Beberapa waktu yang lalu, penulis bersama teman datang ke acara Islamic Book Fair (IBF) 2022 di Jakarta Convention Center. Event ini sangat diminati oleh kalangan Muslim Urban, baik dari usia anak-anak hingga dewasa. Banyak sekali dari mereka untuk mengincar diskon atau potongan harga dari sebuah buku.
Pada tahun 2001, IBF hadir karena terinspirasi dari dua pameran buku terbesar di Indonesia, Indonesia Book Fair dan Jakarta Book Fair. Kedua book’s event itu bersifat umum dan belum dirasa ‘islami’ oleh para penerbit buku-buku keislaman dalam kelompok Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jakarta.
Mereka menilai dan membuat gagasan perlu diadakannya pameran khusus. Di mana pameran ini hanya mengkondisikan buku-buku atau literasi keagamaan Islam. Dan akhirnya, lahirlah Islamic Book Fair yang setiap tahun diselenggarakan.
Penulis mencoba observasi dengan melihat langsung. Sekitar 40 penerbit dan beberapa multiproduk yang turut serta meramaikan acara ini. Turut hadir pula tokoh-tokoh kenamaan seperti Quraish Shihab, Anies Baswedan, Tuan Guru Zainul Majdi, Najwa Shihab, dan lain-lain.
Ada beberapa perbincangan dengan pihak panitia yang kami lalui terkait IBF ini. Seperti masalah minat membaca yang masih minim di kalangan Muslim, kuantitas pengunjung IBF, kategori buku fiksi dan nonfiksi, dan persoalan screening buku.
Minat Baca Minim dan Kurangnya Literasi Islam Ramah
Islamic Book Fair 2022 kali ini dihadiri kurang lebih 1500 orang. Mereka datang dari sekitar Jabodetabek. Acara tahunan ini sangat dinanti dikarenakan sebelumnya ada wabah pandemi COVID-19, yang membatasi kerumunan masyarakat.
Sekitar 150 stand yang terisi di hall A Jakarta Convention Center. Buku-buku yang kami temui juga beragam. Mulai dari kategori fiksi sampai nonfiksi. Buku-buku bernuansa keagamaan mendominasi perhelatan IBF. Andaikan diukur buku mana yang paling diminati oleh para pengunjung, kebanyakan adalah buku-buku novel.
Sebelumnya, pihak panitia menegaskan bahwa dalam perhelatan IBF 2022 terdapat proses screening atau pengecekan buku. Hal ini ditakutkan akan memberi dampak bagi ideologi calon pembaca. Apa saja buku-buku yang kami temui?
Penulis mengklasifikasi tiga macam, yakni pertama, aman dibaca atau layak bagi publik. Kedua, perlu ada bimbingan dan moderasi. Dan yang ketiga, tidak aman dibaca. Kategorisasi ini penting mengingat masih minimnya minat membaca masyarakat Indonesia dengan beriringan semangat Islam dan kebhinnekaan.
Kategori pertama, yang berartikan buku tersebut aman untuk dibaca. Isinya pun terbilang hanya bertaraf Islam Wasathiyah (moderat), nasionalisme, dan tidak menimbulkan pro dan kontra bagi pembaca dan general. Kategori kedua, buku tersebut mulai berisikan menyinggung amaliyah, ‘ubudiyah, atau akidah seseorang. Dan kategori ketiga, yang berartikan buku tersebut sudah ditaraf ajakan kebencian atau aksi-aksi yang menimbulkan kegaduhan.
Di sepanjang kami melakukan observasi, memang tidak menemukan buku-buku yang masuk kategori ketiga. Hampir mayoritas masuk ke dalam kategori pertama, seperti buku-buku novel karya Habiburahman El-Shirazy, Al-Quran, tafsir, sejarah, biografi, novel-novel bernuansa romantis, serta buku doa-doa untuk anak.


Tetapi ada beberapa yang kami masukkan dalam kategori kedua, yang mana menurut kami mungkin bisa membuat pro dan kontra bagi pembaca awam dan bisa berhati-hati dalam meresapi buku bacaan ini. Seperti Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara karya Abu Muhammad Waskito, Pro & Kontra Jihad Di Palestina karya Yusuf Al-Qaradhawi dan Abu Ubaidah Hasan Salman, Mengungkapkan Kebatilan Kyai Liberal CS karya Hartono Ahmad Jaiz, Haruskah Bermazhab karya Abdul Fattah Al-Yafi’i, Akidah Salaf VS Ilmu Kalam karya Syaikh Abdul Aziz Marzuq Ath-Tharifi, Ensiklopedia Sunnah & Syiah karya Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salus, dan terakhir ada buku yang berjudul Mengapa Mereka Membenci Nabi? karya Dr. Basim Khafajy.
Buku-buku tersebut perlu dibaca oleh orang yang mempunyai pondasi keagamaan kuat. Misalnya, seorang Muslim yang telah lama belajar agama seperti pesantren, bisa menilai, memahami, dan mengkontekstualisasi apa isi buku. Berbeda dengan Muslim yang hanya belajar dari konten keislaman instan seperti website, youtube, instagram, dan sebagainya. Mereka perlu bimbingan orang tua, ulama atau intelektual yang teruji.
Kesimpulannya, IBF 2022 (secara implisit) mengalami kegawatan literasi Islam ramah. Memiliki harapan besar untuk mengurangi budaya ‘malas’ membaca di kalangan umat Islam. Di sisi lain, buku-buku yang akan menimbulkan pro dan kontra masih diberi ruang publik. Seharusnya pihak IKAPI konsentrasi akan muatan buku yang dipamerankan.