MUI sebagai lembaga fatwa negara dibebani untuk mengeluarkan pendapat untuk menyikapi problem-problem sosial keagamaan. Dari awal berdirinya melihat dinamika fatwa MUI dalam konteks eksistensinya sebagai lembaga fatwa negara sangat menarik (Suaedy 2020). Di sisi lain MUI pernah menjadi oposisi pemerintah, pernah menjadi patronase pemerintah dan pernah menjadi penyetir pemerintah.
Tetapi di era Pandemi seperti sekarang ini, MUI cenderung sejalur dengan wacana pemerintah dalam menyikapi wabah yang berkaitan dengan isu-isu keagamaan. Seperti anjuran untuk melaksanakan ibadah di rumah, tidak wajib shalat jum’at, hingga kremasi terhadap jenazah muslim yang terjangkit covid.
Semenjak awal mula negara menghadapi Covid, juru bicara MUI, Asrarun Ni’am secara masif menyampaikan himbauan-himbaun resmi MUI terhadap umat muslim, yang disertai dengan dalil-dalil agama.
Meskipun tidak sepenuhnya fatwa MUI diikuti oleh masyarakat, tetapi sebagai lembaga fatwa yang dibebani untuk merespon problem sosial keagamaan, saya kira apa yang dilakukan MUI cukup baik.
Secara tidak langsung, MUI telah melakukan kaidah hukum fikih yang mengatakan taghayyurul ahkami bi taghayyuril amkinah wal azminah yang artinya, hukum-hukum agama bisa jadi berubah akibat perubahan tempat dan masa (Khalaf, 2005). Perubahan hukum tersebut sekaligus menjadi indikasi adanya dinamisasi fatwa yang dilakukan. Menurut al-Suyuti, fatwa atau istimbath hukum itu harus dilakukan dimanapun dan kapanpun.
Contoh kasus Fatwa MUI di tengah Pandemi, Fatwa Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah Muslim yang Terinfeksi COVID-19, MUI berpendapat jika boleh menguburkan jenazah Covid secara masal dan dalam hal memandikan maupun mengkafani diserahkan pada pihak berwenang dengan pertimbangan protokol kesehatan.
Itu artinya, jika kewenangan nakes mengatakan tidak perlu dimandikan dan dikafani, maka tidak ada yang bisa melawan. Demikian isu yang beredar saat ini masih simpang siur antara penularan virus Covid bagi yang sudah meninggal. Ada yang mengatakan sudah tidak aktif tetapi ada juga yang berpendapat masih aktif dan bisa saja menular.
Meskipun tidak secara frontal, fatwa MUI dalam kapasitas perkembangan pemikiran keagamaan cukup lentur. Covid 19 yang dalam hal ini sebagai sains bisa menyebabkan fatwa agama bergeser. Contoh yang riil, terkait dengan prokes shalat berjamaah dengan himbauan agar menjaga jarak. Secara tidak langsung, fatwa tersebut sudah kebalikan dengan ajakan untuk merapatkan barisan.
Kasus lain, seperti bersalaman atau musafahah yang selama ini dianjurkan sebagai tradisi persaudaraan dan mengikuti sunnah. Saat ini, sudah tidak bisa lagi dengan dalih menjaga protokol kesehatan. Atau dianjurkannya untuk tidak mengadakan kegiatan majelis taklim yang berpotensi mengundang kerumunan.
Jika masih dipertentangkan dengan ideologi pra-Covid, maka yang muncul adalah anggapan bahwa anjuran tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam. Namun jika disadari dengan adanya penyebab yang bisa mengakibatkan terjangkitnya penyakit, maka perlu keterbukaan untuk menerima fakta tersebut.
Seperti itulah yang dikatakan oleh Amin Abdullah (2020) bahwa di tengah Pandemi seperti saat ini, pandangan keagamaan harus berubah dari sebelum pandemi. Abdullah mendorong agar semua sarjana muslim bisa menyadari adanya faktor penting tersebut untuk bisa lebih responsive dan melakukan terobosan-terobosan yang relevan.
Sebenarnya, Fatwa MUI di tengah Pandemi juga mengundang kreatifitas sejumlah muslim melakukan terobosan dalam rangka menjaga kesehatan di tengah wabah seperti sekarang ini. Bahkan ada sebagian muslim yang berpendapat pentingnya melakukan ibadah shalat jum’at secara daring (Roland Gunawan 2021). Menariknya kreatifitas mereka juga tidak luput dari landasan argumen yang dianggap otoritatif.
Pada akhirnya, kreatifitas fatwa keagamaan di tengah pandemic inilah yang dibutuhkan masyarakat. Begitu juga apa yang dilakukan MUI merupakan upaya-upaya yang relevan. Seandainya fatwa tentang pengurusan jenazah tidak diberikan, maka akan timbul sejumlah kebingungan yang dialami masyarakat. Pertama adalah mereka yang menangani kesehatan, yang secara basic keagamaan barangkali masih minim. Artinya kreatifitas sebagian muslim jika tidak kunjung muncul menjawab fenomena kemasyarakatan yang sangat cepat berkembang ini, maka bukan tidak mungkin jika masyarakat awam berada pada ketakutan dalam beribadah. Untuk itu yang dibutuhkan adalah terobosan-terobosan baru baik untuk isu agama, sosial, ekonomi dan politik.