Seorang sheikh menyebutkan, cerita seorang peserta, bahwa untuk mengekstraksi sebuah hukum langsung dari al-Qur’an memang sulit. Sebab, al-Qur’an itu ibarat hutan yang tumbuh di dalamnya aneka tumbuhan dan hewan dengan khasiat masing-masing. Meski diyakini bahwa khasiat itu ada, tidak lantas berarti bahwa setiap manusia mampu mengidentifikasi dan mengekstrak langsung hewan dan tumbuhan tersebut menjadi obat.
Tetap saja dalam usaha tersebut diperlukan orang-orang dengan kapasitas tertentu terutama mereka yang bergelar dokter atau tabib. Mereka adalah para sosok yang memang mendedikasikan diri dalam memahami, mengidentifikasi, mengekstrak, meracik, dan mengemas setiap khasiat tersebut sehingga kemudian tersuguhkan berupa obat.
Sebagaimana dalam kehidupan keberagamaan, tetap saja kita memerlukan para ulama dengan kualifikasi tertentu yang bertugas untuk menjadi mundzir al-qawm (al-Taubah 122), yaitu mendedikasikan fikiran dan hati mereka untuk mendalami ilmu-ilmu agama agar bisa digunakan untuk memberikan peringatan (indzar) kepada umat Islam ketika mereka sudah melenceng jauh dari jalur utama yang sudah ditentukan (al-sirath al-mustaqim).
Sebagaimana diisyaratkan al-Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dhalal wa al-Mushil ila Dzi al-‘Izzat wa al-Jalal, (hal. 116-117) jika tubuh memerlukan dokter untuk mengobati penyakit atau mencapai hidup yang sehat, maka kehidupan keberagamaan juga memerlukan dokter. Mereka adalah para ulama pewaris nabi yang bertugas menjadi penerang ketika Ummat tersesat dan menunjukkan cara mencapai hasanah, yaitu kebaikan di dunia dan akhirat (al-Baqarah 201).
Dalam konteks yang lebih luas dan kontemporer, karena periode kehidupan Rasulullah Saw yang menjadi sumber hukum Islam adalah terbatas, sementara perkembangbiakan manusia dari waktu ke waktu, baik dari segi jumlah maupun jenis permasalahan yang mereka hadapi, semakin bertambah dan semakin kompleks, maka situasi ini menimbulkan satu pertanyaan; mampukah teks ajaran Islam yang terbatas tersebut menjawab segala permasalahan manusia yang demikian kompleks?
Dalam karyanya Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid (hal. 3), Ibnu Rushd melukiskan situasi tersebut dengan kalimat “wa muhal an yuqabila ma la yatanaha bi ma yatanaha”. Artinya, membandingkan dua hal yang tidak setara, yaitu yang satu tidak terbatas dan satu lagi terbatas, adalah satu pekerjaan yang tidak logis dan karena itu tidak mungkin dilakukan.
Yang dapat dijelaskan terkati hal ini adalah bahwa yang dimaksud dengan menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk dan tempat rujukan adalah bukan dari sisi teksnya belaka, namun lebih kepada pemaknaan terhadap teks itu sendiri. Karena itu, semata-mata kembali secara tekstual kepada al-Qur’an dan Sunnah jelas tidak cukup memadai. Karena dalam proses ‘kembali’ tersebut masih diperlukan para sosok kompeten yang disebut ulama mujtahid di atas.
Tugas ulama tersebut tidak semata-mata hanya membacakan dan menukil informasi yang tersebut dalam teks al-Qur’an dan Sunnah secara apa adanya, namun lebih jauh lagi – dan ini lebih sulit – harus mampu menangkap tujuan utama (maqasid al-shariah) dari teks tersebut, merekonsiliasi teks-teks lain terkait yang tampak kontradiktif, menginterpretasikan dan mengontekstualisasikan hasil rekonsiliasi tersebut dalam konteks kontemporer, dan yang terakhir mensinkronisasikan hasil pembacaan itu dengan nilai-nilai yang ada pada maqasid al-shariah di atas.
Kerja intelektual seperti ini sangat diperlukan karena al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri memang sekumpulan teks yang terbatas. Namun, keterbatasan itu jugalah yang justru menjadi keistimewaan keduanya. Artinya, meski teks yang tertulis terbatas, namun makna yang diproduksi tidak terbatas. Karakteristik yang demikian dinamis ini merupakan konsekuensi logis dari deklarasi-generalisasi Islam sendiri sebagai hudan (Ali Imran 138), yaitu agama petunjuk yang senantiasa adaptif terhadap perkembangan lintas zaman dan geografis. Kualifikasi terakhir inilah yang hari ini tidak banyak orang mampu bisa memenuhinya.
Kontekstualisasi dalam Ijtihad
Kontekstualisasi, sebagaimana diisyaratkan dalam KBBI, merupakan proses menjadikan suatu teks berhubungan erat dengan konteks. Dalam literatur Usul al-Fiqh, kontekstualisasi adalah usaha untuk menjadikan teks al-Qur’an dan Hadis atau pemahaman yang diturunkan darinya sesuai dengan konteks masing-masing mitra bicara ketika teks atau pemahaman tersebut diberikan kepada mereka. Sementara sarjana mengaitkan kontekstualisasi dengan apa yang disebut qiyas, yaitu proses mengkontekstualisasikan nilai moral dari sebuah kasus yang sudah ditentukan hukumnya (asl) terhadap kasus baru yang belum ditentukan hukumnya (far’) karena persamaan penyebab (‘illah) di antara keduanya.
Pada umumnya, sebagian sarjana menisbatkan asl pada apa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw lantaran periode kehidupan beliau adalah yang terbaik dan segala yang menjadi perilakunya memang menjadi sumber hukum. Sementara far’ disandarkan kepada peristiwa kontemporer pada setiap lembaran sejarah umat Islam setelah meninggalnya beliau. Namun, patut diketahui juga bahwa bahkan semasa hidup Rasulullah Saw pun, spirit kontekstualisasi sesungguhnya sudah mewujud.
Dalam kitab populernya, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izz al-Din Ibn Abd al-Salam memberikan contoh bagaimana Rasulullah Saw melakukan kontekstualisasi terhadap hadits yang diucapkannya dengan memperhatikan siapa Sahabat yang menjadi mitra bicaranya sekaligus kondisi yang sedang dihadapinya.
Dalam sekian riwayat, ditemukan Rasulullah Saw menyatakan bahwa amalan yang paling utama adalah iman kepada Allah Swt (al-iman billah). Pada saat yang sama, ia juga menyatakan berbakti pada kedua orang tua (birr al-walidain), shalat tepat pada waktunya (al-shalat li awwal waqtiha), dan jihad fi sabilillah termasuk amalan utama Pertanyaannya; apakah hal tersebut lantas berarti Rasulullah Saw tidak konsisten terhadap ucapan beliau sendiri? Mengapa sedemikian banyak amalan yang berbeda masing-masing disebut paling utama? Bukankah ketika suatu perbuatan disebut paling utama, maka otomatis yang lain tidak akan lebih utama darinya?
Apa yang terjadi justru adalah sedemikian bijak Rasulullah Saw dalam berdakwah. Saran dan ajakan kebaikan disesuaikannya dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh Sahabat penanya. Kesempatan memperkuat keimanan, berbakti kepada orang tua, shalat tepat waktu, jihad, dan juga lain-lainnya semuanya merupakan episode yang akan selalu berganti dan berputar dalam kehidupan seseorang. Memang setiap amalan mempunyai tingkatan, namun yang paling utama dilakukan adalah berbuat terbaik dalam maqam yang telah ditentukan Allah Swt kepadanya agar selalu dekat kepada-Nya.
Bahkan nilai moral kedekatan kepada Allah Swt tersebut, lanjut Izz al-Din, dapat juga dikontekstualisasikan dalam hubungan lintas individu. Artinya, bagi Sahabat yang sedang dicoba untuk merawat orang tua, maka amalan terbaik baginya adalah berbakti kepada keduanya. Bagi Sahabat lain yang sedang dikaruniai harta yang cukup, maka haji mabrur adalah amalan utama yang harus diusahakan olehnya. Dan mereka yang diberi kekuatan berjihad sementara kondisi sosial memang memerlukannya, maka jihad itulah perbuatan utama baginya.
Ini merupakan bukti bahwa praktik kontekstualisasi sudah dilakukan bahkan sejak zaman dan oleh diri Rasulullah Saw sendiri. Kebutuhan akan kontekstualisasi jelas bertambah urgen di masa sekarang ini ketika beliau tidak lagi bisa dijumpai secara fisik. Menyadari hal ini, maka para ulama mujtahid bertindak mengambil peran dalam proses kontekstualisasi tersebut.
Fakta akan urgensi peran ijtihad ini sekaligus juga menjadi jawaban bagi sementara saudara sesama Muslim yang bersikukuh untuk hanya kembali secara tekstual kepada al-Quran dan Sunnah. Apa yang dihasilkan oleh para ulama mujtahid, betapa pun banyak dan luar biasa jumlahnya, tidak lain hanya karangan manusia yang tidak perlu diikuti.
bersambung…