Kamis, Februari 2, 2023
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Kajian
kh l fah

Menyoal Autentisitas Argumen Para Pengusung Khilafah

Menyoal Autentisitas Argumen Para Pengusung Khilafah

Saidun Fiddaraini by Saidun Fiddaraini
20/06/2022
in Kajian, Populer, Tajuk Utama
3 1
0
4
SHARES
73
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Aspirasi untuk mendirikan Khilafah Islamiyah kembali mencuat ke permukaan pasca adanya konvoi yang dilakukan oleh organisasi bernama Khilafatul Muslimin beberapa waktu lalu. Juga ditangkapnya pemimpin tertinggi kelompok mereka, Abdul Qadir Hasan Baraja pada Selasa (7/6/2022), tepatnya di Lampung. Isu ini bertengger di urutan paling atas melampaui isu-isu politik dan life style (gaya hidup) dalam setiap pemberitaan media massa.

Ini menunjukkan bahwa wacana pembentukan Khilafah Islamiyah menjadi problem krusial, sensitif, dan penuh ketegangan. Mengapa bisa demikian? Karena dapat mengancam terhadap tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara di bawah naungan ideologi Pancasila. Saking berbahayanya, Mahfud MD, dalam salah satu acara rapat koordinasi dengan pejabat kepala daerah mengingatkan ihwal kemunculan khilafah walaupun sekalanya kecil (baca:https://news.detik.com/berita/d-6130150/mahfud-md-ingatkan-pj-kepala-daerah-khilafah-muncul-meski-kecil).

BacaJuga

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

Namun, catatan kecil yang saya tulis ini materi bahasannya akan difokuskan kepada argumen-argumen yang kerap digelorakan oleh para pengusung khilafah dalam setiap kesempatan. Kemudian, akan diuji autentisitasnya. Mengingat Khilafah Islamiyah seakan menjadi sesuatu yang wajib (syariat Islam) untuk ditegakkan. Sebaliknya, menolak akan hal ihwal dengan mendirikan negara berbasis non-syariat Islam semisal Pancasila, adalah kafir, sesat, wajib diperangi, dll. Karena itulah, bagi saya, mengetahui dalil-dalil pemikiran mereka sangat penting sebab, tak jarang mengutip ayat-ayat dari kitab suci sebagai legitimasi atas tindakannya.

Lazimnya, aspirasi untuk mendirikan Khilafah Islamiyah sekurang-kurangnya terdapat beberapa argumen paling fundamental yang dikemukakan para pengusung khilafah. Pertama, mengacu pada fakta sejarah yaitu Piagam Madinah. Piagam Madinah, demikian para pengusung khilafah merupakan preseden dari cita-cita negara Islam: bahwa ‘negara’ Madinah yang dibuat dan diciptakan oleh Nabi Muhammad adalah bentuk ideal dari pemerintahan suatu negara yang dibangun atas primordialisme, suku (tribalism) bahkan agama tertentu.

Memang, betul, Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Muslim telah mampu menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang sangat ideal dengan penuh keadilan, perdamaian, kesejahteraan, dan lain-lain. Bahkan, model atau cara pemerintahan ala Nabi dengan segala kebijakannya ini patut dicontoh dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kiwari demi tegaknya kemaslahatan bersama.

Namun, yang perlu dicatat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah merumuskan secara definitif ihwal mekanisme pergantian penjabatannya hingga akhir hayat. Kalau memang Nabi Muhammad menghendaki berdirinya sebuah “Khilafah Islamiyah”, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Tetapi Nabi sekadar memerintahkan “bermusyawarahlah kalian dengan persoalan”. Mestinya, masalah sepenting itu dilembagakan secara konkret, bukan diucapkan dengan sebuah diktum saja.

Kita bisa menakik fakta sejarah bagaimana proses pemilihan sahabat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin yang lahir dari kekosongan pemerintahan pasca wafatnya Nabi. Ia dipilih melalui sistem musyawarah yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wa al-Aqdi. Sementara Sayyidina Umar bin Khattab ditunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar. Hingga bentuk sistem tersebut mulai berubah pasca Dinasti Bani Umayyah.

Berdasarkan kenyataan tentang tidak adanya sistem baku dalam pemilihan seorang pemimpin dalam Islam, maka tidak heran jika Muhammad Abid al-Jabiri dalam buku Negara Islam-nya menyatakan bahwa tidak ada role model khusus yang ditentukan oleh Nabi Muhammad sendiri dan para sahabat ihwal sistem politik. Dari pembacaan historis seperti ini, kemudian pala ulama berargumen bahwa persoalan sistem politik merupakan bentuk ijtihadiyah.

Kedua, merujuk pada ayat-ayat Al-Quran yang secara redaksional menyebutkan kata “khalifah” dan berbagai derivasinya. Sehingga, menurut mereka, Islam memang mengamanatkan sebuah sistem pemerintahan berupa Khilafah Islamiyah. Maka, negara yang selain Khilafah Islamiyah dalam pandangan mereka dapat dipastikan sesat, kafir, dan sebagainya.

Di dalam Al-Quran memang banyak ditemukan ayat-ayat yang secara redaksional menjelaskan tentang “khilafah”. Misalnya: QS. Surat Al-A’raf: 129, QS. Surat An-Nur: 55, QS. Fatir: 39, dan lain sebagainya. Pada ayat-ayat tersebut dapat kita jumpai redaksi atau lafaz istakhlafa, yastakhlifu, dan khalaif, yang kesemuanya merupakan satu akar dengan redaksi khalifah.

Walau begitu, menurut Muhammad Imarah seorang ulama kontemporer berkebangsaan Mesir dalam kitabnya al-Islam wa Falsafah al-Hukm menyatakan bahwa term khilafah dalam ayat tersebut ialah kekhalifahan yang diberikan secara langsung oleh Allah kepada setiap individu manusia sebagai mandat agar memakmurkan bumi, bukan kekhalifahan berupa jabatan politik yang diberikan oleh manusia dan hanya terbatas pada seorang penguasa atau kepala negara.

Ini berarti, kata khilafah dalam Al-Quran tersebut tidak merujuk pada pemimpin politik, melainkan ditujukan untuk memakmurkan bumi dan segala isinya. Sebab, tujuan utama manusia diciptakan oleh Allah adalah menjadi pengganti-Nya (khalifatullah fil ardhi) dalam mengatur dunia dan kehidupannya. Anehnya, beberapa ayat tersebut kerap dipaksakan dan dipelintir maknanya sedemikian rupa oleh para pengusung khilafah sebagai legitimasi untuk mendirikan Khilafah Islamiyah.

Sementara Kamaruddin Khan sebagaimana dikutip Ainur Rafiq dalam bukunya Membongkar Proyek Khilafah menyatakan secara tegas dan lugas bahwa konsep negara sama sekali tidak ada dalam Al-Quran. Walaupun terdapat term khilafah di dalamnya, namun hal tersebut tidak digunakan dalam pengertian politik sebagaimana yang dipahami kelompok pengusung khilafah. Sebaliknya, Islam sekadar menyediakan seperangkat nilai-nilai moral-etik yang dapat dijadikan panduan atau pedoman dalam bernegara semisal al-‘Adalah, (adil) al-Syura (musyawarah), al-Amanah (amanah), dll.

Ketiga, mereka mengklaim dengan nada penuh optimisme dan keyakinan power full bahwa penegakan Khilafah Islamiyah merupakan solusi tunggal di tengah krisis multidimensi yang dihadapi seluruh umat Islam di dunia ini. Dengan berdirinya sistem khilafah, keadilan, kesejahteraan, kedamaian, dan sebagainya bisa tercapai. Inilah doktrin-doktrin yang seringkali diedarkan atau diperjualbelikan kepada masyarakat agar mengikutinya.

Iya, negara memang merupakan sesuatu hal yang sangat urgen adanya sebab, tujuan didirikannya sebuah negara ialah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia secara lahir-batin, baik urusan duniawi maupun ukhrawi dalam hal ini agama. Sebaliknya, tanpa adanya negara agama tidak akan tegak dan kukuh. Maksudnya, nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam agama mustahil terealisasi semisal keadilan, amar makruf nahi mungkar, dan semua hal yang diwajibkan oleh Allah.

Namun demikian, menurut KH Afifuddin Muhajir dalam bukunya bertajuk Fiqih Tata Negara menyatakan bahwa negara dalam pandangan Islam bukanlah sebuah tujuan (ghayah), melainkan sebagai sarana atau instrumen untuk mencapai tujuan (wasilah). Karena posisi negara ialah sebagai instrumen maka menjadi masuk akal jika dalam teks wahyu, bentuk negara dan sistem pemerintahan tidak disebutkan secara tersurat dan terperinci. Sebaliknya, teks wahyu banyak berbicara soal negara dan pemerintahan secara makro dan universal.

Kalaupun mereka hendak memperbaiki krisis yang dihadapi umat Islam tersebut, khususnya di Indonesia, tidak perlu mengganti sistem pemerintahan yang ada. Mestinya, ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam kelima sila Pancasila. Bukan malah sebaliknya, berkeinginan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan syariat Islam karena dianggap telah gagal menjalankan perannya.

Jika demikian, bisa dipastikan pergantian tersebut dapat menimbulkan permasalahan baru dalam tatanan kehidupan. Akhirnya, ia bukan lagi sebagai solusi. Maka tidak heran, apabila wacana pembentukan Khilafah Islamiyah ini digulirkan kembali banyak ditentang oleh pelbagai kalangan. Sebab, lebih banyak mafsadatnya ketimbang maslahat. Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah fikih:

إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

“Apabila ada pertentangan antara dua mafsadat (kerusakan) maka mafsadat yang kadarnya lebih besar ditanggulangi dengan cara menerima mafsadat yang kadarnya lebih rendah.”

Dengan redaksi berbeda, kaidah lain juga mengatakan:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Penolakan terhadap kerusakan harus diprioritaskan daripada pemerolehan kemaslahatan.”

Jadi, jelaslah bahwa argumen yang digelontorkan oleh para pengusung khilafah untuk mendirikan Khilafah Islamiyah tidak memiliki pondasi dan dalil yang cukup kuat dan memadai, baik dari sisi teologis (Al-Quran dan Hadis) maupun lainnya. Yang ada hanya klaim-klaim semata berdasarkan penafsiran subjektivitas mereka.

Saking tidak berdasarnya, dari masing-masing kelompok para pengusung Khilafah Islamiyah tersebut memiliki konsep ke-khalifah-an yang berbeda-beda. Bahkan, masing-masing dari mereka mengklaim bahwa ke-khilafah-annyalah yang paling benar dan sesuai dengan syariat. Sementara ke-khilafah-an kelompok lain dianggap salah.

Saya sependapat dengan pernyataan Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam bahwa penyematan kata “Islamiyah” dalam term khilafah tidak lain hanya untuk memberi bobot teologis, dan lebih sebagai komoditas politik semata. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd seorang filosof muslim terkemuka asal Andalusia, bahwa “kebatilan apa pun yang dibungkus dengan agama maka akan laku keras di masyarakat.” Wallahu A’lam

Previous Post

Pesantren sebagai Penyemai Karakter Bangsa

Next Post

Borok Politisasi Agama di Indonesia

Saidun Fiddaraini

Saidun Fiddaraini

Alumni PP. Nurul Jadid, Paiton dan sekarang mengajar di PP. Zainul Huda, Arjasa, Sumenep.

RelatedPosts

Menyapa Agama Agama dalam Sejarah dan Teologi
Kajian

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

26/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan
Peradaban

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

24/01/2023
Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI
Kajian

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

19/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan Hari
Peradaban

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (1)

16/01/2023
Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz
Kajian

Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

12/01/2023
Pesantren Kontinuitas dan Perubahan (3)
Kajian

Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan (3)

06/01/2023
Next Post
politisasi agama

Borok Politisasi Agama di Indonesia

DKI Jakarta

Selamat Ulang Tahun Ke-495 DKI Jakarta!

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

Menyapa Agama Agama dalam Sejarah dan Teologi

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

26/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

24/01/2023
Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

19/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan Hari

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (1)

16/01/2023
Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

12/01/2023

Trending Artikel

  • Pribadi Nabi Muhammad Saw Yang Introvert

    Pribadi Nabi Muhammad SAW yang Introvert

    110 shares
    Share 44 Tweet 28
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    106 shares
    Share 42 Tweet 27
  • Cara Islam Mengatasi Rasa Insecure

    72 shares
    Share 29 Tweet 18
  • Definisi Dai, Ustadz, Mufti, Murobbi dan Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

    61 shares
    Share 24 Tweet 15
  • Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

    54 shares
    Share 22 Tweet 14
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.