Akhir-akhir ini istilah hijrah menjadi semakin populer di telinga masyarakat Muslim Indonesia. Istilah ini kembali banyak digaungkan oleh ustadz-ustadzah selebritis melalui berbagai pengajian dan juga media sosial. Saat ini banyak bermunculan akun hijrah di media sosial dengan ribuan bahkan jutaan follower. Akun hijrah dan postingan bertema hijrah juga membanjiri facebook dan twitter. Uniknya, pelaku dan pegiat gerakan hijrah bukan saja berasal dari kalangan masyarakat biasa, tetapi juga public figure seperti selebritas dan olahragawan terkenal.
Di kalangan selebritas ada sederet nama beken semisal Teuku Wisnu, Shiren Sungkar, Sakti “Sheila on Seven”, Dewi Sandra, Arie Untung, Fenita Arie, Uki dan Reza “Noah”, Rizal “Armada”, Mulan Jameela, Sunu “Matta Band”, Irwansyah, Chacha Frederika, dan selebritas-selebritas lainnya. Sementara dari kalangan olahragawan ada sejumlah nama populer seperti Lindswell Kwok, Mohammad Ahsan, Maria Febe Kusumastuti, dan Adriyanti Firdasari, dan Diego Michels. Para pesohor tanah air tersebut tidak hanya berpenampilan syar’i saja seperti berhijab bagi perempuan dan memanjangkan jenggot bagi laki-laki, namun juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan dakwah dan kajian keislaman.
Hijrah sejatinya bukanlah terma yang baru. Istilah ini telah lama populer di kalangan Muslim. Hijrah merupakan peristiwa sejarah di mana Nabi Muhammad SAW dan para sahabat berpindah ke luar Mekkah untuk mencari perlindungan diri. Hijrah dilakukan lantaran saat itu Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya kerap mendapatkan banyak diskriminasi, intimidasi, dan juga persekusi dari kaum kafir Mekkah. Menurut catatan sejarah, ada 2 (dua) kali peristiwa hijrah yang pernah dilakukan oleh umat Muslim. Pertama, hijrah ke negeri Habasyah (Ethiopia).
Hijrah ini dilakukan oleh pengikut awal nabi untuk menghindari persekusi kaum kafir Quraisy Mekkah. Saat itu, para pengikut Nabi mendapatkan suaka politik dari raja Habasyah yang beragama Kristen (Shihab, 2011). Kedua, hijrah Nabi SAW dan pengikutnya dari Mekkah ke Yasrib (kini: Madinah al-Munawwaroh) untuk menghindari perlakuan yang tidak manusiawi elit-elit penguasa zalim Mekkah. Dalam peristiwa hijrah ini, Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya yang terkenal dengan sebutan kelompok muhajirin disambut dan diperlakukan dengan sangat baik oleh masyarakat Madinah.
Peristiwa historis nan monumental tersebut kemudian diabadikan menjadi kalender Islam (kalender hijriyah). Jika kita menyimak sejarah hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pengikutnya tersebut, maka istilah hijrah bermakna perpindahan secara fisik ke daerah/wilayah lain guna menyelamatkan diri dari kebengisan kaum kafir Mekkah.
Pergeseran Makna Hijrah
Saat ini terma hijrah telah mengalami pergeseran makna. Istilah hijrah disematkan kepada gerakan yang mengajak umat muslim, terutama generasi muda, untuk berhijrah kepada kebaikan dengan menjalankan syariat agama secara kaffah. Dalam konteks ini, hijrah dimaknai sebagai transformasi diri seorang Muslim dari yang semula kurang agamis menjadi lebih agamis. Dalam perspektif pelakunya, hijrah berarti meninggalkan kebiasaan buruk seperti meninggalkan pakaian yang mengumbar aurat dan menggantinya dengan berpakaian yang syar’i yaitu mengenakan hijab dan cadar.
Selain terjadinya perubahan penampilan fisik, pelaku hijrah juga berupaya melakukan perubahan sikap dan perilaku. Mereka meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tidak Islami dan tidak bermanfaat seperti pacaran, dugem, bermusik, selfie, dan nongkrong. Kemudian mereka beralih kepada aktivitas-aktivitas yang Islami. Banyak pula di antara mereka yang menjadi aktivis dakwah.
Pada umumnya pelaku hijrah merupakan anak-anak muda perkotaan yang awam dan dangkal pengetahuan keagamaan (baca: keislaman). Mereka umumnya banyak yang berlatar belakang pendidikan umum. Aktivis hijrah kebanyakan terdapat di sekolah dan perguruan tinggi umum. Mereka tertarik dengan gerakan hijrah lantaran gerakan tersebut menawarkan gaya dan cara hidup yang lebih “Islami”. Di antaranya kampanye memerangi kemerosotan moral di kalangan generasi muda seperti pergaulan bebas, tawuran, konsumsi alkohol, dan penyalahgunaan narkoba. Mereka juga tertarik kepada gerakan hijrah lantaran gerakan ini menjanjikan kepastian dalam persoalan keagamaan dan juga menawarkan gagasan khilafah Islamiyah, penerapan syariat Islam, serta gerakan anti-China, asing, dan Barat.
Para aktivis gerakan hijrah umumnya sangat melek teknologi. Dakwah mereka tidak monoton. Mereka memanfaatkan berbagai kanal media sosial untuk berdakwah dan menggaet follower. Mereka piawai dalam menggunakan budaya pop untuk menarik simpati kaum milenial. Dalam berdakwah secara virtual, mereka menghiasi berbagai media sosial dengan konten-konten dakwah yang menarik, baik berupa foto, audio, meme, maupun video. Semua itu dikemas dengan bahasa anak muda. Selain mengoptimalkan media sosial, para aktivis hijrah juga menerbitkan berbagai buku dengan kemasan yang menarik dan sarat pesan motivasi. Mereka mampu mencuri perhatian kalangan milenial lantaran mereka piawai dalam mengkomodifikasi agama dengan menawarkan berbagai produk menarik dengan harga yang relatif terjangkau. Beberapa di antaranya adalah baju yang berisi pesan-pesan Islami dan celana cingkrang yang fashionable. Produk hijab dan cadar yang diperjual-belikan mereka pun memiliki beragam model dan cukup fashionable, namun tetap tampak syar’i.
Menuju Gerakan Hijrah Substantif
Sebagai fenomena sosial-keagamaan, gerakan hijrah tentunya patut diapresiasi sepanjang berorientasi pada perbaikan dan transformasi moral umat Muslim. Maraknya generasi milineal dalam berhijrah menandakan kegairahan mereka dalam beragama (Islam). Namun demikian, gerakan hijrah akan kontraproduktif bilamana bertolak-belakang dengan spirit, doktrin, dan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Untuk itu, menurut hemat penulis, seorang muslim yang hendak berhijrah perlu memperhatikan 4 (empat) hal berikut.
Pertama, hijrah harus dimaknai secara substantif bukan simbolik-normatif. Hijrah bukan semata-mata berpakaian syar’i serta memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Hijrah bukan sekedar mengenakan celana cingkrang dan menghitamkan jidat. Hijrah bukan sekedar melafalkan berbagai sapaan berbahasa Arab seperti ana, antum, akhi, ikhwan, ukhti, akhwat, ukhti fillah, akhi fillah, dan “sapaan-sapaan Islami” lainnya. Hijrah bukan dan tidak identik dengan Arabisasi. Hijrah harus dimaknai sebagai proses transformasi diri, yaitu ikhtiar sungguh-sungguh seseorang untuk memperbaiki moral dan meningkatkan kualitas diri. Berhijrah adalah upaya memperbaiki perilaku sebelumnya yang kurang baik menjadi lebih baik. Perilaku yang sebelumnya tidak/belum religius menjadi lebih religius dalam arti sesungguhnya.
Kedua, hijrah harus dibarengi dengan keterbukaan dan penghormatan terhadap perbedaan. Dalam konteks ini, seorang muslim yang memutuskan berhijrah tidak boleh merasa diri yang paling benar sendiri (truth claim), eksklusif, dan intoleran terhadap orang/kelompok lain yang berbeda, baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Setiap Muslim harus menginsyafi bahwasannya perbedaan dan keragaman merupakan sunnatullah (desain dan kehendak Allah SWT). Perbedaan dan keragaman adalah lawazimul hayat (keniscayaan hidup). Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh saling membid’ahkan apalagi mengkafirkan orang/kelompok lain yang berbeda pandangan keagamaan.
Beberapa waktu silam publik pernah dikagetkan dengan pernyataan Teuku Wisnu, selebritas dan aktivis hijrah, yang menganggap amalan orang yang mengirimkan Surat Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal sebagai bid’ah (menyimpang) karena tidak ada dalilnya dan tidak sesuai tuntunan Nabi Muhamamd SAW. Tentu saja statement Teuku Wisnu tersebut tidak mencerminkan kearifan seorang Muslim yang seharusnya menghargai keyakinan kelompok lain yang berbeda dengannya. Terlebih lagi ia adalah seorang public figure yang mestinya dapat menjadi teladan (role model) masyarakat.
Ketiga, hijrah harus dibarengi dengan kedalaman pengetahuan keislaman. Ghirah atau semangat beragama saja tidak cukup. Semangat berhijrah harus ditopang dengan pengetahuan keagamaan yang mumpuni. Tanpa wawasan keislaman yang memadai, pelaku dan aktivis hijrah rentan tergelincir dalam kesempitan berpikir (narrow-mindedness) dan eksklusivisme beragama. Akibatnya, ia cenderung merasa paling benar sendiri dan gampang menyalahkan orang/kelompok lain. Realitas ini marak kita jumpai pada pelaku hijrah. Untuk itu, idealnya pelaku hijrah tidak sekedar belajar agama secara otodidak saja. Pelaku hijrah tidak cukup hanya puas membaca dan mengutip literatur keagamaan dari “Mbah Google” semata, namun harus pula berguru pada ulama-ulama yang otoritatif dan memiliki sanad keilmuan yang jelas.
Keempat, hijrah harus dibarengi dengan komitmen kebangsaaan (nasionalisme) yang kuat. Selain komitmen keislaman, seorang pelaku hijrah mestinya memiliki komitmen kebangsaan/keindonesiaan. Ada kecenderungan pelaku dan aktivis hijrah mempertentangkan antara keislaman dengan paham kebangsaan (nasionalisme). Bahkan, di antara mereka ada yang mengharamkan nasionalisme dan Pancasila. Di mata mereka, nasionalisme tidak ada dalam Islam dan karenanya harus ditolak. Demikian pula dengan Pancasila yang dalam pandangan mereka dianggap thoghut. Tentu persepsi demikian tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat ditoleransi. Setiap Muslim harus mengimani bahwa nasionalisme terdapat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirul kalam, manakala keempat hal di atas diaktualisasikan, penulis yakin gerakan hijrah akan sangat bermanfaat dan berdampak positif bagi kemaslahatan umat Muslim Indonesia. Allahu’alam bis-shawab
Baca Juga:
Apa Tantangan Millenial Belajar Islam?