Pancasila merupakan pilihan ideologi bangsa. Pilihan bersama ini cukup menjadi primadona dan tidak pernah menjadi masalah hingga masa orde baru. Namun setelah masa reformasi, dimana kran kebebasan berpikir dan berpendapat dibuka seluas-luasnya, Pancasila pun tak luput dari kritik masyarakat. Oleh sekelompok umat muslim, Pancasila dianggap ideologi yang menyimpang. Mereka juga mengusung ideologi baru bernama Khilafah. Definisi Khilafah, menurut Taqiyyudin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir), adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban Dakwah Islam ke seluruh dunia.
Pilihan sekelompok umat muslim terhadap ideologi Khilafah dibanding Pancasila bukan tanpa alasan. Bahkan, dasar yang mereka gunakan adalah teologis. Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Quwaitiyyah tertulis bahwa “umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah (Khilafah), juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam (Khalifah) yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat”.
Syarif (2019) mengklaim, kewajiban menegakkan khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Ia menukil perkataan Imam Ibnu Hazm yang menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji’ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah (Khilafah). Atas dasar teologis seperti inilah, sekelompok umat muslim Indonesia gencar mengkampanyekan ideologi Khilafah di negara Indonesia sejak era reformasi.
Tak tanggung-tanggung, kelompok muslim pengusung ideologi Khilafah membuat wadah bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dengan wadah ini, HTI bisa menggelar beragam acara besar, misal Konferensi Khilafah Internasional (KKI) 2007 pada 12 Agustus di Gelora Bung Karno, aksi bela ulama dengan tema ‘Aksi Umat Peduli Jakarta’ pada 5 Februari 2017, aksi long march bertema “Khilafah Kewajiban Syar’i, Jalan Kebangkitan Ummat” di Surabaya pada 4 April 2017, dan lain-lain. Hanya saja, karena dianggap membahayakan eksistensi ideologi Pancasila, pada tanggal 19 Juli 2017 HTI dibubarkan.
Kendati HTI telah dibubarkan, kampanye ideologi Khilafah di Indonesia masih secara massif dilakukan oleh perseorangan. Upaya ini pun sampai membuat pemerintah merasa was-was akan adanya “gerakan bawah tanah”. Dikhawatirkan, jika ideologi ini terus merebak ke seluruh masyarakat Indonesia, maka Pancasila akan tergoyahkan. Sehingga, pemerintah pun menggodok aturan larang individu sebarkan ideologi Khilafah. Upaya pemerintah ini mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta ormas keagamaan yang lahir di Indonesia; Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Dalam sejarahnya, Pancasila ditetapkan sebagai ideologi bangsa tidak terlepas dari musyawarah yang melibatkan oleh umat muslim. Awalnya, Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”. Atas rumusan ini, Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam ingin memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya. Setelah berdiskusi dengan para tokoh muslim, di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkan bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila dengan bunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Oleh tokoh muslim, upaya penggantian bunyi teks dalam salah satu sila Pancasila ini tidak terlepas dari kaidah fiqih, “Dar’u al-mafaasidi aula min jalbi al-mashalihi (menghilangkan kemadharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan).” Lebih-lebih, penggantian kalimat tersebut justru akan mendorong terjadinya kemaslahatan umum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Bagi umat muslim, bunyi teks sila pertama dalam Pancasila tidak menghalangi peribadatan. Pada tanggal 1 Juni 1945, Sukarno pernah berpidato, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.”
Bermula dari sinilah, Pancasila untuk muslim Indonesia dirasa sudah sangat tepat. Dengan ideologi Pancasila, umat muslim Indonesia bisa beribadah sesuai dengan al-Qur’an dan hadist. Bahkan, dengan ideologi Pancasila, umat muslim bisa mengamalkan jalinan sosial (muamalah) dengan pemeluk agama lain dengan baik sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW saat berada di Madinah.
Wallahu a’lam.