“Bukan saja dialog intern agama, namun dialog antar agama juga sering kali dilupakan, sebab konflik tidak hanya terjadi pada tataran antar agama, tapi juga sering terjadi di kalangan orang-orang yang mempunyai agama yang sama dan faham yang berbeda.”
Di berbagai daerah di Indonesia, dialog antar umat beragama (enam agama resmi) sering dilakukan, namun kurang harmonisnya hubungan intern dan antar umat beragama masih tetap terjadi di dalam masyarakat, terutama di daerah akar rumput yang sering kali luput dari pengawasan aparat keamanan. Ini menunjukkan bahwa usaha dialog yang dilakukan oleh umat beragama di Indonesia saat ini belum mencapai hasil yang memuaskan. Kecenderungan yang terjadi dari dulu hingga sekarang, dialog antar agama hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dan tidak sampai ke lapisan masyarakat yang paling bawah.
Imbasnya ketika masyarakat “akar rumput” tidak dilibatkan peranan atau dimintai pendapatnya, maka perselisihan akan terus terjadi. Walaupun sedikit saja terjadi perselisihan antara mereka, maka agama selalu dikedepankan untuk menarik dukungan massa. Bukan saja dialog intern agama, namun dialog antar agama juga sering kali dilupakan, sebab konflik tidak hanya terjadi pada tataran antar agama, tapi juga sering terjadi di kalangan orang-orang yang mempunyai agama yang sama dan faham yang berbeda. Dialog antar umat beragama pada dasarnya agar persoalan-persoalan yang menyangkut dua agama dapat diselesaikan dengan baik.
Dialog agama bukan suatu studi akademis terhadap agama, juga bukan merupakan usaha untuk menyatukan semua ajaran agama menjadi satu. Dialog antar umat beragama juga bukan suatu usaha untuk membentuk agama baru yang dapat diterima oleh semua pihak. Bukan berdebat adu argumentasi antar umat beragama, hingga ada orang yang menang dan ada yang kalah. Dialog bukanlah suatu usaha untuk meminta pertanggung jawaban kepada orang lain dalam menjalankan agamanya. Maka, untuk mencapai kerukunan antar intern agama dan antar umat beragama harus dihilangkan sifat-sifat egoisme, merasa benar, dan merasa paling berkuasa.
Agar relasi antar umat agama dapat berjalan dengan baik, perlu juga melihat kembali pendapat Fazlur Rahman tentang dialog antar agama. Dia menyarankan agar dialog dilakukan dengan berpegang teguh pada sepuluh prinsip dasar dialog yang disebutnya sebagai the dialogue Decalogue, di antaranya : a) mempelajari perubahan dan perkembangan persepsi antar faham yang berbeda, b) harus merupakan proyek dua pihak “internal masyarakat satu agama atau antar masyarakat penganut agama yang berbeda”, c) harus menjunjung tinggi sifat kejujuran dan ketulusan yang sungguh antar peserta dialog dan mitra dialognya.
Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tercapainya suatu kerukunan antar intern agama dan umat beragama hanya bisa diperoleh tergantung dengan faktor-faktor berikut, di antaranya : a) belajarlah hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbeda, sebab perbedaan itu tidak bisa dihilangkan dan selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, b) belajarlah saling menghargai satu dengan yang lain dan tidak menganggap bahwa keyakinan kitalah yang paling benar, c) konsep moderasi agama perlu dipraktekkan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hubungan intern dan antar umat beragama.
Oleh karena itu, sekarang para Ulama’ dan tokoh Islam di Indonesia pun mempromosikan Islam moderat (wasathiyyah, tawassuth atau i’tidal) yang berarti jalan tengah di antara dua sisi (pihak) yang berhadapan. Di antara hal yang penting dalam konsep wasathiyyah ini adalah pemberian perhatian kepada konteks latar belakang turunnya ayat dan terjadinya Hadits serta realitas masa kini dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan Hadits. Penerapan wasathiyyah dalam memahami ayat-ayat dan Hadits tentang kedamaian dan toleransi menunjukkan, bahwa Islam merupakan agama yang sangat mendukung kedamaian dan kerukunan.
Wallahu a’lam.
Baca Juga: Konflik Intern dan Ekstern Umat Beragama Perspektif Masykuri Abdillah (1)