Madrasah adalah institusi pendidikan terpenting sebagai pembentuk moral dan etika generasi penerus bangsa. Sebagaimana sekolah pada umumnya (tingkat SD, SLTP, SLTA), Madrasah menjadi ciri khas tersendiri bagi Indonesia, karena hanya terdapat Indonesia entitas pendidikan yang sebenarnya sama dalam hal genjang, namun kemudian diklasifikasian menjadi sekolah umum dan sekolah agama. Kurikulum keagamaan yang lebih komprehensif yang mungkin menjadikan pembeda antara Madrasah dan sekolah pada umumnya.
Oleh karenanya, terkadang Madrasah dikonotasikan secara khusus dengan istilah ‘sekolah agama’, yakni tempat dimana peserta didik mendapatkan pendidikan hal ihwal ataupun seluk-beluk agama serta keagamaan.
Bila merujuk pada pengertian secara etimologi, kata ‘madrasah’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ‘sekolah’ atau ‘akademi’ yang umumnya bersumber pada agama Islam. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia kata ‘madrasah’ merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab dari kata darasa yang maksudnya ‘belajar’. Madrasah berarti ‘tempat untuk belajar’. Kata darasa dengan penafsiran membaca serta belajar yang ialah pangkal kata ‘madrasah’ itu sendiri berasal dari bahasa Hebrew ataupun Aramy.
Menurut K.A. Streenbrink pada awal kemunculannya madrasah sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari inisiatif dan sumber daya masyarakat Islam bertujuan menyiapkan layanan pendidikan Islam bagi anak-anak muslim. Selain itu Madrasah hadir untuk merespon kebijakan kolonialisme Belanda yang gencar mendirikan sekolah umum tanpa memasukkan mata pelajaran agama Islam.
Madrasah sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam semua tingkatan dari mulai Madrasah Diniyah Takmiliyah, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, hingga Madrasah Aliyah jelas merujuk pada suatu muara, yaitu tempat menempa pendidikan agama peserta didik dengan mata pelajaran pendidikan agama Islam yang lebih terperinci dan komprehensif. Berbeda dengan sekolah umum yang biasanya hanya ada satu mata pelajaran pendidikan agama Islam, di Madrasah, pendidikan agama Islam ini dirincikan menjadi mata pelajaran tersendiri. Masing-masing mata pelajaran tersebut yaitu: Alquran Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan Islam, serta Bahasa Arab sebagai pelajaran penguat literasi bahasa Arab bagi peserta didik.
Berdasarkan pemaparan tersebut jelas bahwa peranan madrasah dari semua tingkatan, tidak lain adalah untuk menempa pemahaman agama sekaligus cara pandang beragama peserta didik. Mengingat bahwa rumpun mata pelajaran agama Islam yang diajarkan kepada peserta didik tersebut semuanya diajarkan dalam rangka membentuk karakter peserta didik agar beragama dengan baik dan benar sesuai tuntunan syariat.
Menurut penulis, pada bagian rumpun mata pelajaran agama Islam inilah konsep-konsep moderasi beragama perlu dimasukkan menjadi materi yang utama. Materi-materi pokok tentang moderasi beragama semisal pada mata pelajaran Alquran Hadits, bisa membahas mengenai dalil-dalil tentang persatuan, kerukunan umat beragama, cinta agama dan tanah air, kasih sayang sesama umat manusia, dan materi-materi yang berkaitan dengan corak pandang moderasi beragama.
Begitu pula dengan mata pelajaran agama Islam yang lainnya, harus dimasukkan materi mengenai moderasi beragama dan tentunya materi moderasi beragama ini selalu bisa disesuaikan dengan kondisi dan keadaan. Hal tersebut tentunya tidak bisa terwujud dan tidak bisa lepas dari peran aktif dan nyata pemerintah khususnya melalui Kementerian Agama dalam menyusun Kurikulum pembelajaran pada pendidikan agama Islam dalam mewujudkan konsep moderasi beragama tersebut.
Madrasah dan Guru sebagai Ujung Tombak
Moderasi beragama adalah konsep yang mesti dijelaskan dan diajarkan. Peserta didik tidak akan mempu memahami dan kemudian bisa menerapkan nilai-nilai dari konsep moderasi beragama tanpa peran aktif madrasah sebagai wadah tempat belajar mereka dan guru sebagai pengajar sekaligus pembimbing mereka dalam memahami apa yang dimaksud dengan moderasi beragama ini. Oleh karenanya madrasah dan guru memiliki peranan sangat penting daripada pengimplementasian sekolah sebagai wadah atau basis moderasi beragama ini.
Pertama, madrasah sebagai institusi pendidikan yang menjadi wadah pembentukan karakter moderasi beragama bagi para peserta didiknya harus menjadikan konsep moderasi beragama ini sebagai program utama, jika perlu menjadi visi atau tujuan madrasah. Hal demikian sangat diperlukan, mengingat bahwa tanpa menjadikan atau meletakkan konsep moderasi beragama menjadi visi atau tujuan madrasah, kampanye nilai-nilai moderasi beragama hanya terbatas pada rumpun mata pelajaran pendidikan agama Islam dan tidak secara komprehensif dilaksanakan di lingkungan tersebut.
Kedua, Guru sebagai tenaga pengajar dan pendidik bukan hanya terbatas pada soal menyampaikan materi pembelajaran yang diampunya, melainkan juga mendidik mental dan karakter peserta didik terkait pemahaman keagamaan yang baik dalam hal menerapkan moderasi beragama. Tugas guru bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan atau pelajaran yang ada di buku, melainkan juga mentransfer pemahaman dan pola pikir yang moderat kepada peserta didik.
Oleh karena itu, sebelum pemahaman moderasi beragama ini sampai kepada peserta didik, terlebih dahulu konsep dan pemahaman moderasi beragama mampu dipahami dan diejawantahkan oleh guru. Kesinambungan peran Kementerian Agama, Madrasah, dan guru dalam hal ini kemudian yang perlu diperhatikan dan dimaksimalkan. Misalnya dengan cara melaksanakan sebuah program atau pelatihan mengenai pemahaman terhadap konsep moderasi beragama bagi guru atau tenaga pendidik dan kependidikan.
Jika semua elemen utama penunjang konsep moderasi beragama di lingkungan tersebut sudah matang, bukan sebuah keniscayaan bahkan akan menjadi sebuah kenyataan moderasi beragama menjadi sebuah pola perilaku peserta didik yang merupakan generasi penerus bangsa. Jika pola perilaku moderasi beragama sudah tertanam sejak dini pada generasi penerus bangsa, penulis optimis segala rupa dan bentuk persoalan apapun yang menjadi akar konflik dan perpecahan antar umat beragama dan berkeyakinan di Indonesia ini akan hilang dengan sendirinya. Negara Kesatuan Republik Indonesia akan semakin kokoh dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika nya, karena moderasi beragama menjadi pola perilaku utama warganya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[]