Ibadah puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi umat Islam seluruh dunia. Tak peduli dia dari suku dan ras mana pun, semua larut menjalankan syari’at ini. Di bulan Ramadhan juga dianjurkan untuk menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan ibadah, salah satunya adalah shalat tarawih (sekaligus witir) dengan 11 rakaat atau 23 rakaat.
Umat Muslim menyambut dengan sangat gembira akan datangnya bulan Ramadhan. Selain menjalankan ibadah puasa, mereka juga bersama-sama menjalankan shalat tarawih. Salah satu dalil populer mengenai ini yang berbunyi:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Hadits Nabi SAW di atas merupakan dalil akan anjuran melaksanakan shalat tarawih. Para ulama bersepakat bahwa, redaksi “qāma ramaḍāna” sebagai interpretasi dari ibadah shalat Tarawih.
Mengutip hasil riset dari Alvara Strategic, data menunjukkan umat Muslim Indonesia didominasi oleh kalangan ritual keagamaannya bersifat kultural, seperti tahlilan, maulid Nabi, qunut subuh, ziarah, dan pilihan rakaat tarawih. Sebanyak 49% umat Muslim Indonesia memilih tarawih dengan 11 rakaat daripada 23 rakaat. Artinya, identitas Muslim Indonesia adalah Muslim kultural, akan tetapi tidak totalitas.
Secara etimologi, tarawih berasal dari kata bahasa Arab yang berarti “menyenangkan” (Ash-Shiddieqy, t.th). Abdullah al-Syarqawi dalam Fatḥ al-Mubdi’: Syarah Mukhtār az-Zābid, kata ‘Tarāwih‘ bentuk jamak dari tarwīḥah yang artinya sekali istirahat — istirahat diantara dua kali salam— tidak langsung menyambung sampai shalat selesai. Penamaan ini diperuntukkan shalat jama’ah di malam bulan Ramadhan (Abdullah, t.th).
Sejarah Awal Mula Tarawih
Sumber mencatat bahwa sejarah awal mula tarawih terjadi dalam tiga kali kesempatan. Pertama, ketika Rasulullah SAW. masuk masjid pada malam 23 Ramadhan (2 Hijriah). Kedua, saat di malam 25 Ramadhan dan diikuti oleh banyak para sahabat. Dan ketiga, pada tanggal 27 Ramadhan (Sarawat, 2011).
Selanjutnya, ketika masuk malam 29 Ramadhan, para sahabat dan umat Islam menunggu Nabi. Akan tetapi, tidak juga hadir di masjid. Alasan utamanya dikarenakan beliau takut akan diwajibkannya shalat tarawih. Oleh karena itu, kemudian mereka melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri.
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari disebutkan, saat Nabi SAW. hendak melaksanakan shalat subuh (di waktu malam 29 Ramadhan dan Nabi tidak tarawih), Nabi menjelaskan mengapa semalam tidak pergi ke masjid: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya“. Kemudian setelah Rasulullah SAW. wafat, tradisi shalat (Tarawih) secara berjamaah terus berlangsung seperti itu (Syafe’i, 1950).
Sikap yang dilakukan oleh Nabi bukan berarti menghindar dari ibadah malam Ramadhan, tetapi bukti bahwa Nabi sangat mencintai umatnya dengan rasa kepedulian (bersikap takut) andaikan tarawih itu kemudian diwajibkan.
Perbedaan Jumlah Rakaat Tarawih: Sebuah Tinjauan Historis
Mahmud Nasution dalam “Tarawih dan Tahajjud: Tinjauan Persamaan dan Perbedaan dalam Pelaksanaan dan Keutamaan” menulis, memang terdapat sedikit orang yang mengatakan Nabi SAW. melaksanakan tarawih dengan 11 rakaat. Hal ini didasarkan dari hadits Aisyah RA. :
كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ، فَقَالَتْ: مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ، وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Bagaimana shalat Rasulullah SAW. di bulan Ramadhan? Aisyah menjawab, “Beliau tidak pernah menambah, baik di bulan Ramadhan atau selainnya dari 11 rakaat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Lebih lanjut, Nasution menjelaskan hadits tersebut memang shahih, tetapi hadits untuk pelaksanaan shalat tahajud. Begitulah kesepakatan para ulama pada umumnya.
Pada masa khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, shalat tarawih dilakukan dengan munfarid (sendiri) maupun berkelompok. Tidak ada keterangan disarankan berjamaah di masjid dengan satu imam. Jumlah rakaat juga tidak secara implisit menyatakan harus dengan 8 rakaat (dan ditambah saat di rumah) (Fattah, 2012).
Kemudian terjadi transisi jumlah rakaat saat masa khalifah Umar bin Khattab. Kronologinya terjadi saat Umar melihat kondisi umat Islam tidak kompak melaksanakan shalat Tarawih. Ada yang sendiri-sendiri, dan ada juga yang berjamaah.
“Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab r.a. ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah),” (HR. Bukhari).
Dari sini, menjadi sumber yang valid bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan umat Islam agar melaksanakan shalat tarawih adalah sahabat Umar bin Khattab. Lalu, berapa rakaat yang dikerjakan?
“Dari Yazid bin Ruman telah berkata, ‘Manusia senantiasa melaksanakan shalat pada masa Umar raḍiyallāhu ʿanhu di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat (20 rakaat tarawih, disambung 3 rakaat witir),” (HR. Malik).
Sebagian ulama dari madzhab Hanafi meyakini jika jumlah rakaat shalat tarawih adalah 8 rakaat. Seperti pendapat Imam Al-Kamal Ibnu al-Humam dalam kitab Fatḥul Qādir. Di Indonesia, salah satu organisasi Islam, Muhammadiyah juga melaksanakan dengan 11 rakaat (8 rakaat shalat tarawih + 3 rakaat witir) (Gani, 2016).
Jika merujuk hasil riset Alvara di atas, menjadi asumsi penulis kalau di antara umat Muslim Indonesia sekarang ini mengalami perubahan fenomena keagamaan. Banyak yang lebih memilih tarawih praktis dan singkat (11 rakaat), daripada tarawih dengan 23 rakaat. Hal ini tidak dipersoalkan karena mengandung khilafiyah. Jadi, kalian tim yang mana nih?
Baca Juga: 5 Tips Anti Mager saat Bulan Puasa
Referensi:
Abdul Nashir Fattah, “Sejarah, Hukum, dan Praktik Tarawih”, diakses dari nu.or.id
Ahmad Sarawat, Seri Fiqih Kehidupan Pengantar Fiqih, Jakarta: DU Publishing, 2011.
Burhanudin A. Gani, “Pemahaman Hadits Seputar Shalat Tarawih di Kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama”, Jurnal Al-Mu’ashirah, Vol. 3 No. 12, Juli 2016.
Hasanuddin Ali & Lilik Purwandi, “Potret Umat Beragama 2021”. Alvara Research Center, Januari 2022.
Muhammad Mahmud Nasution, “Tarawih dan Tahajjud: Tinjauan Persamaan dan Perbedaan dalam Pelaksanaan dan Keutamaan”, Jurnal Fitrah, Vol. 01, No. 2, Juli-Desember 2015.
Rahmat Syafe’i, Pedoman Shalat. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1950.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Fatwa-Fatwa Tarjih-Tanya Jawab Agama 6. Cet. III; Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012