Islamina.id – Ketika tragedi bom Bali terjadi pada tahun 2002, bangsa ini bukan hanya terkejut dengan hadirnya kejahatan luar biasa bernama terorisme, tetapi juga masih terlihat gagap dalam melakukan upaya penanganan dan pencegahan.
Hampir satu dekade energi bangsa ini dihabiskan dengan upaya penegakan hukum melalui penindakan dengan menangkap, memetakan dan mengamputasi jaringan kelompok teror. Upaya yang sudah cukup sukses dan dipuji banyak negara tersebut ternyata tidak cukup memutus mata rantai terorisme.
Bangsa ini mulai sadar bahwa bahaya terorisme sebagai kejahatan kemanusian yang berdimensi trans-nasional tidak hanya berada pada aspek aksi, tetapi ideologi beserta faktor pendorong lainnya justru teramat lebih berbahaya. Mengamputasi aktor, jaringan dan logistik kelompok radikal, bukan satu-satunya cara efektif dalam menanggulangi kejahatan yang luar biasa ini.
Hakikat terorisme sesugguhnya berakar dari ideologi kekerasan yang dilengkapi dengan faktor pemicu dan pendorong seperti lingkungan dan kondisi rentan yang menjerat seseorang dalam jaringan terorisme.
Baca juga: Perempuan dalam Jejaring Terorisme : Pergeseran dari Simpatisan Menjadi Martir
Berdasarkan data hasil riset terhadap 110 Pelaku Tindakan Terorisme bertema “Research on Motivation and Root Causes of Terrorism” yang dilakukan oleh The Indonesian Research Team, tahun 2012 yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri, INSEP dan Densus 88 menunjukkan bahwa motivasi aksi teror di Indonesia sebanyak 45,5 persen karena ideologi agama, 20 persen karena solidaritas komunal, 12,7 persen karena mob mentality, 9,1 persen situasional dan 1,8 persen karena separatisme.
Data ini menunjukkan bahwa motivasi ideologi keagamaan menjadi salah satu sumber utama dan dominan dalam proses radikalisasi.
Sebelumnya, penanggulangan terorisme masih bertumpu pada penanganan aksi yang acapkali mengabaikan proses radikalisasi yang disebabkan oleh narasi-narasi ideologis. Begitu pula, penanganan terorisme pun masih sangat parsial dan tidak komprehensif.
Karena itulah, pada tahun 2010 atas dorongan masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), negara membentuk satu lembaga koordinator yang bertugas mengoordinasikan penanggulangan terorisme dari aspek hulu hingga hilir persoalan.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diamanatkan menjadi lembaga yang melaksanakan penanggulangan terorisme secara holistik dan komprehensif yang bertumpu pada aspek pencegahan.
Di sinilah harus dipahami bahwa sesungguhnya dalam skema penanggulangan terorisme di Indonesia BNPT mengemban tugas penting pada aspek pencegahan dengan mensinergikan seluruh kekuatan dan modal yang dimiliki oleh bangsa ini.