Jumat, Agustus 12, 2022
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Kolom
Ijtihad Dalam Islam- Perspektif Kontemporer

Ijtihad Dalam Islam- Perspektif Kontemporer

IJTIHAD DALAM ISLAM- Perspektif Kontemporer

Roland Gunawan by Roland Gunawan
02/07/2021
in Kolom
9 1
0
10
SHARES
197
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

IJTIHAD DALAM ISLAM – Di dalam buku mungilnya, “Hak-hak Reproduksi Perempuan”, KH. Masdar F. Mas’udi menyodorkan sebuah pertanyaan sederhana: bolehkah seseorang mendiskusikan agama, dalam hal ini Islam? Pertanyaan ini timbul karena secara umum umat Muslim berkeyakinan bahwa Islam sebagai sebuah agama ajarannya telah sempurna, tidak ada satu pun kekurangan di dalamnya; semua persoalan, besar maupun kecil, yang jelas maupun yang samar, sudah ditemukan jawabannya.

Ya, Islam telah lengkap! Dalam al-Qur`an ditegaskan, “Pada hari ini telah Aku lengkapkan bagimu agamamu, dan Aku sempurnakan atasmu nikmat dari-Ku, serta Aku restui bagimu Islam sebagai agamamu,” [QS. al-Mâ`idah: 3]. Dalam ayat lain al-Qur`an menyebutkan, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu,” [QS. al-Nahl: 89].

BacaJuga

Tradisi Menyantuni Anak Yatim di Bulan Muharram

Hijrah Kolektif dari Narasi Kebencian dan Pemecah Belah

Kenapa Masih Ada Kekerasan Seksual di Pesantren?

Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi umat Muslim selain melaksanakan apa yang sudah dititahkan dan ditetapkan oleh agamanya. Tidak perlu lagi dilakukan diskusi, sebab ia, sebagai sebuah proses pencarian, hanya cocok untuk permasalahan yang masih belum final. Sementara, seperti ditersurat dalam dua ayat di atas, segala hal yang berhubungan dengan agama sudah disempurnakan.

Namun, jika memang segala sesuatu dalam agama sudah sempurna dan final, lantas kenapa para ulama setelah zaman Nabi Saw. dan para sahabat melakukan ijtihad? Apakah dengan begitu mereka dapat dianggap tidak lagi mempercayai kesempurnaan ajaran Islam?

Realitas sejarah memperlihatkan bahwa pada masa awal-awal Islam sumber hukum yang dijadikan pijakan dalam setiap permasalahan adalah figur Nabi Saw. sebagai penerima wahyu secara langsung dari Tuhan. Artinya, setiap kali ada masalah, terutama yang terkait dengan agama, umat Muslim langsung menanya`kannya kepada beliau. Kala itu, masalah apapun yang terjadi hanya membutuhkan solusi yang amat sederhana. Sebab umat Muslim masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab.

Namun, setelah Nabi Saw. wafat, yaitu ketika mereka melakukan ekspansi ke beberapa tempat di luar Jazirah Arab dan berbaur serta menjalin interaksi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan dan budayanya, masalah-masalah yang muncul kemudian menjadi kompleks dan rumit maka dibutuhkanlah ijtihad dalam islam.

Hal itu menuntut para ulama untuk melakukan langkah-langkah kongkret dalam mencari solusi-solusi bagi seluruh permasalahan yang ada, terutama hal-hal yang berhubungan dengan agama, agar interaksi umat Muslim dengan masyarakat-masyarakat lain itu berjalan secara dinamis.

Tentu saja langkah-langkah yang mereka lakukan itu bukan tanpa dasar, justru, meski sudah dianggap sempurna, al-Qur`an menyuruh manusia untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi akal, di samping juga beberapa hadits Nabi Saw.

Dengan dasar itulah para ulama klasik kemudian melakukan upaya-upaya mempersambungkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal (al-kulliyyât) pada kasus-kasus kehidupan yang bersifat partikular (juz`iyyât). Inilah yang populer disebut ijtihad dalam islam. Dan hasil ijtihad—sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada ketentuan-ketentuan yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis operasionalnya—itulah yang disebut fikih.

 

Ijtihad Ciri Khas Ajaran Islam

Ijtihad merupakan ciri khas peradaban Islam yang muncul dalam konteks zaman dan sejarah yang begitu kompleks. Secara sederhana “ijtihad” bisa diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang dimaksud. Dalam istilah fikih kata ini berarti berusaha dengan tujuan melakukan suatu penalaran rasional yang bebas perihal suatu persoalan hukum. Ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam sebuah ayat al-Qur`an yang berbunyi, “Dan kepada mereka yang berusaha Kami tunjukkan jalan Kami.” Juga ayat lain yang senada, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mau merubahnya sendiri.”

Hal itu dipertegas dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang pengangkatan Mu’adz sebagai gubernur Yaman oleh Nabi. Diceritakan bahwa Nabi bertanya kepada Mu’adz bagaimana mestinya ia mengambil keputusan mengenai persoalan yang dihadapinya. “Saya akan menjalankan hukum berdasarkan al-Qur`an,” kata Mu’adz. “Tapi jika dalam al-Qur`an tidak ada petunjuk bagimu?” “Saya akan jalan dengan berpijak pada al-Sunnah.” “Tapi kalau dalam al-Sunnah juga tidak ada?” “Saya akan berusaha menurut penalaran saya sendiri.”

Dua ayat sebelumnya, secara tidak langsung, menyuruh kita untuk senantiasa berusaha tanpa henti. Sebab, Tuhan tidak akan mengulurkan “tangan-Nya” membantu kita kecuali kalau kita berusaha. Sementara hadits setelahnya menjelaskan tentang pedoman yang harus dijadikan pijakan dasar dalam mengarungi kehidupan.

Korelasi antara kedua ayat dengan hadits tersebut menjadi sangat jelas, bahwa manusia harus berusaha untuk terus berubah, bergerak ke arah yang lebih baik. Dan dalam menjalani hidupnya, manusia memerlukan pedoman yang bisa dijadikan pijakan. Pedoman tersebut bisa berupa teks-teks agama, seperti al-Qur`an dan hadits. Tetapi ini saja tidak cukup, masih diperlukan pedoman lain yang tidak kalah pentingnya dari sekedar teks-teks agama, yaitu akal (nalar).

Nabi Saw. tidak akan bertanya lebih lanjut perihal apa yang harus dilakukan jika ternyata al-Qur`an dan hadits sudah mencukupi dalam proses perumusan hukum. Justru pertanyaan terakhir yang beliau ajukan itu menunjukkan bahwa al-Qur`an dan hadits masih memiliki ‘keterbatasan’. Pada titik inilah akal mempunyai peran yang sangat signifikan. Untuk mengaktivasi akal, ijtihad yang oleh banyak ulama dianggap sebagai “prinsip gerakan” (mabda` al-harakah) dan metode berpikir (manhaj li al-tafkîr) dalam Islam harus diberlakukan, tidak boleh tidak.

 

Ijtihad Kontemporer

Sebenarnya apa yang dimaksud “ijtihad” menurut perspektif para ulama kontemporer? Sepanjang pembacaan saya terhadap buku-buku yang ditulis oleh para ulama atau pemikir kontemporer Islam, “ijtihad” saat ini pada dasarnya tidak jauh beda dengan ijtihad-ijtihad rumusan ulama klasik. Sumber-sumber hukum yang dipakai pun hampir sama; al-Qur`an (Kitab) masih diposisikan sebagai sumber primer dan sunnah atau hadits Nabi sebagai sumber sekunder. Meskipun memang terdapat banyak pengembangan sebagai upaya harmonisasi ajaran Islam dengan setiap tuntutan zaman.

Pengembangan yang dimaksud adalah peletakan sumber-sumber lain sebagai acuan-acuan yang sewaktu-waktu dapat digunakan dalam perumusan hukum dalam Islam, yaitu: ijmâ’ (konsensus), qiyâs (analogi), istishlâh (pencapaian maslahat), istihsân (kebaikan yang dicapai dengan rasio), istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), qawl shahâbîy (pendapat sahabat), syar’ man qablanâ (syariat agama pra-Islam), sadd al-dzarâ`i’ (tindakan preventif), ‘amal ahl al-madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), al-istiqrâ` (observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan) dan dalil al-‘aql (rasio).

Sumber-sumber hukum lain tersebut diberlakukan terkait dengan ajaran-ajaran qath’îy (kategoris) dan zhannîy (hipotesis) dalam Islam. Ajaran-ajaran qath’îy adalah ajaran-ajaran yang nilai-nilai universal dan fundamental, yang dalam al-Qur`an tercermin dalam ayat-ayat muhkamât.

Adapun ajaran-ajaran zhannîy adalah ajaran-ajaran yang bersifat jabaran (implementatif) dari ajaran-ajaran qath’îy tadi. Ajaran-ajaran zhannîy ini tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri. Karena itu ia terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi.

Dan yang harus diperhatikan, terutama dalam proses penerapan hudûd (ketetapan-ketetapan yang ditentukan Allah terkait hukuman yang diberikan kepada orang-orang yang melanggar larangan-larangan tertentu), keadilan, sebagai ajaran universal Islam, harus selalu menjadi pertimbangan utama.

Sekedar gambaran, hudûd adalah sekumpulan hukum yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur`an. Hukum tersebut meliputi, umpamanya, hukuman bagi kasus zina dan pencurian. Penerapan hudûd ini sering dianggap sebagai sesuatu yang tetutup, artinya tidak bisa berubah, hanya melihat tekstualitas al-Qur`an.

Sebagaimana dijelaskan oleh al-Syathibi dalam buku monomentalnya, “al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah”, bahwa al-Qur`an memiliki makna zhâhirîy dan bâthinîy. Sebagian besar umat Muslim hanya melihat makna zhâhirîy-nya saja, tanpa berusaha untuk menangkap makna bâthinîy-nya. Sehingga yang terjadi adalah penerapan hudûd secara keras, tidak ada kontekstualisasi. Artinya, tidak mau melihat konteks zaman dan tempat.

Dalam al-Qur`an, misalnya, disebutkan bahwa secara zhâhirîy, hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Tetapi kalau dilihat makna bâthinîy-nya, tujuan Tuhan menurunkan ayat itu adalah membuat orang jera; tidak mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Di sinilah kontekstualisasi berlaku.

Pada zaman Jahiliyah, sebelum Islam, hukum potong tangan sudah ada, dan al-Qur`an pun dalam menentukan hudûd tidak serta-merta menghapus hukum-hukum yang berlaku di masyarakat kala itu; tidak melabrak arus. Hukum potong tangan ketika itu masih relevan, mengingat watak orang Arab kala itu sangat keras, ganas dan primitif. Sehingga, mau tidak mau, al-Qur`an ikut membenarkannya.

Di negara-negara lain, hukum yang berlaku tentu saja berbeda dengan masyarakat Arab. Di Indonesia misalnya, hukuman bagi pencuri yang paling banyak diterapkan adalah kurungan penjara, atau hukuman lain yang lebih ringan. Di sini yang berlaku bukan lagi makna zhâhirîy—ayat yang menegaskan potong tangan—, tetapi makna bâthinîy-nya berupa tujuan untuk membuat orang jera dan tidak mengulangi kesalahannya.

Selama tujuan itu tercapai, hukuman apapun bisa dibenarkan, asalkan tentu saja tidak memperkosa hak-hak dasar. Ketika misalnya, seorang pencuri bisa jera dengan nasehat, maka hukuman seperti potong tangan atau penjara bisa saja tidak perlu diberlakukan.

Di dalam bukunya, “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan”, Khaled Abou el-Fadhl mengatakan bahwa penerapan hudûd sebenarnya tidak perlu terlalu keras. Menurutnya, dalam beberapa kasus, al-Qur`an memberikan isyarat-isyarat yang menekankan hal itu. Misalnya, ketika menyebutkan syarat-syarat dalam penerapan hudûd. Meskipun hudûd mencakup hukuman pidana yang keras, namun aspek kekerasan dalam hudûd ini menjadi terkurangi oleh kenyataan bahwa syarat pembuktian yang dibutuhkan untuk bisa memberlakukan hukuman sangat detail dan banyak sekali persyaratannya.

Dan tentu saja hal tersebut sangat menyulitkan penerapan hukuman dan karena itu jarang terimplementasikan. Misalnya, untuk membuktikan kasus perzinahan, yang dihukum dengan seratus cambukan, empat saksi mata harus bisa membuktikan bahwa—maaf saja—mereka melihat penis si pelaku sepenuhnya dimasukkan ke dalam vagina.

Itu jelas merupakan standar pembuktian yang teramat sulit. Dan yang lebih sulit bila beberapa dari empat saksi itu bersaksi bahwa mereka melihat peristiwa itu, sementara satu atau lebih dari empat saksi itu bersaksi bahwa mereka tidak melihat peristiwa itu, maka mereka yang mengklaim telah melihat peristiwa itu secara penuh (kelompok yang pertama) dihukum atas tuduhan memfitnah.

Jadi, jika ada orang yang datang membawa pernyataan tanpa bukti yang tidak dibenarkan oleh yang lain, ia melakukan ini semua dengan penuh resiko. Tentunya, hal ini berfungsi, selain untuk menghindar dari penuduhan yang tak dibenarkan mengenai perilaku seks yang tidak sah.[]

Previous Post

Benih Terorisme dan Radikalisme di Lembaga Pendidikan

Next Post

Toleransi Beragama dalam Perspektif Islam dan Bagaimana Implementasinya di Indonesia?

Roland Gunawan

Roland Gunawan

Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

RelatedPosts

muharram
Kolom

Tradisi Menyantuni Anak Yatim di Bulan Muharram

01/08/2022
hijrah
Kolom

Hijrah Kolektif dari Narasi Kebencian dan Pemecah Belah

28/07/2022
kekerasan seksual
Kolom

Kenapa Masih Ada Kekerasan Seksual di Pesantren?

26/07/2022
ukhuwah wathaniyah
Kolom

Pentingnya Ukhuwah Wathaniyah di Bumi Indonesia

18/07/2022
perempuan bercadar
Kolom

Perempuan Bercadar di Indonesia Tak Semuanya Eksklusif

04/07/2022
pendidik
Kolom

Menegaskan Kembali Peran dan Tanggung Jawab Seorang Pendidik

29/06/2022
Next Post
Toleransi Beragama Dalam Perspektif Islam Dan Bagaimana Implementasinya Di Indonesia?

Toleransi Beragama dalam Perspektif Islam dan Bagaimana Implementasinya di Indonesia?

Mengurai Hikmah Musibah Pandemi Covid 19

Mengurai Hikmah Musibah Pandemi Covid 19

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

thumbnail bulletin jum'at al-wasathy

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

12/08/2022
Anwar Sanusi

Stop Perdebatan Narasi Konfrontasi Antara Pancasila dan Agama

11/08/2022
Sekjen MUI Amirsyah Tambunan

Jelang 2024, MUI: Tolak Politisasi Agama dan Politik Identitas

10/08/2022
Musdah Mulia

Kikis Intoleransi, Jangan Ada Lagi Pemaksaan Jilbab di Sekolah

07/08/2022
bulletin jum'at

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

05/08/2022

Trending Artikel

  • Pribadi Nabi Muhammad Saw Yang Introvert

    Pribadi Nabi Muhammad SAW yang Introvert

    81 shares
    Share 32 Tweet 20
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    62 shares
    Share 25 Tweet 16
  • Cara Islam Mengatasi Rasa Insecure

    53 shares
    Share 21 Tweet 13
  • Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

    49 shares
    Share 20 Tweet 12
  • Definisi Dai, Ustadz, Mufti, Murobbi dan Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.