Jakarta — Satu setengah tahun ke depan, masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi kembali. Masih dirasakan oleh masyarakat bagaimana panasnya kontestasi antar calon Presiden dan Wakil Presiden yang lalu. Hal ini yang digarisbawahi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama RI.
Dalam acara Kolokium Agama–Agama Nusantara (KAANA), MUI dan KEMENAG RI mengundang perwakilan agama seperti PGI, KWI, PERMABUDHI, WALUBI, MATAKIN, PHDI, beserta ormas-ormas keagamaan di Indonesia, Rabu (10/8).
Sekjen MUI Pusat, Amirsyah Tambunan saat dalam sambutannya menjelaskan misi terselenggaranya acara KAANA.
“Kegiatan yang bersifat dialog antar agama ini, merupakan salah satu tugas MUI. Diharapkan ada hasil rumusan bersama dalam kerukunan antar umat beragama. Apalagi menjelang tahun politik 2024 mendatang” ungkap Amirsyah
Pemilu tak dapat dilepaskan dari isu politisasi agama dan politik identitas. Fakta ini yang ditanggapi oleh MUI dengan penolakan dan agar bagaimana umat beragama di Indonesia tetap rukun dan bersatu.
“Kami menolak dan menentang keras penggunaan politik identitas, politisasi agama, dan komodifikasi agama dalam politik praktis, terutama dalam pemenangan Pemilu tahun 2024, yang dilakukan oleh siapapun dan atas nama apapun” tegas dia.
Menurutnya, Indonesia menyandang predikat negara paling rukun di dunia. Meskipun terdapat konflik-konflik kecil yang temporer.
“Saya yakin sebagai warga bangsa, Indonesia adalah negara yang sangat rukun dibanding negara lain. Meskipun konflik-konflik kecil, tetapi ada ormas-ormas penyangga. Ini merupakan social capital dan human capital yang dimiliki oleh kita bersama. Indonesia punya keunikan yang tidak dimiliki oleh negara lain. Ada koridor untuk menciptakan kerukunan atau persatuan” jelasnya.
Pada sambutan yang lain, perwakilan KEMENAG RI, Abu Rohmad meminta saran dari beberapa perwakilan umat beragama guna menyikapi isu politisasi agama dan politik identitas.
“Kementerian Agama butuh saran dan kritik dalam rangka pengelolaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Mohon bimbingan kepada semuanya. Kegiatan KAANA ini sangat penting!” kata dia.
Sampai saat ini, secara umum masyarakat masih belum memahami apa yang dimaksud dengan ‘politik identitas’. Dan ia juga meminta, supaya MUI hadir sebagai penjaga moral umat.
“Perlu dijelaskan ke masyarakat luas tentang definisi politik identitas. Apakah menggunakan alasan agama dalam pemilu, termasuk bagian dari politik identitas?. MUI diharapkan hadir sebagai guardian of moral (penjaga moral).” ungkap Rohmad.
Turut hadir pula di acara tersebut, Rumadi Ahmad (Kantor Staf Presiden), Valina Singka Subekti (Wasekjen MUI), Khairul Umam (Peneliti Universitas Paramadina Jakarta), dan jajaran pengurus harian MUI Pusat.
(SM)