Dikutip dari buku “Kumpulan Kisah Teladan” karya M. Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah diceritakan bahwa Nabi Musa AS saat berjalan menuju Bukit Sinai tempat ia menerima perintah Allah SWT bertemu seorang A’bid (Ahli Ibadah) yang telah beribadah selama 350 tahun tanpa sedikit pun melakukan perbuatan dosa (baik kecil apalagi besar).
A’bid itupun ingin mengetahui di surga tingkat mana ia akan ditempatkan Allah SWT. Namun, betapa kagetnya ia saat Nabi Musa AS menyampaikan kepada dirinya bahwa ia akan ditempatkan ke dalam neraka yang paling dalam oleh Allah SWT, kemudian seraya berdoa “ Yaa Allah aku rela dimasukan ke dalam nerakamu yang paling dalam. Namun, aku mohon setelah tubuhku dimasukan ke dalam api neraka, maka jadikanlah tubuhku membesar sebesar-besarnya agar tidak satu orang pun yang bisa masuk ke dalam nerakamu”.
Atas doanya tersebut, Allah pun merubah keputusannya yang tadinya akan dimasukan ke dalam neraka, berubah menjadi surga. Nabi Musa yang diberi keistimewaan bisa berdialog dengan Allah pun bertanya mengapa demikian. Allah pun menjawab bahwa sang A’bid awalnya hanya memikirkan diri sendiri (egoistis) dengan beribadah terus-menerus. Kemudian, ia berdoa dengan setulus hati ingin menyelamatkan orang-orang yang seperti dirinya dengan rela mengorbankan tubuhnya masuk ke dalam api neraka. Seketika itu surga adalah tempat yang paling tepat bagi dirinya karena tidak lagi egoistis, tetapi memikirikan kepentingan orang lain.
Kisah tersebut seharusnya membuka mata kita (khususnya umat Islam) yang saat ini sedang menjalankan ibadah puasa bahwa dalam menjalankan rukun Islam yang ketiga, umat Islam tidak boleh hanya sebatas menahan lapar dan dahaga, akan tetapi harus juga memperhatikan lingkungan sosial atau orang sekitar.
Hakikat Puasa
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali membagi tiga tingkatan orang berpuasa di bulan Ramadan. Pertama, puasa umum (shaum al-’umum) atau bisa dikatakan puasa orang awam, yaitu menahan perut (lapar dan dahaga) dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Orang yang berpuasa di level ini secara praktek hanya menahan rasa haus dan lapar sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).
Lalu kedua, puasa khusus (shaum al-khushush), yaitu menahan telinga, lisan, tangan, kaki, dan semua anggota tubuh dari perbuatan dosa. Seseorang yang berpuasa pada level ini akan memberikan dampak perubahan khususnya pada diri sendiri dan umumnya lingkungan sosial. Sebab, berkat menahan diri (telinga, lisan, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya) tersebut perbuatan-perbuatan dosa (baik dosa kepada diri sendiri maupun orang lain) dapat terhindari.
Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor). Maka, jika seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu, katakanlah, ’Sesungguhnya aku sedang berpuasa” (HR Ibnu Khuzaimah).
Ini adalah hakikat puasa yang berdampak positif bagi lingkungan sosial. Namun ironisnya, puasa ramadan yang kita jalankan setiap tahunnya tidak memberikan dampak apa-apa. Sebab korupsi, peperangan, tawuran, fitnah, perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, konsumsi minuman keras, narkoba, dan obat-obat terlarang, banjir bandang, dan lain sebagainya masih terjadi dimuka bumi ini.
Ketiga, puasa khusus untuk orang-orang khusus (shaum khushush al-khushush): menahan hati agar tak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah, seperti cenderung memikirkan harta dan kekayaan dunia. Puasa pada level ketiga tersebut biasanya dilakukan oleh para kaum sufi, waliyullah dan para nabi.
Evaluasi diri
Puasa (ash-shiyam atau ash-shaum) secara bahasa berarti al-imsak yang bermakna ’menahan diri dari sesuatu’, tidak boleh dimaknai secara sempit yakni sebatas menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa yang bersifat jasmani, seperti makan, minum, dan hubungan biologis. Puasa haruslah dimaknai secara komperhensif yang bisa menimbulkan dampak positif bagi lingkungan sosial.
Sebab dengan merasakan rasa lapar dan dahaga yang bersifat sementara itu, diharapkan kita bisa merasakan beratnya rasa lapar permanen yang dirasakan oleh orang yang tidak punya cukup uang untuk membeli makanan.
Dampak yang diharapkan ialah kita mau membantu orang yang kekurangan dan tidak mau menimbulkan kesulitan atau kerusakan bagai orang lain dan lingkungan. Tidak bisa dimungkiri bahwa kerusakan yang telah tampak di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia yang tidak mampu menahan diri (QS Ar-Ruum [30]: 41).
Oleh karena itu, menjelang akhir bulan Ramadan ini, mari kita evaluasi diri berada dilevel manakah ibadah puasa kita? Jangan sampai hanya rasa lapar dan dahaga saja yang kita peroleh dan kita termasuk orang-orang yang merugi. Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Baca Juga: Puasa: Praktik Spiritual dan Sosial