Allahu Akbar. Gema takbir dan gemuruh tahmid itu terus terdengar ditelinga kita disaat kita merayakan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Lantunan takbir dan tahmid tersebut sudah menjadi kebiasaan sebagai sambutan terhadap hari raya. Ia diucapkan dengan merdu, takbir keliling dan lain sebagainya. Selintas, kalimat itu tidak memiliki arti yang penting bagi kehidupan kita. Karena ia telah menjadi sebuah ritualitas yang kurang dihayati makna dan pesan yang terkandung didalamnya.
Begitu pula dengan hari raya Idul Adha saat ini. Gemuruh takbir dan tahmid senantiasa mengiringi umat Islam untuk merayakan Idul Adha sampai penyembelihan hewan kurban. Berbeda dengan Idul Fitri, dalam Idul Adha setiap umat Islam disarankan untuk menyembelih hewan kurban dan dibagi-bagikan kepada seluruh tetangga, fakir miskin dan kaum dhu’afa (QS. 22: 28).
Dari Teologis Ke Sosiologis
Sesungguhnya ucapan takbir dan tahmid disaat hari raya bukan tanpa arti. Dengan menyebut Allah Akbar, berarti kita hendak menegaskan bahwa tidak ada yang agung, istimewa dan besar dalam kehidupan ini kecuali hanya Allah. Sementara, kekuasaan, harta kekayaan, jabatan hanyalah bersifat remeh dan sementara. Dengan kata lain, kalimat takbir mengajarkan kepada kita semua untuk tidak menuhankan selain Allah (syirik). Tidak ada yang pantas disembah selain Allah. Harta kekayaan, kekuasaan, jabatan yang kita miliki sama sekali tidak berarti apa-apa diharapan Allah. Seberapa besar kekayaan dan jabatan yang kita miliki, akan hilang ketika ajal menjemput kita atau ketika badai menyapunya. Karena itulah, sangatlah tidak pantas jika harta kekayaan, jabatan, kecantikan dan sebagainya menjadi hal yang sangat istimewa dan dituhankan.
Sementara itu, tahmid bermakna sebagai ucapan syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Kata Al-hamdulillah mengisyaratkan kepada setiap umat islam untuk berterima kasih atas karunia dan rizki yang diberikan Tuhan. Sebagai bentuk terima kasih, Tuhan menganjurkan untuk memberikan sebagian harta kita kepada yang berhak, fakir miskin dan kaum dhu’afa lainnya (QS; 9: 60). Sebab, dihadapan tuhan tidak ada perbedaan antara orang yang kaya dan miskin. Dan, orang-orang yang tidak berterima kasih berarti ia ingkar (kafir) terhadap karunia Tuhan dan akan mendapatkan balasan yang setimpal (QS. Ibrahim; 07)
Dua kalimat (takbir dan tahmid) tersebut sangat pantas kita lantunkan bersama melalui tindakan praktis–bukan hanya menjadi kata-kata yang hambar akan makna dan pesan sosial-di tengah kondisi bangsa yang masih keluar dari problem kemiskinan dan pengangguran. Dengan takbir, berarti kita siap untuk tidak menuhankan selain Allah, sementara tahmid adalah sebagai ucapan syukur dan terima kasih kita. Dengan demikian, kita harus membuktikan bahwa harta, jabatan, kekuasaan bukanlah yang sangat istimewa.
Caranya, dengan memberikan sebagian harta kita dan membangun solidaritas bersama untuk korban Lapindo, korban banjir, dan buruh yang di PHK. Jangan korbankan mereka bersama dengan sembelihan hewan kurban. Sebab, mereka adalah kaum dhu’afa yang wajib kita santuni dan bantu, tidak boleh dianiaya (QS.17;16,28;5,4;75,62;2 ). Ibadah yang kita lakukan sama sekali tidak bermakna apa-apa jika tidak memberikan sesuatu kepada sesama, tegas Allah (QS. Al-Imran : 92)
Persaudaraan Universal
Selesai melaksanakan shalat Idul Adha, segenap umat islam dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban (sejak tanggal 10 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah, ayyam al-tasyriq). Karena itulah, idul Adha acapkali disebut sebagai hari raya kurban. Allah berfirman; Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (QS. Al-Kautsar, 1-2).
Dianjurkannya berkurban tidak lain hanya semata-mata sebagai wujud konkret dari bentuk syukur kita kepada Tuhan (tahmid). Sebab, pada dasarnya hewan yang kita sembelih sama sekali tidak sampai ke sisi Tuhan. Melainkan hanya ketaqwannyalah yang sampai kepada Tuhan (QS.22:37). Dengan demikian, berkurban hanyalah sebuah simbol atas ketaqwaan kita kepada Allah. Tentunya, berkurban tidak untuk pamrih dan pamer (al-riya’) kepada sesama, tetapi harus dilaksanakan secara ikhlas, yakni semata-mata hanya untuk Tuhan.
Disamping sebagai simbol ketaqawaan kepada Allah, berkurban juga merupakan simbol atas kontinuitas (keberlangsungan) ajaran Tuhan. Sebab, ajaran berkurban telah berlangsung sejah Nabi Ibrahim AS, bapak seluruh agama (Islam, Kristen dan Yahudi, Abrahamic Religion), ketika mendapat perintah Tuhan untuk menyembelih (berkurban) anaknya, Isma’il. Karena itulah, sangatlah ironis jika agama serumpun tersebut (Islam, Kristen dan Yahudi) berkonflik dan melakukan pertumpahan darah dimuka bumi ini. Sebab, pada dasarnya agama-agama tersebut memiliki titik temu (kalimah sawa’, QS. 3: 64) yang bisa mengeliminir perbedaan-perbedaan formalitas-simbolik diantaranya.
Ajaran Tuhan yang disampaikan kepada Muhammad sama halnya dengan yang diwasiatkan kepada Nuh, Ibrahim dan nabi-nabi sebelum Muhammad, Tuhan seluruh agama adalah satu (QS.42: 13, QS. 29: 46, 42:15) Sejalan dengan itu, Muhammad Abu Zahro (1985) mengatakan bahwa sesungguhnya seluruh syariat adalah satu kesatuan (inna al-syara’ia al-samawiyah wahidatun fiy ashliha).
Perbedaan ajaran agama yang bersifat partikular dan formalitas bukan untuk berseteru, bersaing dan saling membunuh diantaranya, tetapi hanya untuk melakukan kerjasama, saling mengenal, menghargai dan toleransi. Ajaran yang dibawa oleh Muhammad bukan untuk menghilangkan tradisi nabi sebelumnya, Isa (Yesus) dan Musa, tetapi untuk melanjutkan ajaran, tradisi yang telah dirintis sebelumnya. Khalil Abdul Karim (1990) menjelaskan bahwa ibadah haji, puasa, thawaf, jumrah, talbiyah merupakan tradisi masa lalu yang berlangsung sejak Nabi Ibrahim As.
Maka dari itu, sudah saatnya perbedaan agama tidak dijadikan alasan untuk saling membenci, melakukan kekerasan dan teror atas nama agama. Tanpa ada formasi kerjasama dan toleransi yang kuat diantara agama-agama tersebut, bukan hal mustahil, Clash of Civilization sebagaimana yang diramalkan oleh Samuel P. Huntington akan menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Sehingga, kekhawatiran Malaikat akan terjadinya pertumpahan darah karena perbuatan manusia benar-benar terjadi (QS. 2:30). Ini tentu sangat ironis.
Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, membangun solidaritas yang kuat, toleransi dan terbuka terhadap perbedaan. Sebab, seluruh ajaran agama, seperti Idul Adha bukan semata-mata sebuah ritus keagamaan yang bersifat transenden an-sih tetapi melampirkan pesan-pesan sosial yang sangat kaya. Jika demikian, penilaian Emile Dermenghem dalam Muhammad and the Islamic Tradition (1981) bahwa Islam adalah agama kemanusiaan terbuka (open humanism) dan agama terbuka (open religion) yang dapat menampilkan sebagai agama masa depan bisa diamini dan menjadi harapan serta cita-cita seluruh umat Islam mendatang. Dan, melalui Idul Adha inilah perlu dimulai kehidupan yang damai, toleransi, saling membantu, membangun solidaritas sosial dan peduli terhadap kaum dhu’afa. Wallahu ‘a’lam.