Saat ini, kita sudah memasuki tahun baru Islam 1444 H. Setiap memperingati pergantian kalender Hijriyah, kita akan diingatkan dengan peristiwa Nabi Muhammad yang hijrah dari Mekkah menuju kota Yastrib atau Madinah untuk menyebarkan agama Islam. Peristiwa ini menjadi peristiwa ikonik sekaligus era baru kebangkitan peradaban Islam setelah masa jahiliah.
Momentum di atas, memberikan hikmah bahwa hijrah di era post-modern memberikan refleksi untuk mengingat kembali fase-fase perjuangan hidup manusia dalam mengapai harapan. Seberapa jauh kaki melangkah dan berusaha untuk meninggalkan hal buruk yang dilarang oleh agama. Dengan demikian, berhijrah berarti mengubah diri menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.
Berbicara tentang hijrah, sejatinya hijrah berasal dari kata kata dalam bahasa Arab haajaro, yang bermakna mufaroqoh atau meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain. Sayangnya, substansi dan esensi hijrah jarang dikonversikan secara tepat dalam kehidupan sosial masyarakat. Sering terjadi, pemaknaan kata hijrah salah kaprah dan hanya bersifat “hasil penerjemahan” secara sepihak.
Di beberapa tahun terakhir, hijrah di era post-modern sudah beralih dari tren beragama hingga menjadi sebuah gerakan. Tren beragama yang kental di masyarakat, menunjukkan adanya fase perjalanan dalam diri manusia, khususnya generasi milenial yang ikut serta dalam meramaikan pergerakan kajian Islam di Indonesia. Hijrah yang sudah menjadi gerakan di Indonesia, sudah berangsur-angsur terlembagakan dalam struktur sosial suatu masyarakat
Hijrah yang sudah terlegitimasi dalam masyarakat, sering dibajak dan menjadi pintu masuk bagi gerakan yang memiliki tujuan tertentu. Gerakan tersebut berujung kepada pemahaman tren agama yang bersifat dogmatis dan cenderung disalah maknai oleh generasi milenial. Hal inilah yang sering dimanfaatkan kalangan radikal untuk masuk dan bersembunyi dibalik kata “hijrah”.
Dalam kesehariannya, hijrah bagi generasi milenial ditandai dengan cara memperbaiki akhlak dengan mengekspresikan corak beragamanya pada akun-akun media sosial. Sebut saja akun @pemuda hijrah atau hastag #hijrah yang sudah tersebar luas di media sosial. Tak ada yang salah selama yang disampaikan masih dalam konteks syariat agama. Akan tetapi yang disalahkan adalah hijrah yang berujung radikal yang harus kita waspadai. Terlebih generasi milenial yang masih labil.
Hijrah selanjutnya juga ditandai dengan style fashion yang syar’i. Biasanya dimulai dari jilbab panjang menutup dada, baju gamis panjang, kaus kaki, hand stock, dan sebagainya. Ada pula anak muda yang mengekspresikan hijrah dengan cara memelihara jenggot, memakai peci, dan juga menggunakan baju koko atau yang juga dikenal dengan sebutan baju taqwa.
Kemudian, hijrah juga diekspresikan dengan gaya bahasa tertentu. Biasannya bahasa Arab yang fenomenal seperti ana dan antum yang merujuk pada dirinya sendiri dan lawan bicaranya. Lalu ucapan terima kasih dan minta maaf yang digantikan dengan kata syukron dan afwan menjadi bahasa keseharian komunitas-komunitas hijrah yang bermunculan di Indonesia.
Clifford Geertz, antropolog asal Amerika Serikat, mengatakan bahwa agama adalah fenomena riil masyarakat. Agama menjadi pandangan hidup dan memiliki pengaruh yang positif bagi masyarakat. Di era agama yang semakin luntur eksistensinya maka fenomena dan tren-tren baru yang sudah melegitimasi masyarakat perlu diwaspadai.
Di era 4.0 nilai-nilai dan bentuk keberagamaan semakin kompleks. Bagi generasi milenial sudah sewajarnya membentuk karakter berdasarkan syariat dan nilai-nilai budi pekerti luhur yang terkandung dalam agama. Generasi muda harus teliti dan tidak mudah terbawa tren kekinian.
Sebab, ada tren hijrah yang menumbuhkan sikap intoleran di masyarakat. Bahkan beberapa generasi milenial terbawa pada pengaruh radikalisme-terorisme. Hal ini jelas sangat mengganggu stabilitas NKRI. Lebih jauh lagi, beberapa gerakan hijrah yang ingin mengubah ideologi negara menjadi khilafah negara Islam.
Inilah yang harus diwaspadai oleh masyarakat Indonesia, terlebih pada generasi milenial yang mudah untuk didoktrin dengan propaganda ekstremis, radikalis, hingga bom bunuh diri. Kewaspadaan terhadap aktivitas kampanye dengan seminar yang menghadirkan ustaz kondang juga harus diawasi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini perlu dikritisi untuk meminimalisir masuknya celah-celah radikalis melalui kampanye keagamaan.
Gerakan hijrah juga memengaruhi beberapa industri yang tumbuh pada era sekarang. Bahkan bukan rahasia lagi bahwa gerakan hijrah disponsori oleh industri. Sebut saja produk kecantikan seperti sabun, shampo, dan rias kecantikan muslimah. Industri-Industri tersebut mengkooptasi ketaatan beragama masyarakat untuk kepentingan komersil.
Fenomena hijrah di tengah gempuran radikalis memang menjadi PR bersama. Berawal dari sebuah tren hingga menjadi komunitas yang terlembaga, mengindikasikan bahwa hijrah sudah menjadi komunitas yang lebih besar. Sehingga hijrah saat ini sudah masuk dalam ruang lingkup sosial yang sudah tidak dipertanyakan lagi keabsahanya.
Ini penting bagi kita semua sebagai salah satu menjaga keutuhan negara dari ancaman disintegrasi negara. Dengan adanya beragam bentuk pasar-pasar spiritualis (spiritual marketplace), tujuan beragama makin terpolarisasi, semakin beragam bentuk, dan nilai-nilai baru juga muncul. Hijrah yang terjadi di masyarakat, didukung diantaranya adalah banyaknya spiritual marketplace yang dijelaskan di atas. Bentuknya beragam, kita misalnya melihat di universitas, sekolah, dan instansi. Banyak forum-forum, kajian hingga ngaji online yang dogmatis.
Wujud nyatanya adalah pada kaum hijrah. Dalam bentuknya yang lebih konkret spiritualitas, komunitas hijrah bisa berkeliling dengan teknologi, dengan seni, dengan olahraga dan dengan politik. Bahkan dengan hal-hal materialistik tergantung pengalamannya masing-masing. Marilah dengan sikap memilah-milah dan mencari latar belakang dan arah tujuan dari suatu gerakan, kita akan terhindar dari doktrin-doktrin agama yang menyalahi syariat agama dan negara. Sehingga tercipta kerukunan dan perdamaian antar masyarakat Indonesia.