Gejala mudah mengkafirkan ini bisa kita temui melalui ustadz, guru, dan artis yang berideologi Wahabisme. Pendapat-pendapat mereka yang “gampang” memvonis kafir atas perbedaan rujukan, adalah pengaruh takfiri dari Ibnu Wahab diatas. Hindari pendapat orang-orang tersebut jika anda ingin Indonesia tetap harmonis tanpa polemik.
3. Sering Berdusta
Ciri ketiga dari penganut Wahabi adalah mereka sering berbohong atau berdusta. Ada beberapa yang menggelikan dari kedustaan kelompok Wahabi ini. Pertama, komentar Ibnu Wahab mengenai sejarah peristiwa Hudaibiyah. Ia menganggap dalam peristiwa Hudaibiyah banyak sekali kedustaan yang terjadi. Artinya adalah Ibnu Wahab sendiri sudah tidak percaya Nabi Muhammad SAW.
Yang kedua, dari tokoh panutan Wahabi lain yakni seperti Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dalam kitab Al-Madāiḥ An-Nabawiyyah, Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani menulis bahwa Jamaludin al-Afghani mengajarkan kekufuran melalui filsafat. Dan Muhammad Abduh yang menghalalkan segala kesepakatan haram oleh para ulama, seperti fatwa halal segala perkara yang memabukkan asal dinamai selain khamr dan riba. Untuk itu, apa bedanya dengan kelompok sekularisme?.
Ada salah satu pengingat bagi kita dari Syekh Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar al-Maskumambang. Beliau mewanti-wanti umat Islam agar jangan ada benih-benih cinta kasih dengan kelompok Wahabi, walaupun sedikit. Jika tidak demikian, maka umat Islam terjerumus keluar dari golongan yang selamat. Syekh Faqih mengatakan dalam kitabnya An-Nushush Al-Islamiyyah fi Ar-Radd ‘ala Madzhab Al-Wahabiyyah: “Barangsiapa dari kalian semua ingin anak-anaknya, juga cucu-cucunya menjadi generasi halal, dan terbebas dari ciri manusia-manusia akhir zaman, maka jangan sampai terjadi pernikahan kalian dan keturunan kalian dengan salah satu pengikut Wahabi..”.
4. Tidak Tahu Malu
Ciri keempat dan terakhir adalah mereka tidak mempunyai rasa malu. Orang-orang Wahabi tidak mempunyai malu, meskipun terbuka kebohongannya, atau kalah secara terang-terangan dalam berargumentasi. Begitu juga dengan gerakan pendekatan dakwahnya. Mereka juga tidak tahu malu.
Mereka sangat sistemis, biasanya kelompok ini menyusup dan menyamar sebagai Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah. Awalnya mereka benar-benar mengingkari tuduhan sebagai pengikut Wahabi. Dalam hal ini, Syekh Faqih juga mengatakan gerakan sistemis mereka sebagai siasat dan tipuan untuk mengelabuhi orang Islam awam. Lebih gawat lagi, kalangan orang Islam awam tidak bisa membedakan antara pemikiran Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah dan pemikiran kelompok Wahabi, (Faqih, 2016).
Umpama mereka sukses mempengaruhi satu orang Islam awam, maka segeralah mereka menyusupkan keyakinan-keyakinan sesat. Uniknya, kesesatan-kesesatan paham Wahabi ini dibungkus dengan nasehat-nasehat atau tuntunan rohani. Sedikit demi sedikit, lama-lama pokok ajaran Wahabisme menancap dalam pikiran dan hati Muslim, kemudian menyatu dalam kesesatan gurunya. Begitulah cara mereka berdakwah.
Realitas saat ini, kita dihadapkan dengan kelompok-kelompok Wahabi. Mereka sering membuat riuh keberagamaan masyarakat khususnya di Indonesia. Dari ciri-ciri gejala Wahabisme diatas, kita wajib membentengi akidah kita dari jurang kesesatan. Untuk itu, hindari bergaul dengan orang-orang Wahabi!
Baca Juga: Karena Kepentingan, Masjid Pun Direbut Orang
Referensi:
Abdurrahman bin Ahmad Al-Ījī, Al-Mawāqif fi ‘Ilmi Al-Kalām, Beirut: t.th.
Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bulan Bintang, 1975.
Muhammad Amin. Ijtihad Ibnu Taimiyah. Jakarta: INIS, 1991.
Muhammad Hafidz Diyab, Assalafiyūn wa As-Siyāsah, Kairo: Al-Hai’ah Al-Misriyyah Al-Ammah li Al-Kitāb, 2015.
Nurcholis Majid. Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008.
Syekh Muhammad Faqih al-Maskumambang. An-Nushush Al-Islamiyyah fi Ar-Radd ‘ala Madzhab Al-Wahabiyyah. Terj. Abdul Aziz Masyhuri. Depok: Sahifa, 2016.
Syihabudin Ahmad Ibn Hajar al-Haitami, Al-Fatāwā Al-Ḥadītsiyyah. Beirut: Dar al-Kutub Islamiyyah, t.th.