Beberapa hari lalu jagat media sempat dihebohkan mengenai masakan khas padang “rendang non-halal” pada minggu, 12/6/2022. Berita tersebut secara bombastis memenuhi media sosial maupun mainstream. Kejadian itu menarik paksa atensi public untuk memperdebatkannya.
Anehnya kabar ini baru diangkat kembali di jagat media setelah 2 tahun berlalu. Fakta ini diperkuat oleh Sergio selaku pemilik usaha yang kaget ketika restorannya itu menjadi viral. Pasalnya, restoran tersebut ditengarai tidak menghargai adat minang yang sudah melekat dengan ajaran agama Islam.
Tulisan ini tidak akan membahas kelayakan nama masakan tersebut, melainkan melihatnya melalui sudut pandang politik. Bagaimana momen-momen yang bersentuhan dengan agama dan budaya sering kali menjadi tunggangan politik dalam menutupi berbagai macam polemik.
Politisasi Agama
Gurana Ongjenoviejasna Jozelic (2014) mendefinisikan politisasi agama sebagai “Abuse of religion as a political means to an end”, disalahgunakan dan diselewengkannya agama untuk tujuan politik. {baca : Meditasi Agama}
Sejauh ini pelekatan istilah ”Politisasi Agama” terlihat pincang dan diskriminatif. Tak jarang hal ini lebih dilekatkan kepada orang-orang yang kontra terhadap pemerintah, dengan kata lain, mereka yang berbeda kepentingan dalam politik.
Politisasi agama dapat menjadi jalan untuk merebut kekuasaan dan untuk mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Singkatnya isu agama dapat menjadi dua mata pisau di bawah tangan orang-orang yang minim moralitas.
Kasus “rendang non-halal” tidak jauh berbeda dengan kasus “pengharaman wayang” yang sempat menjadi polemik di media sosial, padahal video tersebut sudah tenggelam selama dua tahun lalu, namun menjadi viral karena ulah oknum penceramah yang serampangan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Atik Astrini mengenai “Hoax dan Banalitas Kejahatan” mengungkapkan bahwa isu-isu SARA merupakan hal yang paling sering diangkat untuk materi konten hoax. Isu tersebut dimanfaatkan untuk mempengaruhi opini publik.
Ia juga menjelaskan bahwa politik, kekuasaan dan ekonomi memiliki pengaruh yang besar dalam mempolarisasi opini masyarakat. Meskipun dalam kasus “rendang non-halal” bukanlah sebuah hoax, melainkan sebuah realita dan fakta, hanya saja yang patut disoroti ialah alasan tertentu mengapa isu ini sengaja diangkat ke permukaan.
Sederhananya, pemunculan berita mengenai “rendang non-halal” ini merupakan isu yang dapat membiaskan fokus masyarakat dari hal-hal yang substansial. Dengan mengangkat kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau dapat menggiring opini masyarakat untuk abai dan acuh terhadap hal-hal fundamental mengenai kesejahteraan masyarakat, ketimpangan pangan, dll.
Dengan demikian, agama acapkali tidak dipahami sebagai sebagai instrumen pembebasan dan pemberdayaan, melainkan lebih mudah dimengerti sebagai alat legitimasi bahkan dominasi. Jika simbol-simbol agama digunakan sebagai tameng dalam mempertahankan kekuasaan, secara tidak langsung agama ditarik paksa untuk tunduk atas kehendak manusia yang berkuasa.
Membangun Sikap Kritis Masyarakat
Dalam konteks kemajuan teknologi, informasi dan kebebasan mengekspresikan pendapat, masyarakat tidak boleh kosong dari sikap kritis untuk melihat pola-pola yang disinyalir dapat menggiring opini publik.
Isu SARA merupakan hal yang sensitif di media sosial, semua orang bernafsu untuk merespon segala hal yang bersinggungan dengan SARA. Sehingga umat muslim dirasa perlu saling mengingatkan agar tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang dapat membiaskan fokus mereka dari sesuatu yang substansial.
Selain itu, para pemuka agama memiliki peran penting untuk memberikan ketenangan dan pembelajaran yang etis terhadap masyarakat, agar selalu merawas mawas diri dan berhati-hati dan senantiasa bijak dalam merespon segala sesuatu di media sosial.
Bagaimanapun juga, simbol-simbol keagamaan sangat riskan digunakan untuk merebut kekuasaan ataupun mempertahankan kekuasaan. Karenanya para pemuka agama harus memberikan pengajaran yang murni untuk melepaskan jeratan agama dari intrik-intrik politik.
Pendek kata, Indonesia bukanlah negara teokrasi, tapi relasi antara negara dan ajaran agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga keseimbangan elemen masyarakat dan pemerintah amat penting dalam membangun tatanan sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.
Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi untuk menjaga ajaran agama dari segala kemungkinan yang dapat mengebiri dan memperalat nilai-nilai ajaran agama itu sendiri demi kepentingan politik. Karena sejatinya kehadiran agama dalam lingkaran politik berperan sebagai pedoman etis masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Wallahu A’lam
Baca Juga: Membangun Agama Kerakyatan