Beberapa hari ini kabar duka terus berdatangan dari berbagai kalangan masyarakat, bahkan hingga kerabat kita. Menariknya, setiap kali ada tokoh-tokoh publik yang meninggal, baik dari kalangan artis, paranormal seperti Mbak You, dan seorang Dalang fenomenal ki Manteb Sudarsono, pertanyaan lucu netizen selalu bertanya apa agama mereka. Di sini sepertinya kita semua perlu tahu atas fungsi agama bagi orang yang sudah meninggal.
Dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal dinyatakan sebagai orang yang sudah menemukan ajal atau mendapati ketentuan masa hidupnya di dunia. Sehingga ketika ajalnya sudah tiba, maka siapapun tidak kuasa menundanya atau minta percepatan. Jika dilihat dalam konteks umum, tidak ada kaitannya dengan fungsi agama bagi orang yang sudah meninggal.
Itu pun karena urusan nyawa adalah hak prerogatif Tuhan, sehingga siapapun baik manusia maupun makhluk lain tidak diberi kemampuan untuk mengetahuinya lebih dalam. Nabi Muhammad sendiri diberi mandat oleh Allah untuk menyampaikan pesan Al-Qur’an, “Tegaskanlah, Muhammad, bahwa Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu hanya sedikit sekali mengetahuinya,” (QS. Al-Isra 85).
Lalu di mana fungsi agama bagi orang yang sudah meninggal? Di sini sebenarnya perlu kita urai dari makna yang paling dasar terkait dengan agama. Dalam Islam, agama sendiri dipahami sebagai pedoman hidup yang mengajarkan berbagai komponen peraturan baik yang berupa perintah, larangan, anjuran maupun kewajiban.
Namun tidak semudah itu mendefinisikan pengertian agama hingga dewasa ini. Karena faktanya agama juga banyak ragamnya. Soal aturan dan larangan juga beragam dari masing-masing agama. Belum lagi jika ada orang mengatakan bahwa prespektif setiap orang terhadap agama itu lahir karena berbagai latar belakang yang menyertainya. Misalnya, di Islam sendiri terdapat beragam praktik beragamanya.
Dalam kasus maraknya pertanyaan lucu netizen yang menanyakan perihal agama kepada para tokoh publik yang sudah meninggal ini bisa jadi pijakan. Artinya sebagian netizen Indonesia merasa bahwa agama ini akan menjadi konektivitas atau formalitas yang mendorong mereka memberikan rasa empati. Meskipun sudah jelas bahwa orang yang meninggal itu sedang mendapat musibah.
Namun lagi-lagi, apakah fungsi agama bagi orang yang sudah meninggal hanya digunakan untuk mendapatkan empati dari orang lain? Tentu tidak. Oleh sebab itu, euforia yang terjadi di media sosial perihal menanyakan tentang agama orang-orang yang sudah meninggal itu sebenarnya tidak tepat.
Ibarat sedang berada di tengah laut, kemudian menyaksikan sejumlah rombongan kapal terbalik, tentu mereka sangat butuh uluran tangan orang lain untuk keselamatan mereka. Dan sangat disayangkan jika sebelum memberi pertolongan menanyakan dulu soal agama mereka. Tentu sangat egois.
Menjenuhkan
Dulu pada abad 17, 18, para ilmuan Eropa sangat muak dengan pertautan atas agama dengan segala perkembangan keilmuan. Sebab, apapun harus berada di bawah kesakralan gereja dengan merujuk kitab suci. Ketika itu, pengaruh gereja dianggap menindas para ilmuan akibat temuan-temuan mereka yang bertentangan dengan kitab suci. Dari sebab itu, para ilmuan mulai ramai-ramai bahkan meninggalkan agama akibat dianggap menjenuhkan.
Akhir-akhir ini kita sering dapati kasus seperti ini terjadi. Baik yang bertautan dengan konteks sosial maupun sains. Konteks yang terakhir bisa dilihat berapa banyaknya kelompok agamawan yang menolak adanya Covid, Protokol Kesehatan maupun Vaksin dengan dalih bertentangan dengan agama.
Atau kasus yang pertama, seperti peristiwa maraknya pertanyaan lucu netizen yang menanyakan agama orang-orang yang sudah meninggal. Atau menanyakan agama para tokoh publik yang dianggap berpenampilan tidak agamis. Seperti contoh kasus Mutia Ayu, istri mendiang Glenn Fredly saat berpose soal baju lebaran.
Kasus yang sama juga pernah menimpa artis Rina Nose. Dia dibuat jengah oleh netizen perihal pertanyaan yang tidak relevan itu. Netizen mempersoal agamanya karena melihat dia telah menikah dengan bule.
Tampaknya, penampilan di publik perlu merepresentasikan agama. Sehingga bisa jadi bagian dari fungsi agama bagi orang meninggal untuk mendapatkan empati dari netizen. Padahal jika semuanya diukur dari kesalihan publik, dampak yang bakal terjadi akan sangat panjang. Sehingga seolah-olah keabsahan agama hanya ditentukan oleh netizen, bukan lagi soal norma dan etika.
Selama musim Pandemi ini sebenarnya tidak perlu mempertentangkan agama jika hanya untuk sekedar empati kepada korban atau saudara yang membutuhkan. Agama seharusnya menjelma pada suatu prinsip, yaitu maslahat dan sehat bersama. Saling mendoakan dan memberi dukungan.
Imbas lainnya jika netizen terus memiliki pertanyaan lucu soal agama, tragedi yang pernah terjadi di Eropa atas keputusan untuk memisahkan diri dari kesucian gereja yang dianggap menindas bisa jadi akan terulang kembali. Bukan tidak mungkin jika semangat sekulerisme yang pernah diterapkan di Turki juga akan terulang lagi.