Sungguh teramat sedih mendengar kabar kawan saya, (sebutlah namanya Cici, bukan nama asli) yang beragama Protestan diolok oleh rekan masa kecilnya karena berbeda agama. Lingkungan tempatnya tinggal mayoritas Muslim, sedangkan ia dan keluarga beserta beberapa saudaranya Protestan.
Beberapa waktu lalu dia cerita kepada saya bahwa keyakinan dia diolok oleh rekannya itu dengan dalih bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak punya Bapak. Rekannya itu kemudian mempertanyakan “Kalau Yesus Tuhan, mengapa Yesus bisa mati?” Lebih parahnya, dia memaksa Cici berpindah agama karena dianggap kafir.
“Orang kafir kalau di kami, boleh dirampas hartanya,” curhat Cici pada saya.
Tentu saja, Cici merasa terancam atas hal ini. Memang hanya satu orang yang mengancam demikian, namun tentu menakutkan baginya.
Saya mengenal Cici sudah cukup lama, dia adalah pemeluk Kristen Protestan yang baik. Cici selalu terlibat dalam misi kemanusiaan, misalnya saat ada gempa besar yang melanda Lombok, ia turut terjun ke lokasi dan membantu sesama tanpa pandang agama.
Saya tak yakin kalau rekan Cici itu benar-benar khatam dalam belajar agama, barangkali ia hanya belajar setengah-setengah saja sesuai apa yang ia kehendaki, terutama di bidang tafsir dan sejarah.
Cici adalah satu dari sekian banyak orang non-muslim yang merasa lelah terhadap ancaman-ancaman yang menyerang keyakinannya. Beruntunglah, Cici hanya mendapatkan ancaman secara verbal. Tapi tetap saja, ancaman-ancaman demikian tidaklah dibenarkan.
Dalam Islam, kita sangat yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Kuasa. Ia menciptakan seluruh isi dunia. Allah SWT juga menciptakan manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Artinya, Allah SWT yang telah menciptakan perbedaan di tengah-tengah kehidupan manusia (Qs. Al-Hujurat ayat 13).
Jika Allah menghendaki, maka Ia akan menciptakan manusia satu suku bangsa saja, satu bentuk, satu rupa, satu gender, hingga satu agama saja. Namun tidak, Allah SWT menciptakannya dengan sangat beragam, dengan keyakinan yang beragam pula.
Islam adalah agama yang sangat toleran terhadap keberagaman, bahkan tanpa kita mengkampanyekan Islam toleran sekalipun. Sejak zaman Rasulullah SAW, Islam sudah sangat jelas toleransinya. Sebut saja beberapa bukti toleransi itu, di antaranya adalah Perjanjian Hudaibiyah. Sehingga orang-orang yang tidak toleran sebenarnya telah melenceng jauh dari jalur berislam itu sendiri.
Keberagaman di internal umat Islam juga sangat banyak, seringkali itu yang menyebabkan berbagai perdebatan terkait akidah atau tafsir. Misalnya akidah Asy’ariyah dengan Wahabbiyah, Sunni dengan Syiah, atau tafsir antara Madzhab Syafi’i dengan Madzhab Maliki, dan lain sebagainya.
Artinya, di dalam internal Islam sendiri juga ada keberagaman. Kita harus tetap teguh dan kokoh terhadap iman dan akidah kita, tak apa sesekali mengkritik akidah yang lain untuk memperkuat keimanan kita, tetapi jangan sampai mencela. Sebab kebenaran mutlak tidak berada di tangan manusia.
Begitu juga sikap kita terhadap agama-agama lain. Sudah sepatutnya kita menghargai keberadaan mereka, menghargai keyakinan serta keimanan mereka. Tak perlu mengolok sesembahan siapapun, sebab Allah SWT sendiri memerintahkan umat Islam supaya tidak mengolok sesembahan umat agama lain demi kenyamanan bersama.
Terlebih di Indonesia dengan kehidupan yang sangat beragam, jika kita memaksakan saklek satu keyakinan atau satu agama saja, tentu yang akan terjadi adalah beragam perang dan permusuhan. Tak baik menyamakan apa yang berbeda dan membedakan apa yang sebetulnya sama.
Kita perlu mengembalikan semuanya kepada bunyi Al-Qur’an Surah Al-Kafirun: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Kalau kata teman-teman di Jaringan Gusdurian, “Untukmu agamamu, untukku kau saudaraku.”
Baca Juga: Memahami 5 Fungsi Puasa di Bulan Ramadan yang Memerdekakan dan Mempersatukan