Sebagai umat Muslim, kita seyogianya memperbanyak amal beribadah kepada Allah. Seperti, melaksanakan salat lima waktu, salat sunah rawatib, tahajud, zikir, zakat, puasa, dan ibadah Mahda lainnya. Sebab, hal tersebut adalah sebagai wujud ketakwaan kita kepada Allah sekaligus jalan menuju surga-Nya. Demikian, sebagian isi dari ungkapan seorang khatib Jumat ketika memberikan khotbah terhadap para jamaah Jumat beberapa waktu lalu.
Pernyataan seorang khatib ini, seolah-olah, mengindikasikan bahwa Islam sebagai agama hanya mengajarkan tentang tata cara beribadah kepada Allah semata. Dengan kalimat lain, ajaran Islam sekadar berkutat pada tataran ukhrawi tanpa memedulikan urusan duniawi atau kehidupan konkret umat manusia. Persoalan ketimpangan sosial, ketidakadilan, diskriminasi, dan bagaimana membangun relasi harmonis antarsesama manusia misalnya. Seakan luput dari jangkauan agama (Islam).
Padahal jika ditelisik lebih jauh lagi, Islam pada hakikatnya adalah agama kemanusiaan. Artinya, segala urusan manusia, baik menyangkut hubungan manusia dengan Sang Pencipta maupun hubungan sesama manusia, beserta tetek bengeknya. Kesemuanya itu telah diatur dalam ajaran Islam. Bahkan, kepada hal-hal yang sifatnya remeh temeh, seperti urusan ke kamar mandi, makan, tidur, dan lain-lain.
Lantas pertanyaan yang muncul kemudian dalam benak adalah, benarkah Islam hanya sekadar mengajarkan tentang ibadah Mahda semata dan acuh terhadap realitas kehidupan umat manusia, sebagaimana pernyataan di atas? Bukankah persoalan kehidupan sosial manusia semakin kompleks dan selalu berkembang dari masa ke masa.
Islam dan Problematika Kemanusiaan
Memang, diakui atau tidak beberapa tahun terakhir ini kita dihadapkan dengan pelbagai macam problem dan krisis yang melanda seluruh umat manusia. Atau, yang disebut sebagai krisis kemanusiaan. Maraknya kasus intoleransi, pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), kemiskinan, ketidakadilan sosial, diskriminasi pada kelompok minoritas, dan lain-lain sebagai wujud nyata bahwa kehidupan umat manusia sedang tidak baik-baik saja.
Kesemuanya ini, tentu saja, menuntut adanya solusi dari berbagai pihak agar tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan dan mengakar kuat di tengah masyarakat. Dan Islam pun dituntut untuk ikut ambil bagian dalam mencegah atau meminimalisir semaksimal mungkin-jika tidak bisa atau sulit untuk menghilangkan secara total.
Seperti diketahui bersama bahwa Islam, turun pertama kali dengan membawa misi utama, menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Ini artinya, Islam menekankan pada pemeluknya untuk selalu menghargai umat manusia, menciptakan perdamaian, kesejahteraan, keadilan, dan lain sebagainya. Karena itu, beribadah tidak hanya ditujukan sebagai pemuasan batin pribadi dan pengguguran kewajiban kepada Allah. Namun, nilai-nilai ibadah hendaknya ditransformasikan juga pada perilaku sehari-hari (memedulikan terhadap persoalan yang dihadapi umat manusia). Sehingga ibadah yang dilakukan seorang hamba kepada Tuhan-nya bukan merupakan ritus yang hampa makna.
Mengutip Hassan Hanafi dalam karyanya Kiri Islam, menyatakan bahwa; realitas kehidupan umat Islam dewasa ini menggambarkan kecenderungan-kecenderungan dalam mempraktikkan keberagamaan (keberislaman) hanya menjadi ritus-ritus kosong yang tidak bernilai. Artinya, Islam hanya dijadikan sebagai sebuah rutinitas transaksi untung rugi antara seorang hamba dengan Tuhan-nya.
Lebih jauh lagi, menurut Hassan Hanafi, selama ini kaum Muslim begitu yakin bahwa ketakwaan dan kesalehan akan dicapai seseorang jika ia lebih sibuk mengurusi dan membela Tuhan daripada membela kepentingan kemanusiaan yang menderita. Dekat kepada Tuhan acap dibuktikan dengan tidak peduli pada nasib manusia yang dieksploitasi, haknya dirampas, terjadinya ketidakadilan, penderitaan, dan lainnya. Seolah-olah, kesaksian iman kerap diidentikkan dengan perilaku tidak manusiawi.
Padahal Tuhan berkali-kali menyatakan bahwa hanya mereka yang mencintai dan mengasihi sesama manusia, menolong yang lemah, miskin, dan tidak berdaya agar terbebas dari segala penderitaan yang mengitarinyalah yang akan dikasihi, ditolong, dan dekat serta boleh menyatakan diri beriman kepada-Nya. Dalam konteks inilah keberislaman kita perlu ditransformasikan bagi kepentingan umat manusia.
Ambillah contoh zakat. Fungsi utama yang hendak diusung oleh ibadah yang satu ini jelas fungsi sosial, yaitu bagaimana bisa menjawab Problematika kemiskinan yang dialami umat manusia, terutama umat Islam sendiri. Dengan kalimat lain, zakat tidak boleh semata dianggap sebagai Tazqiyatul mal sebagaimana konsep fikih yang selama ini dijadikan pegangan oleh mayoritas umat Islam. Namun fungsi pemberdayaan itulah yang seharusnya didahulukan atau dikedepankan.
Sementara itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa; hukum agama (Islam) tidak akan kehilangan kebesarannya dengan memfungsikan dirinya sebagai etika sosial masyarakat. Bahkan, kebesarannya kian memancar dan bersinar terang karena dianggap mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi, yang disebut negara. Juga tinggi rendahnya harkat dan martabat seseorang tidak sekadar dinilai atau dilihat dari kesalehan spiritualnya dengan semangat beribadah kepada Allah. Akan tetapi, lebih dari itu, yakni mereka harus peka serta menumbuhkan dan menanamkan sikap empati dalam dirinya untuk mengatasi segala problem sosial yang semakin krusial di tengah masyarakat. Walau begitu, harus tetap berpegang teguh pada prinsip nilai-nilai agama (Islam).
Karena itulah, lanjut Gus Dur, umat Islam tidak boleh acuh terhadap pelbagai kerusakan, diskriminasi, ketidakadilan sosial-ekonomi dan lainnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi sampai melakukan hal serupa. Namun, mereka harus berani dan terlibat secara langsung untuk mengadakan koreksi atas segala tindakan yang dinilai merugikan masyarakat. Sebaliknya, apabila mereka membiarkan maraknya perilaku korupsi besar-besaran dan penindasan dengan menyibukkan diri akan ritus-ritus keagamaan, hanyalah membiarkan keberlangsungan proses pemiskinan serta perusakan bangsa.
Dari sini jelaslah bahwa, Islam bukan sekadar berkutat pada tataran ukhrawi semata dengan memperbanyak ritus-ritus yang bersifat individualistis. Akan tetapi, Islam hadir untuk menyelamatkan umat manusia dari segala praktik dehumanisasi yang dapat merugikan manusia itu sendiri. Atau, meminjam istilah Asghar Ali Engineer, Islam adalah sebagai teologi pembebasan: membebaskan seluruh umat manusia dari pelbagai penindasan untuk menuju orientasi hidup yang lebih membahagiakan dan menyejahterakan. Wallahu A’lam