Islam adalah agama yang tidak hanya mudah dan tidak memberatkan, tetapi juga agama yang sangat menghormati nyawa manusia. Jaminan terhadap kehidupan dan nilai sebuah nyawa menjadi perhatian Islam melalui berbagai ajaran yang disyariatkannya. Tentu saja menjadi ironi jika umat Islam justru mudah menghilangkan nyawa dengan alasan agama.
Saya secara pribadi belajar tentang Islam sebagai agama yang sangat menghargai nyawa dari hal paling kecil dalam peribadatan. Semisal ketika dalam pembahasan faktor dibolehkannya tayamum. Ada dua faktor bagaimana Islam menghargai nyawa manusia. Faktor pertama, karena sakit yang dapat membahayakan nyawa dan keselamatan fisik ketika menggunakan air. Di sinilah sejatinya Islam memprioritasnya nyawa ketimbang kesempurnaan ibadah melalui wudhu’.
Faktor kedua, ini yang menjadi titik penting, ketika tidak ada air yang hanya cukup untuk memberikan seseorang yang haus. Tidak berhenti di situ saja, bahkan ketika ada hewan yang haus sekalipun. Bukan sekedar menghormati nyawa manusia, tetapi Islam menunjukkan kelasnya sebagai agama yang begitu sangat menghormati nyawa makhluk.
Atas dasar hal yang sangat sederhana ini bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama yang sangat menghormati nyawa. Karenanya, tidak susah bagi para ulama klasik ketika memeras subtansi tujuan syariat (maqasyid Syariah) dengan menempatkan menjaga nyawa (hifdz nafs) sebagai salah satu pilarnya. Bahkan menurut Saya dari lima tujuan syariat, menjaga nyawa adalah pilar paling utama, meskipun dalam perdebatan kalangan ushuli ini masih status debatable.
Kaidah fikih pokok yang ketiga dalam madzhab Syafii yang berbunyi kondisi darurat membolehkan hal yang dilarang (ad-dharuratu tubihul mahdhurat) menunjukkan bagaimana Islam menempatkan nyawa demi kepentingan agama. Artinya, hal yang dilarang dalam agama dalam kondisi normal, boleh dilakukan ketika dalam kondisi darurat. Kondisi darurat (dharurah) bukan sekedar kondisi sulit (masaqat), tetapi situasi yang bisa membahayakan nyawa manusia.
Dalam implementasinya ketika seseorang kelaparan dan meyakini diri akan meninggal ketika tidak memakan sesuatu, mengkonsumsi hal yang dilarang dalam agama demi menjaga kelangsungan hidupnya bukan hanya kebolehan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan. Dalam contoh lain, seseorang bisa melakukan pelanggaran hukum agama jika dalam kondisi dipaksa (ikrah) yang dapat mengancam nyawa manusia.
Dalam semangat Islam sebagai agama yang sangat menghormati nyawa manusia ini ada dua hal yang patut dijadikan bahan cerna dalam beragama secara cerdas. Pertama, seluruh ajaran Islam sejatinya mengandung semangat menjaga nyawa. Artinya seluruh ajaran Islam bertujuan menjaga terciptanya kondisi damai yang menjamin kelangsungan hidup manusia yang harmonis.
Kedua, seluruh ajaran Islam tidak akan mengorbankan nyawa manusia demi kepentingan agama. Artinya patut ditegaskan dengan seyakin-yakinnya bahwa tidak ada ajaran Islam yang mendorong kepada umatnya untuk menghilangkan nyawa sendiri apalagi nyawa orang lain.
Pertanyaannya, bukannya ada ajaran Islam yang justru secara eksplisit mengucurkan darah semisal qishas. Bantahan terhadap keraguan ini langsung ditegaskan dalam firman Allah : “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 179). Hukum qishas merupakan jaminan agar praktek kekerasan dan penghilangan nyawa manusia tidak terjadi lagi.
Dalam ayat di atas, Saya lebih tertarik dengan redaksi “wahai orang-orang yang berakal”. Artinya, jika umat Islam menggunakan nalar pikirannya dalam mencerna ajaran dan hukum Islam, mereka akan melihat tujuan implisit dari syariat tersebut dengan yang sebenar-benarnya. Karena itulah, tradisi ulama salaf menjadi penting diteladani dengan kegairahan ijtihad mereka dalam memahami Islam dengan utuh dan mendalam.
Kesalahan umat saat ini hanya melihat secara tekstual bahkan artifisial suatu ajaran, tanpa menggunakan akal dalam mencerna ajaran Islam. Akibatnya, banyak sekali ajaran Islam yang sejatinya mengandung nilai penghormatan terhadap nyawa justru dijadikan alasan untuk menghilangkan nyawa. Jihad dalam arti perang (qital) misalnya. Perang yang sejatinya disyariatkan oleh Allah untuk melindungi nyawa manusia, justru dipahami tanpa berakal sebagai dalil untuk menghilangkan nyawa manusia.
Kebodohan dalam beragama menyebabkan pemahaman yang dangkal, bahkan bisa mendatangkan musibah terhadap kehidupan manusia. Contoh paling dekat di mata kita saat ini adalah cara beribadah di tengah wabah. Kebodohan dengan hanya berbekal ketaatan buta justru berpotensi mendatangkan musibah, tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga ancaman bagi yang lain.
Begitu banyaknya dalil nash dan referensi ijitihad ulama terdahulu dalam menyikapi cara beribadah di tengah wabah. Toh, masih ada sebagian kecil umat Islam saat ini memilih mengabaikan semangat Islam sebagai agama yang sangat menghargai nyawa dengan dalih tidak memerlukan nyawa karena sepenuhnya Tuhan yang mengatur. Pola pikir ini menjadi menyesatkan karena Islam dengan seperangkat ajarannya telah memberikan pelajaran penting bagaimana menghargai nyawa manusia. Bahkan dalam ibadah pun Islam memilih mementingkan nyawa manusia.