Perempuan keturunan Rasulullah biasanya disebut Syarifah, bisa disebut juga habibah. Julukan yang terakhir ini jarang terdengar dan tidak sekondang Habib, Habaib. Mungkin karena peran publik mereka tidak sebanyak Habaib yang melintasi profesi, benua dan ilmu pengetahuan.
Penulis sebut demikian, karena sebagaimana peradaban yang dominan patriarki, peran habib telah mewarnai berbagai bidang kehidupan dan nama panggilannya hampir pasti melekat pada nama lahirnya. Walaupun ada keturunan tidak menjadikan atribut itu di depan namanya. Misalnya Quraish Shihab, mufassir masyhur se-Asia Tenggara, Ali Al Attas, mantan Menteri Luar Negeri di era Soeharto, Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri di era Gus Dur, dan lain lain.
Lain halnya, syarifah tidak tampak sekali menyandangkan namanya maupun terlibat aktif dalam pengakuan publik. Namun mereka bukan tidak ada sama sekali, mereka ada kalau ada yang memberi tahu bahwa mereka adalah Syarifah. Tulisan ini hendak mendeskripsikan secara singkat tentang perdebatan dzurriyah nabi dari sisi perempuan dan pergulatan hidup seorang syarifah.
Siapa Syarifah?
Menurut organisasi Rabithah Alawiyah (2018) sekarang ini terdapat 40 juta keturunan Nabi, silsilahnya membentang dari Saudi hingga Kwitang. Ada 1,2 juta yang terdapat di Indonesia. Mereka yang disebut dengan Habib biasanya bergaris kepada negeri Hadramaut (Yaman). Namun yang tidak identik dengan negeri atau daerah itu, biasanya disebut dengan Sayyid, Syarif atau Yek kalau di Jawa dan lain-lain. Adapun fam-nya, bisa Shahab, Shihab, Assegaf atau al-Attas.
Van den Bergh dalam Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, menulis bahwa Arab Hadramut telah berada di Nusantara pada abad 18. Statistik mereka tidak membedakan apakah mereka adalah yang dilahirkan orang tuanya disini atau di negerinya sendiri lalu melakukan migrasi. Data juga tidak membedakan garis fam-nya habib atau bukan.
Gelar syarifah sendiri kalau dia dilahirkan dari ayah dan ibu yang satu fam, garis dzurriyah Nabi. Atau dari ayah saja yang bergaris nasab sampai Rasulullah. Namun jika seorang Syarifah menikah bukan dari klan yang sama dengannya maka ia telah dianggap memutus sendiri garis keturunannya kepada Rasulullah. Berat tentu ketika perasaan harus linear dengan formalitas itu, terlebih sanksi sosialnya; dikeluarkan dari keluarga.
Mengapa sampai demikian? karena dalam suatu perkawinan yang masih bisa dinasabkan kepada nabi adalah laki-laki, bukan perempuan, syarifah. Ini khas dengan suatu pemahaman dan erat kaitannya dengan konsep bahwa laki-laki adalah penanggung jawab kehidupan dan seorang pemimpin atau imam, baik untuk keluarganya maupun umat.
Laki-laki seperti dibanyak klan amatlah istimewa karena itu ada pertanyaan, mengapa habib, habibah, syarifah, sayyid atau apa saja namanya disebut keturunan Nabi?. Bukankah satu-satunya anak nabi yang hidup dan berketurunan adalah perempuan, Fatimah. Ya Fatimah-lah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, sepupu nabi sendiri. Darinya beliau melahirkan Sayyidina Hasan dan Husein. Habib awalnya adalah panggilan kesayangan Rasulullah kepada mereka.
Pertanyaannya, ketika syarifah tidak legitimate menikah dengan non Habib yang berimbas pada terputusnya keturunan Nabi. Perempuan pun tidak dapat meneruskan garis keturunan untuk menyandang nasab keluarga, demikian memang budayanya hingga kini.
Seorang Ali R.A dan Fatimah yang berasal dari satu suku yang sama-sama istimewa, yaitu Quraisy, saja masih jadi pertanyaan. Padahal mereka satu bani, Bani Hasyim. Terhadap hal itu, seorang sayyid dari Aceh, Said Muniruddin (2014) menuliskan pemikirannya ketika ditanya bukankah cucu atau keturunan Rasulullah sudah putus? Karena Fatimah adalah perempuan, mengapa masih ada sayyid. Ia mengakui bahwa amatlah berat menyandang keturunan Nabi itu, karena secara umum mereka belum baik semuanya dan banyak juga sayyid-sayyid lain yang melakukan maksiat, tidak menjaga marwah.
Namun Sayyid Munir menjawab pertanyaaan di atas dengan mencoba menggali argumentasi naqliyah bahwa sayyid dan syarifah adalah cucu-cucu Rasulullah. Dianggap cucu karena merupakan garis keturunan kedua, lahir anak-anak dari kakek dan neneknya, tidak membedakan dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Ini adalah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa mereka adalah cucu Nabi dari jalur Fatimah R.A.
Jalur perempuan bukan hanya dimiliki oleh Sayyidah Fatimah Zahra, kalau kita baca Alquran surah al-An’am, 83-85, yang menceritakan tentang Ishaq, Ya’qub Dawud, Sulaiman dan keturunannya Nabi Nuh, Isa merupakan garis keturunan dari Nuh, berasal dari perempuan, Maryam.
Ayat itu bicara tentang dzurriyah, dzurriyah kerasulan. Isa adalah satu-satunya Nabi yang dinisbatkan kepada perempuan, yakni ibunya. Namun garis keturunannya sampai Nabi Nuh. Ini menunjukkan tak ada masalah ia ber-binti Maryam.
Juga dalam surah lain, Ali Imran 61, ketika Nabi bermubadalah dengan ahlul kitab (Nashrani):
Kemudian, dalam ayat lain Allah swt juga berfirman, “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu yang meyakinkanmu, maka katakanlah (kepadanya), “marilah kita memanggil anak-anak kami (abna ana) dan anak-anak kamu, perempuan kami (nisa ana) dan perempuan kamu, diri kami (anfusana) dan diri kamu. Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta” (QS. Ali ‘Imran -3: 61).
Abna ana itu artinya Hasan dan Husain, nisa ana adalah Fatimah dan anfusana adalah Ali R.A.