Membincang dan mencermati rekam jejak, sepak terjang dan prisma pemikiran KH Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) dalam matriks pengetahuan dan lanskap kemanusiaan sepertinya akan membawa kita pada sebuah kesimpulan: Gus Dur, adalah manusia multidimensi. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Jika ditelisik lebih dalam, kita akan menemukan sosok Gus Dur yang beragam jenis: kiai sekaligus ulama, intelektual muslim dan pembaru Islam progresif asal Indonesia, aktivis kemanusiaan, santri tulen, dan sebagainya.
Gagasan serta pemikiran yang dihembuskannya membawa hawa segar bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya di kancah nasional, melainkan juga internasional. Meski, tak bisa dipungkiri juga bahwa masih terdapat sebagian kelompok yang tidak sejalan, bahkan melontarkan caci-maki serta melabeli kafir dirinya. Walau begitu, semangat Gus Dur tak pernah surut dalam menggelorakan pemikirannya, terutama tentang kemanusiaan, pribumisasi Islam, dan pluralisme.
Dengan melihat begitu besar kontribusi Gus Dur pada dunia secara umum dan Indonesia secara khusus, maka saya tertarik untuk memperbincangkan kembali buah pemikirannya yang brilian ini. Namun dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan pemikiran Gus Dur, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan memfokuskan pada tema gagasan etika sosial yang digelorakan oleh Gus Dur.
Gus Dur dan Etika Sosial
Gagasan Gus Dur tentang etika sosial, mungkin atau bahkan tidak setenar dan sepopuler pemikiran lainnya, seperti pribumisasi Islam, humanisme, dan pluralisme. Pasalnya, selain dikarenakan ia tidak pernah menuliskan makalah secara serius tentangnya. Juga gagasan ini merupakan “status ideal” keislaman yang sayangnya belum terumuskan secara sistematis. Dalam hal ini, Gus Dur hanya sekadar menjadikan etika sosial, sebagai peran ideal Islam dalam konteks kemasyarakatan. (Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, hal. 115)
Walau begitu, gagasan etika sosial yang dihembuskan Gus Dur cukup menarik dan bahkan relevan terhadap konteks kiwari. Ihwal gagasan ini pada hakikatnya didasarkan atas dua hal yang sangat fundamental dan urgen, terutama bagi umat Islam dan manusia pada umumnya. Di antaranya: Pertama, didasarkan atas ajaran Islam sendiri, terutama menyangkut persoalan akhlak. Seperti diketahui bersama bahwa akhlak, dalam ajaran Islam memiliki porsi dan kedudukan cukup strategis. Hal ini tidak terlepas dari tujuan utama diutuskannya Nabi Muhammad. Dimana beliau diutus ke muka bumi, adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis:
انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR. Al-Baihaqi dari Abu Hurairah)
Menurut Gus Dur, hadis ini memiliki makna yang sangat dalam dan sarat akan nilai-nilai perjuangan sosial. Dalam mendefinisikan akhlak, Gus Dur, tak seperti kebanyakan orang pada umumnya yang mengartikan sekadar memiliki perilaku dan budi pekerti yang baik, sopan santun, dan tutur kata yang lemah lembut. Tetapi akhlak di tangan Gus Dur lebih transformatif, yakni sebagai suatu sikap pengembangan kesadaran mendalam seseorang akan sosial-kondisi dari sebuah masyarakat yang menyangkut segala aspek kehidupan. Lebih dari itu, bagi Gus Dur, Islam memiliki tugas mulia; mengembangkan akhlak sosial yang memungkinkan tercapainya tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia.
Artinya, jika tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak, maka penyempurnaan itu mustahil akan terealisasi apabila umat Islam sendiri enggan bahkan tidak memiliki sama sekali kesadaran terhadap keadaan sosial yang menimpa suatu masyarakat. Dengan kalimat lain, titik optimal penyempurnaan akhlak ialah dengan penyempurnaan masyarakat yang berakhlak (menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat), bukan sebaliknya. Yakni penyempurnaan akhlak pribadi dengan memperbanyak ritus-ritus ibadah bersifat individualistis dan penguatan identitas keagamaan yang hanya berkutat pada ranah halal-haram dan sebagainya. Inilah hakikat akhlak sebenarnya dalam kacamata pemikiran Gus Dur.
Karena itu, menurut Gus Dur, umat Islam tidak boleh acuh terhadap pelbagai kerusakan, diskriminasi, ketidakadilan sosial-ekonomi dan lainnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi sampai melakukan hal serupa. Namun, mereka harus berani dan terlibat secara langsung untuk mengadakan koreksi atas segala tindakan yang dinilai merugikan masyarakat. Sebaliknya, apabila mereka membiarkan maraknya perilaku korupsi besar-besaran dan penindasan dengan menyibukkan diri akan ritus-ritus keagamaan, hanyalah membiarkan keberlangsungan proses pemiskinan serta perusakan bangsa.
Pernyataan ini mengingatkan pada definisi kafir yang disuguhkan Asghar Ali Engineer, seorang intelektual kesohor asal India. Menurutnya, seseorang disebut kafir bukan karena ia tidak beriman atau ingkar terhadap Allah dan rasul-Nya serta ajaran-ajaran dan larangan-larangan-Nya. Tetapi seseorang yang tidak peduli (berperan aktif) terhadap kelompok masyarakat tertindas, mengalami diskriminasi dan ketidakadilan sosial, ekonomi dan lain-lain, adalah dikategorikan sebagai orang kafir.
Bagi Gus Dur, hukum agama tidak akan kehilangan kebesarannya dengan memfungsikan dirinya sebagai etika sosial masyarakat. Bahkan kebesarannya kian memancar dan bersinar terang karena dianggap mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi, yang disebut negara. Juga tinggi rendahnya harkat dan martabat seseorang tidak sekadar dinilai atau dilihat dari kesalehan spiritualnya dengan semangat beribadah kepada Allah. Akan tetapi, lebih dari itu, yakni mereka harus peka serta menumbuhkan dan menanamkan sikap empati dalam dirinya untuk mengatasi segala problem sosial yang semakin krusial di tengah masyarakat. Walau begitu, harus tetap berpegang teguh pada prinsip nilai-nilai agama (Islam).