Dalam Al-Qur’an, dakwah dimaknai sebagi ajakan keagamaan yang ditujukan terutama kepada non-Muslim. Misalnya dalam surat Yusuf (12): 108 yang berbunyi:
“Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”
Atau di dalam surat Ar-Ra’du (13): 36:
“Dan orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan apa (kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad), dan ada di antara golongan (Yahudi dan Nasrani), yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah, “Aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali.”
Dari sini dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW didesak untuk mengajak orang-orang Arab pagan, Yahudi, bahkan Kristen. Di sisi lain, tidak ada ayat Al-Qur’an yang memerintahkan Rasulullah dan para pengikutnya untuk berdakwah (mengajak) terhadap sesama Muslim.
Hal ini masuk akal, mengingat pada masa Nabi Muhammad SAW berdakwah, dakwah bersifat verbal dan undangan dianggap berhasil dan selesai setelah orang-orang yang diundang menerima Islam, menyatakan percaya kepada Allah SWT, dan mengakui Nabi Muhammad sebagai rasul Allah SWT.
Namun demikian, di dalam surat Ali Imran (3): 104:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Bahwa untuk mengajak, da’a, mengambil objeknya setiap dan semua orang yang berbuat salah. Dalam kasus seperti itu, maka dakwah dapat ditujukan kepada sesama Muslim yang dianggap ‘tersesat’, atau kita lebih familiar dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar.
Sepanjang sejarah ini, umat Islam kerap memadukan dua pengertian dakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar. Ezzati dalam tulisannya yang berjudul An Introduction to the History of the Spread of Islam, melihat kedua konsep ini dengan menyebutkan bahwa doktrin dakwah dikaitkan dengan amar ma’ruf nahi munkar.
Keduanya identik dalam arti bahwa Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim tidak pernah diminta Allah SWT untuk mengajak orang memeluk Islam, melainkan kepada kebenaran, untuk ammar ma’ruf nahi munkar, yang sebenarnya adalah Islam.
Berbeda dengan sebelumnya, al-Sayyid Muhammad Husayn Fadhlullah dalam bukunya yang berjudul Uslub al-Da‘wa fi al-Qur’an (1994: 34) berargumen bahwa dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar merupakan dua hal yang berbeda.
Baginya, dakwah meliputi lebih dari sekedar menganjurkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Dakwah lebih luas dari itu semua. Salah satu perbedaan paling mendasar menurutnya bahwa dakwah hanya fokus pada non-Muslim, sedangkan amar ma’ruf nahi munkar dikhususkan kepada sesama Muslim.
Selanjutnya, masih terkait ayat dalam surat Ali Imran (3): 104, merupakan salah satu kasus langka di mana Al-Qur’an berbicara tentang “sekelompok” orang yang akan diserahi tugas tertentu, yaitu melaksanakan apa yang dianggap benar dan mencegah apa yang dianggap salah.
Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan bahwa hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah. Beliau membedakannya dalam lima bentuk: memberi nasihat sederhana, berkhotbah dengan bahasa yang santun, mencegah kemungkaran dengan sekuat tenaga, menghukum orang yang melakukan kemungkaran, dan mengancamnya untuk tidak melakukan tindakan berdosa.
Menjelaskan ayat yang sama, Ibnu Katsir juga telah memikirkan kata “kelompok” dengan menunjukkan pada mujahid dan ulama. Beliau menjunjung tinggi gagasan bahwa aktivitas ini memang diarahkan kepada kategori manusia yang secara khusus memiliki keterampilan, bahkan ia melarang masyarakat umum yang tidak terlatih.
Subjek dakwah, seperti yang telah disebutkan Al-Qur’an, sangatlah banyak: Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan utusan Allah lainnya, manusia biasa, bahkan setan. Seseorang bisa mengatakan ada dua kutub yang bersaing menggunakan istilah dakwah: yang satu mengajak dan mengundang kepada jalan yang diridhoi Allah dan para Nabi-Nya, lainnya mengajak kepada penyembahan berhala (syirik, dll).
Pada kesimpulannya, saya tutup tulisan ini dengan mentadabburi kembali ayat di surat An-Nahl (16): 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Baca Juga: Edisi Dakwah: Ruang Lingkup Dakwah (1)