Topik kemanusiaan menjadi fenomena sosial menarik bagi umat Islam di Indonesia. Apalagi isu-isu ini menjadi magnet bagi kelompok usia muda. Kasus yang baru-baru ini menjadi persoalan adalah bagaimana filantropi memaknai aksi kemanusiaan dan management quality institusinya.
Pada aspek etimologi, kata Filantropi (Philantrophy) berasal dari bahasa Yunani, Philos (berarti Cinta), dan Anthropos (berarti Manusia). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), filantropi dimaknai sebagai cinta kasih (kedermawanan dan sebagainya) kepada sesama. Hingga saat ini, definisi filantropi sendiri menjadi perdebatan oleh para akademisi kontemporer (Sulek, 2009). Sedikit yang penulis kutip adalah definisi dari Salamon yakni filantropi sebagai:
“The private giving of time or valuables (money, security, property) for public purposes.”
Filantropi sebagai modal sosial, di mana terdapat kelompok manusia yang membutuhkan uluran tangan kita. Prinsip ini juga terdapat dalam Islam — zakat, sedekah, dan sebagainya— untuk mengaplikasikan agama itu sendiri. Di Alquran, kata ‘zakat’, termaktub berulang kali. Mengingatkan bahwa seorang Muslim wajib berzakat.
Kemudian, dasar Alquran surah al-Maidah ayat 2,:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Ayat yang menegaskan bahwa sebagai Muslim, memang harus saling tolong-menolong. Tidak mungkin di suatu tempat, orang dapat bertahan dari ketidaktergantungan. Karena manusia adalah makhluk sosial.
Di sini, penulis menganalisis fenomena sosial atas filantropi Islam di Indonesia. Gejala yang muncul, didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu. Mereka bertarung merebut simpati publik dengan macam-macam branding. Hampir semua orang tak tahu, ke mana muara donasi atau sumbangan itu.
Karakter Altruisme Muslim Urban
Kita tidak boleh menyalahkan satu atau lebih institusi yang bergerak dalam aksi kemanusiaan. Mereka adalah orang-orang yang telah mewakafkan hidupnya untuk kegiatan-kegiatan bersifat positif. Namun, seorang Muslim diberi akal oleh Allah Swt untuk selalu berpikir cerdas dan hati-hati.
Kasus ACT (Aksi Cepat Tanggap) menjadi titik balik kita. Mengapa baru sekarang, kasus lembaga filantropi Islam ini terbuka? Dan bagaimana perasaan umat Islam yang dermawan tentang sumbangannya di ACT?
Masyarakat Muslim perkotaan (Muslim Urban) tingkat sosial atau kepedulian terhadap satu sama lain sangat tinggi. Berbagai kegiatan-kegiatan seperti berbagi nasi kotak setelah shalat Jum’at, berbagi sembako gratis, atau tradisi menyantuni anak yatim piatu, merupakan fenomena sosial yang harus diapresiasi.
Muslim Urban ini muncul dengan lifestyle tersendiri. Dengan arus cepat media sosial, mereka mudah sekali mengakses konten-konten keagamaan. Berbeda dengan Muslim yang berada di wilayah pedesaan. Muslim Urban juga membentuk komunitas-komunitas, yang mana kegiatan tersebut juga fokus pada aksi kemanusiaan.
Kegiatan filantropi yang mereka lakukan ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Tidak langsung, mereka lebih mempercayakan donasi yang telah terkumpul untuk diteruskan kepada lembaga filantropi Islam. Entah pertimbangan dan faktor apa saja, komunitas yang terbentuk oleh Muslim Urban tadi lebih memilih pihak kedua.
Karakter solidaritas Muslim Urban ini memang bagus. Akan tetapi perlu ada seseorang atau membentuk tim— jika donasi tidak langsung — yang dipasrahi pada komunitas Muslim tersebut untuk mencari kinerja, manajemen lembaga filantropi Islam dan track record pihak kedua. Karena materi atau donasi yang kita sumbangkan adalah amanah yang harus disampaikan, bukan untuk kekayaan pribadi.
Substansi dan Branding Filantropi
Rasa kemanusiaan kepada diri seorang Muslim haruslah ditanamkan sejak dini. Nilai-nilai itu telah diajarkan di lingkungan sekitar kita, misalnya saat di sekolah dahulu. Guru pernah memberikan teladan kepada kita bahwa harus saling tolong menolong, begitupun juga di masyarakat.
Di kehidupan masyarakat, kita dituntut untuk lebih peduli antar sesama manusia. Tanpa membedakan agama, suku, ras, atau golongan tertentu. Karena itulah substansi kegiatan atau usaha filantropi menjadi bagian ukhuwah insaniyah. Kalaupun karakter pribadi manusia berbeda, ada akibat yang akan diterima (sanksi sosial) di masyarakat itu, seperti kikir, sombong, dan sebagainya.
Kemudian terkait branding yang dilakukan oleh beberapa filantropi Islam. Mereka memakai emosional kekejaman Israel kepada rakyat Palestina. Dan ini memantik umat Islam khususnya di Indonesia untuk berdonasi. Hal ini sebenarnya tidak salah, tetapi apa yang dipromosikan oleh filantropi itu benar atau tidak donasi yang terkumpul disumbangkan ke Muslim Palestina yang terdampak? Saya yakin tidak semua donasi diberikan.
Ekspresi kesedihan atau kesengsaraan manusia yang selalu di-branding oleh pihak-pihak yayasan filantropi, perlu dikaji kembali. Sebagai manusia, ada baiknya memperhatikan saudara-saudara Muslim di sekitarnya. Benar Indonesia bermayoritas agama Islam, tetapi kondisi ekonomi umatnya sangatlah melarat.
Referensi:
Marty Sulek. “On the Modern Meaning of Philanthropy”. Jurnal Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, Vol. 39, No. 2, April 2010.
Lester Salamon. America’s nonprofit sector: A primer. New York: Foundation Center. 1992.