Masih maraknya peristiwa teror akibat pemahaman radikal-ekstremisme manusia, menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang belum terselesaikan. Kejadian terakhir di Gereja Katedral Makassar sebagai bukti disfungsinya pemahaman agama, kemudian menjadi radikal-ekstremis. Dalam tulisan ini, penulis merangkum kondisi psikis individu manusia dalam kategori ‘teroris’.
Definisi terorisme sampai saat ini (dalam literatur internasional) tidak ada yang sama atau mendekati pemaknaan yang netral. Undang-Undang Anti Terorisme pada tahun 2018 yang disahkan oleh DPR, mendefinisikan terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan / atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitasi internasional dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan. Definisi inipun juga masih dikritisi oleh para ahli.
Ada beragam referensi untuk membaca penyebab individu yang masuk dalam kategori seorang ‘teroris’. Edward Newman dalam jurnal Studies in Conflict & Terrorism menulis bahwa penyebab individu menjadi seorang teroris antara lain yaitu kemiskinan, hidup dalam rezim otoriter dan represif, atau berlatar budaya dan agama. Hal-hal tersebut yang membuat sistem sosial mengalami disfungsi atau tanda sebuah konflik yang sedang terjadi (Newman, 2006).
Tindakan teror yang mengatasnamakan agama sering dikaitkan dengan fenomena beberapa dekade yang lalu. Fakta yang terjadi adalah pelaku teror bertindak karena ‘perintah agama.’ Allport mengasumsikan peran agama telah mengalami paradoks. Dimana para penganutnya, selain mengajarkan al-Iḥsān (kebaikan), juga mengajarkan al-‘Unf (kekerasan). Jadi, memang entitas dalam beragama adalah selalu berbuat kebaikan, akan tetapi ada juga yang berbuat kekerasan atas nama agama (Allport, 1954).
Dalam perspektif agama Islam, seorang Muslim wajib menyebarkan cinta kasih ke sesama ciptaan-Nya. Ada dua ayat dalam Alquran yang dapat dijadikan rujukan, yang pertama Q.S. al-Anbiyā’ ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. [Q.S. al-Anbiyā’: 107]
Dan ayat yang kedua Q.S. Ali ‘Imrān ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ