Perayaan Idul Fitri dan seremoni Syawalan memang telah usai. Semarak Halal bihalal sebagai laku lampah khas masyarakat Indonesia, senyatanya menunjukkan karakter dasar (fitrah) manusia untuk kembali merajut damai dan persaudaraan. Nuansanya menyesap melintas batas keyakinan. Ada tamsil keberagaman yang meneduhkan: melihat spanduk ucapan selamat Idul Fitri terpasang di sejumlah gereja dan vihara di Kudus, Jawa Tengah. Nuansa kerukunan antar pemeluk agama juga bisa dilihat di Kabupaten Semarang. Di Dukuh Tekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, diadakan silaturahmi antarwarga di jalanan dukuh di depan masjid pada 1 Syawal. Hajatan massal ini menjadi kegiatan bersama yang juga dihadiri warga penganut Kristen, Katolik, dan Buddha.
Ada tamsil yang menghentak sanubari dari guru bangsa kita, Gus Dur. Ketika ditanya apakah dirinya memaafkan kepada pihak-pihak yang pernah menzaliminya, Gus Dur sontak mengatakan: Maaf ya, lupa tidak! Jawaban Gus Dur amat menyejukkan, diplomatis, sekaligus manusiawi. Sejuk karena Gus Dur mau memaafkan kepada yang telah menzalimi. Kebesaran hati beserta kesadaran religius yang tinggi, yang kiranya menjadikannya memilih jalur damai: memaafkan sekaligus menihilkan potensi konflik akar rumput. Gus Dur menempuh jalan nirkekerasan demi mewujudkan persatuan masyarakat Indonesia. Sekaligus eksplisit mengajarkan bahwa persatuan dan perdamaian di atas segala-galanya.
Jawaban Gus Dur juga diplomatis dengan kesadaran bahwa segala bentuk tragedi dan konflik antar sesama tidak bisa dihilangkan dari ingatan. Salah besar bila ada yang hendak menghapus ingatan atas sebuah tragedi kemanusiaan. Justru dengan mencoba menghapus memori tentangnya, semakin tertancap kuat dalam alam bawah sadar dan secara tidak langsung memelihara bara dalam sekam. Maka, yang menarik dari Gus Dur, adalah menjadikan tragedi/konflik sebagai pengingat untuk evaluasi diri dan pembelajaran bagi generasi selanjutnya agar tidak mengulang atas kesalahan yang sama.
Lantas apakah manusia disorongkan untuk seakan-akan tidak boleh marah dan senantiasa tersenyum meski disakiti? Ada petuah Nabi Muhammad Saw yang begitu menarik perihal resolusi konflik antarsesama. Yakni, ada semacam masa tenggang selama tiga hari untuk mendiamkan bagi yang sedang berselisih. Kebolehan ini sebagai upaya penyaluran emosi yang sifatnya natural. Dalam tempo tiga hari, agama bermaksud agar masing-masing pihak yang bertikai bisa meredam munculnya emosi yang lebih besar. Pun, mengevaluasi diri dan berpikir panjang. Sehingga potensi konflik berkepanjangan bisa ditangkal.
Kita juga mengenal Nelson Mandela. Ia beserta rakyatnya mengalami tragedi kemanusiaan bertahun-tahun. Mendekam lama di penjara, dan kala begitu menghirup udara kebebasan, Mandela menampilkan langkah damai. Perjuangannya berupa penghapusan diskriminasi rasial berhasil. Namun, ia tidak lantas menghukum balik kepada pihak-pihak yang pernah menzaliminya. Padahal bisa saja dilakukannya saat duduk di kursi kekuasaan. Terbukti, sebagaimana Gus Dur, langkah Mandela sukses mewujudkan persatuan dan persaudaraan masyarakat Afrika. Bagi Mandela, warna kulit hanyalah tampilan luaran sebagaimana ragam bentuk fisik manusia. Jati diri manusia terletak pada dimensi kemanusiaannya itu sendiri yakni, pribadi cinta damai.
Dalam sejarah bangsa ini, perjalanan antar suku, agama, budaya, juga tidak sepi dari konflik dan selisih. Banyak korban jiwa akibat tikai yang mewarnai sejarah Republik ini. Ada sesal? Pasti! Dengan kata lain, konflik berbasis SARA yang boleh dikata sulit dihindari, tetapi secara beriringan juga membuka pintu untuk rekonsiliasi. Di Indonesia, tidak saja di Ambon yang terdapat Gong Perdamaian Dunia, melainkan terdapat pula di sejumlah daerah: Bali, Palu, Blitar, Ciamis, Jepara. Simbolisasi ini adalah penanda pentingnya antar sesama menjaga persaudaraan dan menjadikan tikai-konflik masa lalu sebagai pembelajaran berharga agar tidak terulang.
Penanda untuk terus merawat kemajemukan mutlak diperlukan. Basis ini mengalamatkan urgensi bahwa/memang konflik tidak bisa dihindari, tetapi sekaligus resolusi konflik pun mesti dicari/diupayakan. Orang Ambon punya prinsip hidup atas keberbedaan yang menyatukan dengan adagium Katong samua basudara. Sedangkan Orang Sukabumi berprinsip reugreug pageuh, repeh rapih, kacai jadi saleuwi kadarat jadi salegok: hidup ingin selalu damai dan tentram dengan siapa pun, tidak memedulikan latar belakang; sehingga saling menyayangi.
Lewat bukunya, Humankind: A Hopeful History, Rutger Bregman menyimpulkan bahwa manusia meski dalam perjalanan hidupnya diwarnai saling tikai dan menegasikan, tetapi secara fitrah, manusia adalah makhluk yang cinta damai. Sedangkan masyarakat Indonesia merupakan kumpulan aneka suku, etnis, dan beragam agama/kepercayaan. Masing-masing identitas kesukuan mempunyai sebentuk kearifan lokal sebagai khazanah bangsa untuk kemudian bisa saling jumpa-menghargai. Tidak patut menganggap sukunya paling maju dan suku lain terbelakang.
Warna-warni masyarakat Indonesia seyogianya menjadi kesadaran kolektif bersama merawat modal besar ini dari ancaman konflik. Para bijak bestari memberikan resep mujarab mewujudkan kelanggengan ikatan perdamaian. Tak ada cara lain selain lebih banyak melihat hamparan persamaan ketimbang mencari-cari titik-titik perbedaan. Bakda Idul Fitri, jiwa-jiwa bersih mesti dijaga dari kotoran hasutan dan debu provokasi. Berfitrah damai alias menjadi manusia yang senantiasa mengedepankan laku lampah damai sembari mengikis nuansa kebencian-permusuhan.