Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi memiliki makna sebagai sebuah sikap atau sifat dan sebuah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Sebagai sebuah konsep, toleransi mengacu pada penghormatan, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya, bentuk ekspresi, dan cara menjadi manusia yang kaya.
Sementara dalam bahasa Arab disebut tasamuh. Kata-kata seperti hilm (sabar), ‘afw (pengampunan) atau saf-h (menghadap) juga menyampaikan arti toleransi.
Hari ini, intoleransi telah menjadi budaya. Hal ini menyebabkan banyak kematian, genosida, kekerasan, penganiayaan agama serta konfrontasi pada tingkat yang berbeda. Kadang-kadang pada tingkat rasial dan etnis, terkadang agama dan ideologis, bahkan politik dan sosial.
Apa pun alasannya, intoleransi menyakitkan dalam setiap situasi, lalu bagaimana caranya kita mengatasi masalah intoleransi?
Toleransi adalah prinsip dasar Islam, karenanya merupakan kewajiban agama dan moral. Bukan berarti seseorang yang bertoleransi tidak memiliki prinsip. Terkadang memang dianjurkan bahwa beberapa orang bertoleransi terhadap hal-hal yang tidak mereka pedulikan.
Namun tidak demikian dalam Islam. Toleransi, menurut Islam, tidak berarti bahwa kita tidak percaya bahwa Islam adalah edisi terakhir dari iman kepada ilahi. Juga bukan berarti kami tidak perlu lagi menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Bukan, bukan begitu.
Coba kita melihat lebih dalam pada prinsip UNESCO. Toleransi, menurutnya, merupakan sebuah konsisten dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia, praktik toleransi tidak berarti menoleransi ketidakadilan sosial atau mengabaikan maupun melemahkan keyakinan seseorang.
Toleransi menerima kenyataan bahwa manusia, secara alami beragam dalam penampilan, situasi, ucapan, perilaku, dan nilai-nilai. Setiap masing-masing individu memiliki hak untuk hidup damai dan menjadi apa yang mereka Yakini.
Jadi toleransi berasal dari pengakuan kita atas: martabat manusia; persamaan dasar semua manusia; hak asasi manusia universal; dan kebebasan mendasar untuk berpikir dan berkeyakinan.
Kitab suci Al-Qur’an saja telah berbicara mengenai martabat dasar manusia tanpa memandang ras, warna kulit, bahasa atau etnis. Syari’ah mengakui untuk hidup, kehormatan dan hati nurasi semua manusia.
Konsep Toleransi dalam Al-Quran
Sejak awal, kebebasan beragama telah dijamin oleh Islam. Toleransi melarang pemaksaan dalam hal iman dan keyakinan. Al-Qur’an mengatakan: “Tidak ada paksaan dalam agama.”
Banyak ayat dalam Al-Qur’an memberikan kita perintah untuk tidak memaksa orang, menyampaikan pesan kepada mereka dengan cara baik dan jelas, mengajak kepada kebenaran dan berusaha sebaik mungkin dalam menyampaikan pesan Allah kepada umat manusia.
Dari sini muncul sebuah pertanyaan: jika Allah memberikan kita pilihan untuk percaya atau tidak, mengapa Allah menghukum kaum nabi Nuh, nabi Shu’aib, Thamud, Luth? Dan Fir’aun serta para pengikutnya?
Jawabannya ada di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Orang-orang itu tidak dihukum hanya karena kekafiran mereka, akan tetapi karena penindasan mereka terhadap orang-orang yang memilih kebenaran. Mereka dihukum karena menghentikan orang lain untuk datang ke jalan Allah.
Ibnu Taimiyyah berpendapat: “Negara dapat berumur panjang meskipun rakyatnya kafir (kufur), tetapi mereka tidak dapat hidup lama ketika rakyatnya menjadi penindas.”
Islam mengizinkan pemaksaan dan penggunaan kekuatan hanya terhadap mereka yang memerangi Islam dan Muslim. Allah berfirman, ”Perangilah di jalan Allah orang-orang yang menyerang kamu, tetapi jangan melampaui batas; karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Tujuan jihad bukalah untuk membuat orang lain masuk Islam. Al-Qur’an mengatakan, “La ikraha fi al-din” yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama.
Tujuan sebenarnya dari jihad adalah untuk menghapus ketidakadilan, penindasan dan menghentikan agresi. Muslim diperbolehkan untuk menjaga hubungan baik dengan non-Muslim.
Islam boleh saja menoleransi apa pun, tetapi Islam tidak mengajarkan toleransi terhadap ketidakadilan, penindasan, dan pelanggaran hak-hak manusia lainnya.
Islam mengajarkan toleransi di semua tingkatan: antara anggota keluarga, antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, antara kelompok dan bangsa.
Al-Qur’an mengatakan, ”Hai manusia! Kami telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
Oleh karena itu, perilaku terbaik dalam Islam adalah memperlakukan manusia dengan martabat, kesetaraan, persaudaraan dan keadilan.
Jadi, toleransi adalah kebutuhan hari ini hingga masa mendatang. Kita harus menekankan perlunya kebijakan bertoleransi di antara kita secara individu dan dunia secara umum. Kita harus memupuk toleransi melalui kebijakan dan upaya yang sungguh-sungguh.
Fokus kita harus multi-etnis. Kita memiliki kewajiban mengajari anak-anak kita untuk menghormati satu sama lain tanpa memandang kepercayaan, jenis kelamin, dan etnis.
Toleransi adalah simpul tali persaudaraan yang mengikat keluarga, masyarakat dan menjaga keutuhan bangsa. Ketidakhormatan memunculkan orang-orang seperti Gus Dur yang dapat mengubah arah suatu bangsa.
Kita harus menanamkan pada anak-anak kita kualitas toleransi, kesabaran, dan pengampunan karena keluarga adalah sekolah pertama. Seorang anak belajar pelajaran hidup dengan cara ia menyusu di pangkuan ibunya. Hal ini selalu mempengaruhi pikiran, perilaku dan budayanya.
Hanya keluarga yang sehat dan berbudaya yang dapat menjadikan bangsa yang sehat dan berbudaya yang diperlukan untuk mewujudkan perdamaian, kemakmuran, dan keamanan di dunia. Masyarakat tidak dapat diatur oleh hukum saja. Hukum memiliki hubungan dengan masyarakat. Hukum akan menderita jika masyarakat kaku dan tidak toleran.