Dalam Al-Qur’an pada bagian juz yang masih awal sekali, yaitu juz 1 surah al-Baqarah ayat 1-20, ketika membaca maknanya maka akan ditemukan kriteria antara dua kelompok. Yaitu kelompok orang beriman bertakwa dan kelompok kafir.
Memang sudah menjadi ciri Al-Qur’an ketika menceritakan suatu kasus seringkali diiringi antara kasus yang baik dan buruk. Misalnya setelah menceritakan tentang gambaran surga kemudian diiringi dengan gambaran neraka. Gambaran kelompok yang beramal baik kemudian kelompok yang beramal buruk, dan seterusnya.
Demikian yang terjadi pada awal sekali ketika membaca Al-Qur’an secara tartib mushafi, yang tertera dalam juz awal adalah gambaran dua kelompok tersebut, iman dan kafir. Al-Qur’an menggambarkan dua kelompok tersebut tidak hanya dalam surah Al-Baqarah itu saja, melainkan dalam beberapa surah. Sehingga para ulama memberikan penafsiran yang luas terhadap kata kafir sampai berhasil merumuskan jenis-jenis kafir sebagaimana disampaikan oleh Al-Qur’an.
Menurut Buya Hamka sebagaimana ia tulis dalam Tafsir Al-Azhar, kelompok pertama yang disebutkan dalam awal surat Al-Baqarah yaitu kelompok ayat yang menerangkan tentang ketakwaan dan keimanan, dan itu merupakan kesinambungan dari surah al-Fatihah.
Buya Hamka menulis bahwa setelah membaca surah al-Fatihah yang di akhir ayat terdapat permohonan agar diberikan petunjuk menuju jalan yang lurus, yang diberi nikmat, bukan yang dimurkai dan tidak sesat, kemudian pada ayat awal al-Baqarah ini permohonan tersebut langsung dikabulkan dengan diberikan kitab yang bisa dijadikan pedoman.
Adapun konteks makna kafir dalam ayat ini, yang dimulai dari ayat 6 hingga seterusnya menurut Buya Hamka, kata kafir dalam ayat ini merupakan kontra dari ketakwaan dan keimanan yang dapat memeroleh petunjuk dari Al-Qur’an tersebut. Karena orang kafir dalam ayat ini adalah mereka yang susah untuk dimasuki oleh petunjuk itu, yaitu Al-Qur’an.
Selanjutnya Buya Hamka memaknai jenis kafir seperti itu masih bisa terjadi kepada siapa saja yang memiliki sifat enggan menerima kebenaran. Jadi tidak hanya yang terjadi pada zaman Nabi kepada mereka yang tidak mau menerima kebenaran ajaran Nabi Muhammad karena khwatir akan turun derajat dan martabatnya.
Namun ini berbeda dengan pandangan M. Quraish Shihab sebagai mufasir Indonesia era sekarang. Dalam Tafsir al-Misbah ia menuliskan bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, yakni orang-orang yang menutupi tanda-tanda kebesaran Allah dan kebenaran yang terhampar dengan jelas di alam raya ini, adalah mereka yang dalam pengetahuan Allah tidak akan mungkin beriman seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan lainnya.
Selanjutnya, M. Quraish Shihab melihat bahwa jenis kafir yang disampaikan dalam ayat ini hanya terjadi kepada mereka yang sudah dideteksi oleh Allah tidak akan beriman baik diberi peringatan oleh Nabi maupun tidak. Karena mereka bukan karena tidak memiliki pengetahuan atas kebenaran Nabi atau tidak, melainkan mereka enggan menerima kebenaran Nabi khawatir martabat mereka turun.
Makna tersebut merupakan bagian dari beragaman makna kata kafir yang diuraikan oleh kedua mufasir Indonesia tersebut. Dan bisa didapati pada beberapa ayat yang membahas tentang tema kafir. Selanjutnya silahkan dicek.
Baca Juga: Apa Itu Kafir?