Islamina.id – Perbedaan pandangan di para ulama adalah hal yan biasa. Kata Umar bin Abdul Aziz; “yang menyenangkan saya adalah kalau memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama”. Dengan perbedaan pendapat di kalangan para ulama, maka umat memiliki banyak referensi dan pilihan. Yang terjadi sekarang ini adalah yang berbeda pendapat bukan ulama, sehingga saling menyerang satu sama lain.
Kalau betul-betul ulama misalnya seperti almarhum Kyai Sahal Mahfudz mampu berbeda pendapat dengan Kyai Maimun Zubair. Atau Kyai Hasyim Asy’ari berbeda pendapat dengan Kyai Ahmad Dahlan (Muhammadiyah). Justru perbedaan pendapat itu menjadi indah. Belakangan ini yang terjadi adalah bukan ulamanya yang berselisih, tapi umatnya yang berselisih karena sebagian memposisikan dirinya sebagai hakim.
Orang-orang yang disebut sebagai ulama, akhirnya di-bully oleh umat sendiri. Hal ini sudah lama diprediksi oleh al-Ghazali di dalam kitab al-Ihyā’ ‘ulūm ad-dīn. Yakni akan datang satu era kepada umatku dimana yang surplus adalah para penceramah. Yang defisit justru para fāqih atau orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan. Jika itu terjadi, maka kasihanilah tiga kelompok.
Yang pertama adalah ‘azīzan dalla. Orang yang ketika menjabat mulia, dan ketika tidak menjabat tidak mencaci maki. Yang kedua, ghaniyyan qad iftaqara, orang kaya yang jatuh miskin. Kalau orang tersebut miskin dari awal tidak masalah, tetapi ini merupakan orang yang kaya raya tiba-tiba jatuh miskin. Dan yang ketiga ini ialah faqīhan yal’abuhu juhāl, orang alim di-bully oleh orang-orang bodoh. Yang terjadi sekarang ini adalah orang-orang yang belajar agama dari kecil sampai sekarang itu di-bully dan dipermainkan oleh orang-orang yang baru masuk Islam.
Lalu, untuk menghadapi kenyataan yang seperti itu adalah dengan kesabaran. Karena kesabaran para ulama itu berguna. Dan tidak ada pilihan lain. Jadi, perbedaan pendapat diperbolehkan. Semestinya yang betul-betul ulama, mereka akan mengerti bahwa poin tersebut memang potensial diperselisihkan.
Banyak orang yang mau menghabiskan energi untuk memproblematisasi persoalan-persoalan cabang karena dianggapnya sebagai persoalan pokok. Jadi, umat ini juga harus diedukasi membedakan antara yang pokok dengan yang cabang. Antara yang fardhu ‘ain dengan yang fardhu kifayah.