Islamina.id – PADA tahun 1925, seorang ulama Al-Azhar bernama Syaikh Ali Abdul Raziq, menerbitkan bukunya yang masyhur “al-Islâm wa Ushûl al-Hukm” yang menegaskan penolakannya terhadap gagasan khilafah sebagai sistem pemerintahan dan menyerukan untuk memperkuat negara sipil (dawlah madanîyyah).
Ia mengatakan bahwa khilafah bukan merupakan salah satu dasar Islam, baik al-Qur`an maupun Sunnah tidak ada yang menyebutkannya sama sekali. Islam justru memberikan hak kepada umat Muslim untuk memilih sistem pemerintahan yang mereka anggap sesuai, karena masalah pemerintahan sejatinya adalah bagian dari perkara politik-duniawi semata.
Terbitnya buku tersebut memicu kontroversi di seantero Mesir, di satu sisi Syaikh Ali Abdul Raziq menjadi sasaran serangan membabi-buta, terutama dari Dewan Ulama Senior di Al-Azhar, dan di sisi lain ia mendapat pembelaan dari para pemikir senior.
Baca juga: Mengenal Istilah Penting Seputar Khalifah dan Khilafah
Sebagian percaya bahwa Raja Fuad I adalah orang di balik serangan membabi-buta tersebut, karena buku itu dinilai akan dapat menggagalkan ambisinya menjadi khalifah bagi seluruh umat Muslim setelah Kemal Ataturk menghapuskan kekhalifahan setahun sebelumnya.
Hingga kini masalah khilafah dalam Islam masih menjadi perdebatan seputar apakah ia merupakan dasar agama atau hanya sekedar hasil konstruksi manusia yang muncul pada saat umat Muslim berada dalam situasi krisis setelah Nabi wafat.
Sebagian orang mengaitkannya dengan QS. al-Baqarah: 30 yang berbunyi, “Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Acuan Dalil bagi ISIS
Organisasi teroris ISIS menggunakan ayat ini ketika mendeklarasikan khalifah di Mosul untuk menunjukkan kepada dunia bahwa negara Islam telah terbentuk yang harus diikuti oleh seluruh umat Muslim.
Menurut mayoritas mufassir, yang dimaksud QS. al-Baqarah: 30 sesungguhnya adalah bahwa Allah menghendaki umat manusia turun ke bumi untuk memakmurkannya dan beribadah kepada Allah sampai mereka dibangkitkan kembali, dan istilah khalifah di dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan sebagai penguasa dalam pengertian kekuasaan politik. Ketika Adam diturunkan ke muka bumi, ia menjadi penguasa untuk siapa saat itu?
Kalau di dalam al-Qur`an terdapat ayat yang menyatakan khalifah sebagai sistem pemerintahan, tentu Nabi Muhammad Saw. akan menjadi orang pertama yang mematuhinya. Sebaliknya, beliau berulang kali menolak disebut “al-malik” (raja) atau “al-ra`îs” (pemimpin), yang menegaskan identitas beliau sebagai nabi dan utusan saja.
Lagi pula, para pengikut beliau tidak melihat diri mereka sebagai bawahan yang diperintah, mereka menyebut diri mereka dengan sebutan yang tidak mengindikasikan apapun dari pengertian sistem pemerintahan. Mereka menyebut diri mereka “Ashhâbu Muhammad” (Sahabat Muhammad).
Alasan Nabi Tak Menunjuk Pengganti
Sebelum Nabi wafat, beliau tidak menunjuk orang yang akan menggantikannya. Beliau membiarkan para sahabat dan situasi di masa itu berjalan sesuai dengan sabda beliau yang terkenal, “Kamu tahu lebih banyak tentang urusan duniawimu.”
Kaum Anshar berkumpul di bangsal Bani Sa’idah untuk memilih pengganti Nabi. Mereka nyaris memilih Sa’ad bin Ubadah (pemimpin kaum Khazraj) jika saja beberapa orang dari kaum Muhajirin, di antaranya Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, dan Abu Ubaidah tidak mengetahui pertemuan tersebut.
Dialog semakin memanas di bangsal tersebut, dan itu lebih merupakan dialog kesukuan daripada dialog keagamaan tentang siapa yang paling berhak dari kaum Anshar dan kaum Muhajirin untuk menggantikan Nabi. Pedang hampir saja terhunus dari sarungnya, dan pertumpahan darah hampir saja terjadi, hingga akhirnya Abu Bakr dibaiat untuk menjadi khalifah.
Model yang bisa dipelajari dari masa kenabian dan diterapkan pada masa pemerintahan Abu Bakr dan Umar, adalah model terbuka. Sebab tidak ada teks syariat dari al-Qur`an atau Sunnah yang secara tegas melegitimasi masalah pemerintahan.