menulis putranya sendiri, kesan itu yang membuat Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, penulis, ulama tersohor asal Damaskus, Suriah, bimbang untuk menggoreskan pena, memotret keseharian ayah beliau.
Selain unsur subjektifitas, unsur keridaan ayah beliau adalah alasan terkuat kebimbangan beliau menulis, beliau mengenal betul ayahanda sangat asketis, tidak menyukai ketersohoran yang dapat mengundang decak kagum dan puji, sehingga andaikata beliau -Syekh Muhammad Said al-Buthi- rampung menulis kisah ayahandanya, tentu ayahanda tersakiti, lantas tidak meridai perbuatan anaknya.
Beliau percaya betul orang yang meninggal tidak ubahnya seperti orang hidup, bisa bahagia, bisa marah, melihat tingkah laku anak-anaknya, ini tertulis rapi dalam buku haza waalidi,
وأنا أعلم أن الموتى كالاحياء، يتعرضون لأسباب الرضا والغضب، كما يتعرضون لعوامل الراحة والألم.
Namun, kegusaran syeikh Muhammad Said al-Buthi menemukan titik terkuatnya, buku-buku biografi orang-orang yang sudah meninggal menjadi sarana panjat sosial anak-anak turunnya, karena tujuan tersebut, anda akan melihat biografi tokoh tidak akan sepenuhnya real, atau fully based on true story, ada sisi dramatis dan hiperbola yang disisipkan demi tujuan pansos.
Sebuah fenomena yang digambarkan Syekh Muhammad Said al-Buthi, seperti sebuah kuburan yang dibangun megah, menarik, kelihatannya seperti memulyakan mayit, namun hal itu hanya simbol kasta sosial ahli waris saja.
Beliau mulai menggerakkan tangan untuk mengambil pena, lagi-lagi beliau mengurungkan, padahal orang-orang yang mengenal betul Syekh Mulla sudah mendukung penuh inisiatif putranya.
Namun, pena itu akhirnya benar-benar disentuh, karena ingatan Syekh Muhammad Said al-Buthy, tentang cerita ayahnya, cerita kesedihannya dan kekecewaannya, cerita guru-guru ayahanda yang mengesankan, penuh tauladan, terabaikan, tidak tertulis, dan akhirnya terlupa.
Syekh bahagia, ada satu alasan untuk menggerakkan pena, ada alasan untuk mengobati kebimbangannya, menulis cerita keseharian salah satu orang saleh itu, bukankah ayahanda beliau juga termasuk orang saleh, beliau menulis ayahandanya agar cerita-cerita penuh keteladanan tidak terlupakan sebagaimana cerita ayahanda tentang guru-gurunya.
Beliau menulis ayahandanya, bukan sebagai ayahanda, namun sebagai salah satu orang saleh. Itulah yang membuat beliau kokoh menulis.
Setelah memiliki keyakinan cukup, beliau meminta petuah, seluruh tokoh berpengaruh di Suriah menyambut niat baik syekh Muhammad Said, apalagi catatan itu untuk tokoh yang memang saleh.
Syekh Muhammad Said semakin bersemangat menulis, hingga pada akhirnya beliau menyudahi kebimbangan beliau dengan meniru laku pribadi Nabi SAW, beliau beistikharah, berdoa, meminta bimbingan dan keridaan-Nya untuk niat baik beliau. Anda tahu apa yang terjadi? Catatan beliau tentang ayah beliau, menggugah sekali, seluruhnya berbahagia dengan hadirnya tulisan beliau, hingga Syekh Muhammad Said berkata, buku ini adalah karya saya yang paling banyak dibaca, semuanya karena yang saya tulis adalah ayahku.