“Dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW. bersabda: ”Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman bagi kami.“ Mereka memohon: “Najd kami lagi wahai Rasulullah, doakan berkah.” beliau menjawab: “Ya Allah berkahilah Syam dan Yaman bagi kami.” mereka memohon: “Najd kami lagi wahai Rasulullah, doakan berkah.” Beliau menjawab: Di Najd itu tempatnya segala kegoncangan dan berbagai macam fitnah. Dan disana akan lahir generasi pengikut syetan”
[HR. al-Bukhari (979), al-Tirmidzi (3888) dan Ahmad (5715)]
Coba perhatikan riwayat Hadits diatas. Bagaimana Rasulullah SAW. mendoakan negeri Syam dan Yaman, serta memprediksi adanya “keruwetan” dan fitnah di Najd (Arab Saudi). Hal ini sebagai peringatan kepada umat Islam seluruh dunia agar berhati-hati dengan produk pemikiran yang berasal dari pembaharu bernama Muhammad bin Abdul Wahab.
Wahabi atau Wahabiyah merupakan sebutan bagi kelompok yang dinisbatkan kepada pelopornya, yakni Muhammad bin Abdul Wahab, (Nurcholis, 2008). Muhammad bin Abdul Wahab lahir di Nejd. Sumber sejarah secara umum, menginformasikan bahwa Ibnu Wahab hidup sekitar tahun 1703 sampai tahun 1787 M, (Nasution, 1975). Meskipun dari tanah Arab, ideologi-ideologi dari Ibnu Wahab atau Wahabisme sampai saat ini mewarnai polemik keberagamaan Muslim Indonesia.
Dalam pandangan ideologi kelompok Wahabisme, umat Islam telah berada pada kesesatan akidah paling parah. Kesesatan dikarenakan selalu mengagung-agungkan para awliyā’, menziarahi kuburan, meminta syafa’at, dan melakukan hal-hal yang tak pernah ada referensi dalam Alquran dan Sunnah (bid’ah), (Diyab, 2015). Sebuah pandangan yang sangat bertabrakan dengan tradisi Islam yang sudah lama dibangun oleh penyebar Islam sebelumnya. Penganut paham Wahabisme ini tidak tahu bahwa Islam di Indonesia mempunyai ciri khas dan akan mengalami masa keemasan dalam waktu yang akan datang.
Ada beberapa ciri-ciri dari gejala Wahabisme yang dapat diketahui wujudnya di sekitar kita, antara lain adalah:
1. Hasyawiyyin
Ciri pertama yang dapat kita kenali dari Wahabisme adalah dari genealogi kepengaruhan Wahabi itu sendiri. Ibnu Wahab sangat terpengaruh khususnya oleh pengalaman keagamaan Ibnu Taimiyah, (Amin, 1991). Syekh Sayyid Murtadha az-Zabidy, pengarang Itḥāf al-Sadāh al-Muttaqīn bi Sharḥ Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, menuturkan bahwa Ibnu Taimiyah sebagai pengikut aliran Hasyawiyah, (Faqih, 2016). Sedangkan dalam kitab Al-Mawāqif, aliran Hasyawiyah termasuk dalam golongan tujuh puluh dua sekte yang masuk neraka, (Abdurrahman, t.th). Hal itu dianggap tereliminasi dari sekte yang selamat, yakni Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Terkait Hasyawiyah, kelompok Wahabi menafsirkan ayat Alquran secara tekstual dzahir (bentuk luar), dan bertentangan dengan akal. Bahkan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Al-Fatāwā Al-Ḥadītsiyyah, menyebutkan produk Wahabisme ini masuk dalam golongan yang telah keluar dari Islam atau kufur. Vonis kekafiran ini disebabkan oleh komentar Ibnu Taimiyah yang menganut paham bahwa Allah SWT. itu berjasad (jismiyyah), diwadahi ruang dan waktu, berpindah-pindah, dan sebagainya, (al-Haitami, t.th).
Mereka ini cenderung kaku ketika menafsirkan ayat Alquran. Menafsirkan ayat secara tekstual, tidak kontekstual. Sehingga umat Islam di Indonesia khususnya, mudah dibuat kebingungan oleh kelompok Wahabi ini. Di sisi lain, mereka senang mengutip ayat-ayat Alquran tanpa diperbandingkan dengan ulama-ulama selain Ibnu Taimiyah dalam menghadapi realitas sosial.
Baca Juga: Kontribusi Ulama di Indonesia dan Meluruskan Faham Radikal ala Salafi Wahabi
2. Mudah Mengkafirkan
Gejala selanjutnya ini lumayan memprihatinkan. Menjelang usia emas Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan agama Islam sebagai keyakinan mayoritas, Wahabisme menjadi duri yang menyakitkan. Orang-orang Wahabi mudah mengkafirkan yang tidak satu pemahaman dengan mereka.
Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan dalam kitab Al-Futuḥāt Al-Islāmiyyah dan kitab Khulāshat Al-Kalām mengungkapkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab telah mengeluarkan pendapat-pendapat yang mnyebabkan dirinya masuk kategori kāfir oleh para ulama. Untuk lebih jelasnya, Ibnu Wahab sangat berani mengkafirkan seluruh umat Islam semenjak kurang lebih 300 tahun yang lalu. Dia mengkafirkan orang yang tidak mengikuti pendapatnya walaupun orang tersebut adalah orang yang paling bertakwa, (Faqih, 2016).