Islamina.id – Jika kita membaca sejumlah literatur, kata ulamā’ bentuk jamak dari ‘ālim. Kata ‘ālim artinya adalah orang yang memiliki ilmu. Maka atas dasar itu, sebutan ulama adalah ulul ‘ilmi (orang yang memiliki ilmu pengetahuan). Akan tetapi di dalam Alquran sendiri, tidak cukup orang yang memiliki ilmu disebut ulama. Jadi, bukan hanya mempunyai kompetensi akademik, tetapi mempunyai kompetensi moral.
Firman Allah Q.S. Fathir ayat 28:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Q.S. Fathir: 28]
Yang memiliki keberanian untuk menyebut dirinya ulama, hanyalah mereka yang hanya takut kepada Allah SWT. Tidak takut kepada selain Allah.
Jadi, ulama memiliki dua kompetensi. Yang pertama kompetensi akademik keilmuan. Dan yang kedua adalah kompetensi etik moral. Sehingga moral ulama harus diatas moral ummat Islam pada umumnya. Begitu juga keilmuan yang dimiliki para ulama, harus diatas rata-rata ilmu yang dimiliki oleh ummat Islam.
Baca juga: Banyak Ulama Meninggal Dunia, Apakah Itu Musibah Besar?
Karena itu, sebutan “ulama” merupakan musamma (orang yang digelari), bukan isim (nama). Sekalipun seseorang disebut ulama, dan tidak memiliki kompetensi dua hal diatas, maka mereka bukanlah ulama.Tetapi sekalipun seseorang tidak disebut ulama, namun mereka memiliki dua kompetensi seperti diatas, maka mereka adalah ulama. Oleh karena itu, ulama bukan terkait karena penyebutan, tetapi terkait karena kompetensi.
Apa bedanya Ulama, Kyai, Gus, dan Ustadz?
Kyai adalah sebutan yang diberikan oleh masyarakat. Secara umum, tidak terkait kompetensi apapun. Karena tergantung kepada masyarakat yang menyebutnya. Jadi, betapa pun alimnya seseorang, kalau tidak disebut sebagai Kyai, maka bukanlah Kyai.