Dalam rentang 100 tahun terakhir, mustahil untuk tidak menyebut nama Al-Qaeda dalam dinamika gerakan politik radikal Islam. Al-Qaeda menjadi salah satu kelompok paling berpengaruh dan paling disorot sepak terjangnya beberapa dasawarsa terakhir.
Al-Qaeda termasuk kelompok yang disebut-sebut sebagai kelompok teror awal yang eksistensinya sudah lebih dulu dibanding ISIS, sebelum adanya Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) berulah di Tanah Air. Nama Al-Qaeda pernah membuat geger satu dunia karena menabrakan menara kembar World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon 11 September 2001. Peristiwa tersebut akan selalu diingat sebagai tindakan teror paling kelam dalam sejarah umat manusia.
Al-Qaeda sendiri didirikan oleh seorang saudagar kaya asal Arab Saudi bernama Osama bin Laden. Awal mula bagaimana Al-Qaeda muncul seperti disebut KH. As’ad Said Ali dalam Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014) bisa dilacak dari satu pertemuan di Peshawar, Pakistan, Agustus 1988. Pertemuan ini dihadiri oleh Abdullah Azzam, Osama bin Laden, Ayman Az-Zawahiri, Sayyid Imam Asy-Syarif, dan beberapa orang lainnya. Keseluruhan yang hadir adalah mujahidin dalam perang melawan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan.
Pertemuan tersebut membahas mengenai masa depan gerakan jihad jika Uni Soviet pada akhirnya angkat kaki dari Afghanistan. Masing-masing yang hadir memiliki visi dan pendapat yang saling berbeda. Abdullah Azzam misalnya, ia berpendapat bahwa pasca jihad di Afghanistan para mujahidin sebaiknya melanjutkan perjuangan dengan menggeser medan jihad ke Palestina. Alasannya, Palestina telah puluhan tahun dijajah dan Israel selaku pihak yang menjajah merupakan musuh klasik umat Islam.
Menurut Kyai As’ad, gagasan Azzam tidak disetujui banyak orang. Beberapa yang tidak setuju adalah Ayman Az-Zawahiri dan Osama bin Laden. Zawahiri lebih memilih agar jihad diarahkan untuk menggulingkan pemerintahan kafir di negeri-negeri muslim seperti Mesir. Sedangkan Osama justru memandang pentingnya meneruskan perjuangan dengan meruntuhkan rezim-rezim boneka Uni Soviet di sebagian Asia yang masih bercokol. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk tidak sepakat tentang kemana arah jihad pasca Afghanistan.
Setelah Uni Soviet pergi dari Afghanistan, Osama kembali ke Arab Saudi dengan menyibukkan diri dalam kegiatan penyantunan alumni Afghanistan yang jumlahnya sekitar 4000 orang (As’ad Ali: 2014). Pemantik utama Osama bangkit kembali menyerukan jihad secara fisik terjadi ketika Irak menginvasi Kuwait. Pasalnya, Osama khawatir invasi tersebut akan merembet ke Arab Saudi.
Osama lalu menawarkan bantuan ke pemerintah Saudi untuk melawan Irak. Tawaran itu sayangnya ditolak. Saudi malah meminta bantuan AS untuk menghalau Irak. AS bersedia membantu yang ujungnya membuat ratusan ribu pasukan AS membanjiri Arab Saudi guna bersiap apabila agresi Irak bergeser kesana.
Datangnya pasukan AS di Arab Saudi ditentang habis-habisan oleh Osama. Menurut Osama mengundang AS ke Arab Saudi adalah penghinaan besar dan menodai kesucian Tanah Suci. Osama mengkritik pemerintah yang akhirnya membuat dirinya diusir dari Arab Saudi. Pengusiran inilah yang nantinya mengaktifkan kembali radar jihad Osama pasca perang Afghanistan.
Setelah pergi dari Saudi, ia melanglang buana ke banyak negara muslim untuk konsolidasi gerakan jihad secara serius. Bersama Ayman Az-Zawahiri, Osama berkeliling untuk membicarakan masa depan jihad kepada para alumni Afghanistan pasca datangnya pasukan AS ke Saudi. Usaha Osama ini faktanya memang berhasil. Banyak orang tertarik dengan seruannya. Osama pun memiliki banyak pengikut di berbagai negara. Hal demikian nantinya yang membuat Osama secara resmi mendeklarasikan Al-Qaeda sebagai gerakan jihad secara terbuka.
Visi Al-Qaeda
Al-Qaeda sebagaimana jamak diketahui kerap melakukan tindakan kekerasan dalam rupa terorisme. Tidak terhitung berapa banyak nyawa yang melayang akibat tingkah Al-Qaeda. Osama mengarahkan Al-Qaeda untuk menyerang semua simbol kekuatan barat, dalam hal ini AS dan sekutunya. Alasan utama mengapa AS dan sekutunya yang dipilih sebagai target adalah karena sepak terjang negara-negara itu yang selama ini kerap menindas negeri-negeri muslim dan menjadikan negeri-negeri itu sebagai boneka.
Al-Qaeda dimaksudkan sebagai alat melawan hegemoni negara-negara tersebut sekaligus membebaskan tanah muslim dari cengkeraman negeri barat. Jalan yang ditempuh untuk mewujudkan visi ini melalui jalur jihad secara fisik. Osama menafsirkan jihad seperti yang pernah ditafsirkan Sayyid Qutb, Abdullah Azzam, Umar Abdurrahman dan para ulama Salafy Jihadi lain.
Menurut penafsiran mereka, jihad tidak bisa dimaknai secara defensif atau hanya bekerja ketika diserang oleh musuh. Jihad pada dasarnya bersifat aktif guna menegakkan keadilan dan kehormatan Islam. Dalam konteks tersebut, selama ada ketidakadilan dan ada kondisi saat kehormatan Islam dirusak, umat Islam wajib berjihad. Dari pemahaman semacam inilah kemudian metode perjuangan bersenjata ala Al-Qaeda mendapat legitimasi. Osama selanjutnya mengarahkan perjuangan bersenjata tersebut untuk memerangi secara total semua kekuatan AS dan sekutunya.
Irisan Al-Qaeda dengan Teroris di Indonesia
Ketika Al-Qaeda lahir di akhir abad 20, Al-Qaeda mendapat tempat di hati para mujahidin di seluruh dunia. Banyak orang dari berbagai dunia terpikat dengan retorika dan sepak terjang Al-Qaeda. Di Indonesia sendiri, sosok macam Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir adalah contoh dari mereka yang terpengaruh dan ikut serta melakukan perjuangan model Al-Qaeda.
Sungkar dan Ba’asyir ialah pendiri sekaligus pimpinan organisasi teroris Jamaah Islamiyah (JI). JI berdiri di awal 1990-an. Awalnya Sungkar dan Baasyir merupakan aktivis Darul Islam (DI) yang dulunya dibentuk oleh S.M Kartosuwiryo. Namun karena perbedaan pendapat dengan pimpinan (DI), pada tahun 1992 Sungkar dan Ba’asyir keluar dari DI. Setelah keluar dari DI, keduanya lalu membentuk JI sebagai wadah baru perjuangan.
JI dalam dinamika gerakan teror di Indonesia terkenal sebagai otak dari berbagai aksi teror yang pernah terjadi. Bom Natal 2000, bom Bali 2002, dan bom JW Marriot 2003 merupakan bukti aktivitas teror JI.
Secara organisasi, tidak ada hubungan antara JI dengan Al-Qaeda. Namun secara visi dan model perjuangan keduanya punya hubungan yang tidak terpisahkan. JI dan Al-Qaeda sama-sama mengambil jalur kekerasan dalam mewujudkan cita-cita perjuangan. Keduanya juga sama-sama menyerang simbol-simbol kekuatan barat.
Hubungan ini diperkuat dengan fakta bahwa sejak 1985, Sungkar ketika masih berada dalam DI rutin mengirimkan anak-anak muda untuk ikut bergabung dalam gerakan jihad di Afghanistan melawan Uni Soviet. Mereka yang dikirim inilah yang nantinya menjadi pelaku utama dalam rangkaian peristiwa teror di Indonesia.
Kenyataan itulah yang menjelaskan mengapa sesaat setelah JI lahir, menurut Solahudin dalam NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia (2011), Sungkar mengontak Osama untuk meminta dukungan atas berdirinya JI. Osama menyambut baik dan bersedia menerima para aktivis JI untuk dilatih secara militer di kamp pelatihan milik Al-Qaeda. Hubungan itulah yang terus berlangsung sekian tahun hingga nantinya kedua kelompok ini redup dengan sendirinya.
Dari situ kemudian dapat ditarik benang merah bahwa meskipun medan jihad kedua kelompok ini berbeda secara geografis, tapi irisan secara ideologis dan gerakan di antara keduanya begitu kentara dan tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Hari ini Al-Qaeda dan JI pengaruhnya sudah cukup minim dalam menciptakan teror ke masyarakat. Hanya saja, kita tidak boleh lengah dan abai dengan potensi kemunculan Al-Qaeda lain atau JI lain di Indonesia.
Indonesia adalah negara damai yang tidak selayaknya diganggu dengan segala aksi kekerasan dalam rupa terorisme. Terorisme selain merugikan, ia juga menciderai nilai luhur kemanusiaan yang dipegang bangsa Indonesia. Untuk itu, segala bentuk terorisme harus ditolak dan dilawan dari Indonesia.
Baca Juga: Membaca Masa Depan ISIS Pasca Keruntuhannya