Islamina.id – Sebagai Dzat yang memiliki karakter utama al-Rahman dan al-Rahim, Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) senantiasa menginginkan kemudahan bagi para hamba-Nya. Tidak ada kamusnya, Allah SWT sengaja menyulitkan mereka dalam setiap kebijakan-Nya.
Allah SWT memang tidak ingin membebani hamba-hamba-Nya di luar kemampuan mereka (QS. al-Baqarah: 286). Juga, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah, menurut kesanggupanmu.” (QS. al-Taghabun: 16).
Keinginan Allah SWT untuk memudahkan hamba-hamba-Nya ini ditegaskan dengan sangat nyata dalam Qs. al-Baqarah: 185: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Karena itu, dalam detail-detail kebijakan-Nya, tidak ada satupun kebijakan yang ditetapkan-Nya di luar jangkauan kemampuan mereka.
Jika dicermati dengan seksama, guna memudahkan hamba-hamba-Nya, Allah SWT memberikan dua ranah kemudahan. Pertama, dispensasi, keringanan atau kemurahan (rukhshah) dari ketentuan asalnya (‘azimah).
Dalam situasi yang normal, maka berlaku hukum yang normal (‘azimah). Dan dalam situasi yang tidak normal atau tidak biasa, maka berlaku keringanan (rukhshah). Inilah cara Allah SWT memaklumi, jikalau hamba-hamba-Nya sesekali terkurung dalam situasi tidak normal.
Banyak contoh kasus yang bisa diangkat dalam hal ini. Normalnya, shalat yang wajib itu dikerjakan dalam kondisi berdiri tegak. Tapi orang sakit yang tiada kuasa menjalankannya dengan berdiri, maka ia diberi kemudahan untuk mengerjakannya dengan duduk, berbaring atau bahkan hanya berisyarat (HR. al-Bukhari, dari ‘Imran bin Hushain).
Shalat yang empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya’), bisa diringkas menjadi dua rakaat, dalam situasi perjalanan/safar (QS. al-Nisa: 101), yang telah memenuhi batas minimal kebolehan meringkas shalat (+ 90 KM). Juga bolehnya mengumpulkan dua shalat (jama’) dalam situasi tertentu, baik dikumpulkan di awal (jama’ taqdim) maupun di akhir (jama’ ta’khir).
Dari Abdullah bin ‘Abbas, Rasulullah Saw bahkan pernah men-jama’/menggabungkan shalat Dhuhur dan Ashar, juga Maghrib dan ‘Isya, di Madinah, bukan karena kondisi khusus seperti hujan atau karena ada kekhawatiran pada musuh (HR. Muslim).
Dalam kondisi sakit atau dalam perjalanan, maka umat Islam boleh tidak menunaikan ibadah puasa, dengan tetap menggantinya di waktu lain ketika situasi sudah kembali normal (QS. al-Baqarah: 185). Keharaman memakan bangkai, darah, daging Babi atau binatang yang tidak disembelih karena Allah SWT (QS. al-Maidah: 3), dalam situasi terdesak yang mengancam nyawa, maka Allah SWT membuka pintu rukhshah (kemurahan) dengan membolehkannya.
Bahkan Allah SWT begitu gembira jika kemurahan-Nya digunakan, sebagaimana Allah SWT murka jika kemaksiatan dilakukan (HR. Ahmad bin Hanbal). Allah SWT memang (sedang) ingin memudahkan hamba-hamba-Nya, bukan mempersulitnya.
Kedua, kemudahan Allah SWT berupa keragaman pandangan para ulama dalam masalah fikih. Dua ulama saja misalnya, sudah sangat mungkin pandangan keagamaannya tidak seragam, apalagi banyak ulama. Bahkan perbedaan pandangan itu sejatinya tidak hanya terjadi di kalangan para ulama, tapi juga di kalangan para shahabat sendiri dan disaksikan Kanjeng Nabi Muhammad secara langsung.
Di kalangan para imam fikih, misalnya, pandangan Imam Malik bin Anas (w. 179 H) selaku guru, dengan pandangan Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H) selaku murid, itu seringkali berbeda. Pandangan Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i selaku guru dan pandangan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) selaku murid, juga kerapkali tidak sejalan.