Sejumlah survey telah menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Hasil survey LSI-Denny J.A pada tahun 2018 menyebutkan ada peningkatan persentase orang yang bermigrasi dari ideologi Pancasila menuju NKRI bersyariah.
Pada tahun 2005, publik yang pro-Pancasila angkanya mencapai 85,2%. Dan lima tahun kemudian, tahun 2010, angkanya menjadi 81,7%. Pada tahun 2015, angkanya menjadi 79,4% dan di tahun 2018 menjadi 75,3%. Dengan kata lain, dalam kurun waktu 13 tahun, publik yang pro-Pancasila menurun 10%.
Di sisi lain, publik pro NKRI Bersyariah mengalami kenaikan sebesar 9% selama 13 tahun. Pada tahun 2005, angkanya mencapai 4,6% dan tahun 2010 mencapai 7,3%, dan tahun 2015 menjadi 9,8%. Dan di tahun 2018 menjadi 13,2%.
Di kalangan Muslim pun mengalami trend yang sama. Pada tahun 2005, warga Muslim yang pro-Pancasila mencapai 85,6%. Di tahun 2010 mencapai 81,8%, pada 2015 mencapai 79,1% dan pada tahun 2018 mencapai 74%.
Bahkan, hal tersebut juga menjangkiti kalangan Aparatur Sipil Negara, Perguruan Tinggi, dan BUMN. Alvara Research pada tahun 2018 menyebutkan, ada 19,4% ASN di 6 kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar) yang tidak setuju ideologi Pancasila. Di level Perguruan Tinggi, Setara Institute menyebutkan 10 perguruan tinggi yang terpapar radikalisme. Tak hanya di kalangan sipil, radikalisme juga menjangkiti kalangan militer. Dalam catatan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, terdapat 3% anggota TNI yang terpapar radikalisme.
Data-data di atas tidak dapat diabaikan begitu saja. karena benih dari penolakan terhadap ideologi Pancasila dapat kita temukan rujukannya masa lampau. Gerakan kelompok Islamisme di tanah air sejak semula memang bercita-cita ingin mengganti Pancasila menjadi syariat Islam. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena jika tidak dalam kurun waktu 50 tahun ke depan, migrasi dari Pancasila ke NKRI Bersyariah akan semakin meningkat.
Indonesia telah mencapai usia 77 tahun merengkuh kemerdekaannya. Umur yang masih belia ini pun juga sama dengan sejarah rumusan konsensus Nasional yang telah disepakati bersama oleh segenap masyarakat dari latar belakang yang bhinneka.
Sebuah konsensus akan terabaikan jika tidak ada peneguhan komitmen yang kuat dari masyarakat, sementara geliat penolakan ibarat duri dalam daging yang tak terlihat, tetapi terus menjangkiti dan menyakiti NKRI. Bangsa Indonesia harus pula banyak belajar dari negara gagal (failed state) atau negara yang terus berkecamuk dengan konflik bersaudara karena duri yang dibiarkan terus membesar dan mengakar.
Lalu, apakah duri Islamisme ini hal sepele atau perlu perhatian serius?