“Jihad” dan “jahat”, dua kata yang hampir sama terdengar pada pendengaran telinga kita. Jumlah hurufnya ada lima, tetapi bukan secara tipografi penulis akan menjelaskan dua kata tersebut. Namun, ada kesesuaian yang dapat kita petik dari dua kata itu.
Rasulullah SAW. telah mencontohkan Jihad kepada umat Islam. Salah satu contoh Jihad yang dapat kita ambil adalah sifat sabar beliau. Tulisan ini akan mengungkapkan, bagaimana makna Jihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari sudut sosiologi masyarakat zaman Nabi SAW dan realitas Muslim kontemporer.
Kata jihad — maupun kalimat yang berindikasi sama—- beberapa dekade terakhir mencuat ke publik. Puncaknya adalah ketika era digitalisasi atau media sosial. Makna jihad seringkali diperebutkan oleh kelompok-kelompok Islam.
Pada masa awal kenabian, Islam sangatlah ditentang oleh masyarakat Arab kala itu. Nabi dan para sahabat berjuang dalam syiar untuk mendakwahkan kepercayaan baru tersebut di kota Mekah. Berbagai macam gangguan dan intimidasi oleh kaum kafir, membuat dakwah yang dilakukan Nabi dan para sahabat sangatlah sulit.
Term jihad pada masa Nabi yakni bisa kita rangkum dari Alquran. Sekitar 42 kalimat dan ṣighat yang berbeda (Abdul Baqi, 2002). Para mufassir memaknai jihad dengan segala bentuk ketaatan kita kepada Sang Pencipta. Adapun makna jihad seperti peperangan, atau dengan mengangkat pedang, adalah kondisi umat Islam yang sangat terdesak oleh kaum kafir Quraisy kala itu. Yang harus digarisbawahi yakni situasi atau saat masa-masa awal syiar Islam yang penuh dengan paradoksal.
Nabi SAW. tidak menyerang dahulu, justru dari pihak musuhlah yang terlebih dahulu menyerang kaum Muslimin. Yang dapat kita petik dari peristiwa ini adalah buah kesabaran Nabi SAW. Kesabarannya itu adalah bentuk jihad.
Jihad Kontemporer
Realitas yang terjadi saat ini, banyak kalangan umat Islam mengklaim dirinya sebagai “Muslim atau Mukmin Sejati”. Sah-sah saja mereka menganggap dirinya perfect dari Muslim lain. Tetapi mereka lupa tipologi Muslim sejati yang disabdakan oleh Nabi SAW.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah orang yang sanggup menjamin keselamatan orang-orang Muslim lainnya dari gangguan lisan dan tangannya.” [HR Bukhari]
Sabda Nabi di atas sangat menarik. Mengapa Nabi mendahulukan lisan daripada tangan? Mungkin saja Nabi mendahulukan lisan karena hampir semua dosa besar manusia — dari dahulu sampai sekarang— itu memang lewat indera pengecap tersebut. Premis ini penulis bandingkan dengan pendapat Habib Jindan bin Novel saat mengisi suatu acara tabligh.
Ia mengungkapkan hadits Nabi SAW di atas, bahwa tangan jangkauannya hanya terdekat (yang masih hidup). Sedangkan lisan dapat mengganggu manusia lintas waktu (Jindan, 2020). Terbukti bahwa saat ini, masyarakat mudah mencaci-maki atau menghina.
Perbuatan jahat seperti mengganggu umat Islam dan lainnya, bukanlah tipologi Muslim Sejati yang disabdakan Nabi di atas. Aksi-aksi gangguan terhadap Muslim maupun Non-Muslim dalam bungkusan kata “Jihad”, sudah sangatlah sesat.
Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah tafsir Q.S. al-Fath: 29, “…asyiddāʾu ʿala al-kuffār” (keras terhadap orang-orang kafir). Banyak dan sudah salah kaprah jika Muslim memaknai ayat ini sebagai dalil permusuhan dengan Non-Muslim. Padahal, yang tahu makna “…asyiddāʾu ʿala al-kuffār…” hanyalah Nabi SAW.
Menyambung pendapat Habib Jindan sebelumnya, penulis sepakat bahwa realitas terbaru Muslim sekarang yakni kemasan luarnya Jihad, tetapi dalamnya jahat. Jihad versi Nabi SAW. adalah jalan dakwah yang santun. Bentuk cacian, menebar hoaks, provokasi, atau perbuatan mengganggu manusia lain merupakan jalan setan.
Jika kita menerapkan jihad versi Nabi dalam kehidupan sekarang, yaitu dengan meneladani kesabaran dan perbuatan baiknya. Untuk itulah, kita jangan mudah terprovokasi dan mudah menelan mentah kabar yang belum tentu itu benar. Mudah mengambil keputusan, tetapi tidak berpikir secara matang.
Ada sebuah advice dari Habib Jindan yang patut kita renungkan berikut ini:
“Kita hidup di dunia ini ironis di antara dua hal. Ada orang yang mengganggu dan diganggu. Jikalau kita memang terkena salah satunya, kita lebih baik diganggu, daripada mengganggu. Lebih baik dimusuhi, jangan memusuhi, Lebih baik dicaci maki dan dihina, daripada mencaci maki dan menghina.”
Wallahu a’lam…