Umar bin Khattab adalah Khalifah kedua setelah Abu Bakar as-Shiddiq. Sekaligus juga merupakan khalifah pertama yang diberi gelar Amir al-Mu’minin. Selama menjabat sebagai khalifah (-+ 10 tahun), Umar banyak sekali memberi kontribusi untuk perkembangan Islam.
Umar dikenal dengan sosoknya yang keras, tegas, lugas dan pemberani. Keras dalam bertindak, tegas dan lugas dalam memimpin serta pemberani dalam mengambil keputusan. Namun, dibalik sifatnya yang demikian “garang”nya terlihat, Umar adalah sosok yang lemah lembut terhadap umat, terlebih kepada anak-anak dan perempuan.
Tidak satu-dua kali Umar membantu umat dengan tangannya sendiri. Dan tidak satu-dua kali pula Umar memutuskan hukum, berijtihad untuk mencapai maslahat pada umat meski pada persoalan yang terlihat remeh sekalipun. Salah satunya terjadi ketika Umar pergi untuk melakukan ibadah thawaf (mengelilingi ka’bah).
Al-Kisah, Umar yang pada saat itu sedang melakukan thawaf, ketika ia kemudian mendengar seorang perempuan, sebut saja fulanah yang menyandungkan syair yang berbunyi:
تَطَاوَلَ هَذَا اللَّيْلُ تَسْرِىْ كَوَاكِبُهُ * وَأَرَّقَنِى أَنْ لَا ضَجِيْعَ أُلَاعِبُهُ
فَوَاللهِ لَوْلَا اللهُ تُخْشَى عَوَاقِبُهُ * لَزُحْزِحَ مِنْ هَذَا السَّرِيْرِ جَوَانِبُهُ
وَلَكِنَّنِي أَخْشَى رَقِيْبًا مُوَكِّلًا * بِأَنْفُسِنَا لَا يَفْتَرُ الدَّهْرُ كَاتِبُهُ
مَخَافَةَ رَبِّي وَالْحَيَاءُ يَصُدُّنِي * وَأُكْرِمُ بَعْلِى أَنْ تُنَالَ مَرَاتِبُهُ
“Panjangnya malam ini, bintang gemintang yang berjalan. Ketidak-adaan suami di sisiku membuatku tidak bisa terlelap, tidur.
Demi Allah, kalau bukan karena khawatir (melanggar) perintah Allah, musti tergoncanglah dipan ini dengan segala sisinya.
Akan tetapi sungguh aku takut kepada Dzat yang maha mengintai, yang menguasai diri kami.
Karena takut akan (siksa) Tuhanku dan rasa malu yang mencegahku, aku muliakan suamiku untuk (tidak) terjajahnya tempatnya”.
Mendengar suara tersebut Umar menghampiri si fulanah. “Apa yang sedang terjadi denganmu, kenapa di tengah malam ini engkau bersyair seperti itu”, tanya Umar kepada sang wanita.
“Engkau memberangkatkan suamiku untuk mengikuti agenda militer selama beberapa bulan ini, aku rindu dengannya”, tutur si fulanah. Dari apa yang terjadi, dapat diketahui si fulanah telah berpisah dengan suaminya selama beberapa bulan untuk melakukan agenda militer yang diperintahkan Umar.
Umar yang mendengar jawaban si fulanah berkata: “Apakah kau hendak berbuat buruk (maksiat) karena hal ini?”. “Aku berlindung kepada Allah dari melakukannya” jawab si fulanah. “Kalau begitu jagalah dirimu dan kehormatanmu” berkata Umar kepada perempuan tersebut.
Umar adalah pemimpin yang selalu mengutamakan rakyatnya. Ia akan mencarikan solusi meski persoalan yang dihadapi terlihat “receh”. Salah satunya masalah “rindu” si fulanah tadi, Umar langsung mencari solusinya.
Umar bertanya kepada anaknya, Hafsah: “Wahai Hafsah, aku akan bertanya kepadamu persoalan yang sedang merumitkanku, bantulah aku untuk menyelesaikannya. Berapa lama seorang istri bisa menahan rindu terhadap suaminya?”.
Hafsah yang mendengar pertanyaan ayahnya menundukkan kepalanya karena malu. Umar yang melihatnya terlihat malu berkata lagi: “Wahai anakku, sungguh Allah tidak akan malu untuk suatu kebenaran”. Hafsah menjawabnya dengan isyarah tangannya, “tiga atau empat bulan”, tuturnya. Dari jawaban Hafsah tersebut, kemudian Umar memerintahkan untuk tidak mengirim seseorang untuk agenda militer lebih dari empat bulan.
Dari kisah tersebut kita bisa melihat bagaimana kebijaksanaan Umar sebagai Khalifah. Ia tidak segan memutuskan sesuatu yang sekilas terlihat receh jika memang keputusan tersebut membawa maslahat. Contohnya dalam masalah penyakit “rindu” perempuan dalam kisah di atas. Kalau kita resapi, maslahat dari kebijakan Umar yang memberi keputusan agenda kemiliteran seperti yang telah disebutkan akan sangat besar.
Dalam kisah yang disebutkan, si fulanah membuat khawatir Umar, andai berbuat kemaksiatan. Meski kemudian dijawab dengan jawaban yang menenangkan, namun hal tersebut tidak membuat Umar tenang. Karena ia tahu, yang mengalami hal serupa bukan hanya si fulanah, banyak perempuan-perempuan lain yang mengalami “persis” seperti yang dialami fulanah. Dan bisa jadi hal buruk (berbuat maksiat) yang tidak terjadi pada si fulanah menimpa pada yang lainnya.
Oleh karenanya, Umar mencoba mencari jalan keluarnya dengan bertanya kepada anaknya, Hafsah. Dan memutuskan memberi kebijakan di atas.
Wallahu a’lam
Kisah ini disadur dari Kitab Tarikh al-Khulafa’ hlm. 130, karya Syekh Jalaludin Abdurrahman al-Suyuthi.