“Sungguh, paham radikal sangat bertentangan dengan spirit perdamaian yang dibawa Islam. Lantas, strategi apa yang dapat dilakukan untuk membentengi diri dan keluarga dari paham radikal? Untuk menghadapi berbagai krisis kehidupan, termasuk mengatasi paham radikal, ketahanan keluarga memiliki peran yang sangat signifikan.”
Indonesia memang tengah memasuki fase darurat radikalisme. Berbagai paham radikal banyak tersebar melalui internet. Benih-benih radikalisme dikemas dalam bungkus agama sehingga banyak umat Islam yang tergiur oleh reward pahala, bahkan surga. Dengan strategi propaganda, kaum radikalis merekrut pemuda-pemudi Islam yang memiliki gairah keislaman sangat tinggi, namun masih lemah dalam aspek ilmu agama. Seiring pengaruh paham radikal yang diserap, mereka pun disetir oleh kaum radikal untuk menodai wajah Islam yang cinta damai.
Paham radikal tak hanya menyemai permusuhan dalam kemasan agama, tetapi juga meracuni mental anak bangsa. Pernah viral, berdengung larangan di dunia maya mengenai hormat pada bendera dari kaum radikal. Tidak berhenti pada titik itu, radikalis mengajak agar masyarakat apatis terhadap lagu kebangsaan. Ketika yang lain sedang menyanyikan lagu dengan penuh hikmat, kalangan radikal tak jarang diam. Dampaknya, banyak generasi muda yang termakan ajakan untuk membenci tanah airnya. Di sisi lain, para orang tua juga cemas bila anak-anaknya sampai terlibat dalam gerakan memusuhi negara.
Paham radikal bak virus kognitif yang dapat menjangkiti siapa saja. Tanpa pertahanan ilmu agama yang berbasis Islam rahmatan lil ‘alamin, tentu akan banyak korban yang terperangkap dalam jaringan radikal. Mereka mengklaim tindakan merusak dan menghancurkan kedamaian sebagai suatu bentuk kebaikan. Sungguh, paham radikal sangat bertentangan dengan spirit perdamaian yang dibawa Islam. Lantas, strategi apa yang dapat dilakukan untuk membentengi diri dan keluarga dari paham radikal? Untuk menghadapi berbagai krisis kehidupan, termasuk mengatasi paham radikal, ketahanan keluarga memiliki peran yang sangat signifikan.
Kunci Pertama: Ketahanan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan inti bagi setiap orang untuk tumbuh. Apabila keluarga mengalami disfungsi, selalu diwarnai pertengkaran, prasangka negatif, dan hal senada lainnya, maka seseorang akan tumbuh tak sehat mental. Dan, kesempatan bertemu dengan orang-orang semacam ini dapat dimanfaatkan para penyebar paham radikal sebagai peluang emas untuk menebar teror dan kebencian. Pada poin inilah, keluarga perlu memberikan pengasuhan yang nyaman dan dapat merengkuh hati anak. Bekal pengasuhan bagi para orang tua sangat penting dalam rangka membangun ketahanan keluarga dan menghalau paham radikalisme yang merupakan benih patologi sosial.
Orang tua perlu berusaha sebagai sahabat bagi anak, mitra bagi anak, dan sosok yang memiliki figur otoritas. Pola asuh ramah anak sangat diperlukan dalam rangka menjadikan anak betah berada di dekat orang tua, dan patuh terhadap nasihat. Anak-anak yang dididik dengan kasih sayang, tentu akan merasa tak nyaman ketika didoktrin untuk melakukan tindakan radikal. Keluarga harus kuat dan tegar menghadapi pengaruh dari luar. Jangan sampai, paham radikal meracuni anak-anak sehingga anak bersikap radikal dan semakin ‘jauh’ dari ajaran agama.
Keluarga yang memiliki ketahanan kuat akan mampu menafsirkan ancaman pengaruh luar bagi anak-anak. Mereka tak hanya memikirkan kecukupan nutrisi biologis, namun juga ruhani dan psikologis. Sehingga, ciri paling menonjol dari keluarga yang berketahanan kuat ialah mampu menjadikan rumah sebagai tempat yang paling nyaman bagi anak. Artinya, orang tua mampu menjadi penuntun dan pelindung pada masa anak-anak, sahabat dan pembimbing pada masa turbulensi remaja, dan figur otoritas bagi anak ketika dewasa.
Kunci Signifikan: Daya Literasi Digital Keluarga
Di era digital, ketahanan keluarga bukan menjadi satu-satunya aspek yang dapat mencegah radikalisme. Daya literasi digital keluarga memiliki porsi peran yang signifikan. Selain berpijak pada ketahanan keluarga, keluarga juga harus memiliki kemampuan literasi digital keluarga. Lazim dipahami bersama bahwa sebagian besar radikalisme menyebar melalui internet. Remaja dan anak muda yang notabene merupakan digital native dibombardir dengan beragam konten radikalisme. Ibarat efek iklan, penyampaian konten radikal yang secara terus-menerus dapat membentuk pemikiran yang radikal.
Bila anak dan remaja semakin sering terpapar konten radikal, mereka akan rentan mengalami radikalisasi di dunia siber. Oleh karena itu, orang tua harus menyadari betapa penting menguatkan literasi digital keluarga. Literasi digital keluarga diperlukan sebagai proteksi bagi anak agar tidak terpapar konten ‘bermasalah’ dalam internet. Anak dan remaja perlu dilindungi dari bahaya internet. Jangan sampai, hanya karena mengakses internet tanpa dampingan orang tua, anak dan remaja terjebak paham radikal.
Setelah anak dan remaja merasakan bahwa orang tua adalah sahabat anak, maka ini adalah awalan dari literasi digital keluarga. Orang tua perlu membuat sejumlah kesepakatan dengan anak terkait waktu penggunaan internet dan konten yang diakses. Orang tua perlu terlibat intens dalam dialog dengan anak terkait pengetahuan baru yang didapat anak dari kegiatan berinternet. Dengan begitu, orang tua akan mampu mencegah paham radikalisme menyusup melalui piranti digital yang diakses anak.
Baca Juga: Kaderisasi Peacekeeper pada Digital Native