Minggu, Januari 29, 2023
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Gagasan
Nasib Nasab Syarifah

Nasib Nasab Syarifah

Nasib Nasab Syarifah

Ala'i Nadjib, MA. by Ala'i Nadjib, MA.
22/01/2022
in Gagasan, Tajuk Utama
29 1
0
29
SHARES
573
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Perempuan keturunan Rasulullah biasanya disebut Syarifah, bisa disebut juga habibah. Julukan yang terakhir ini jarang terdengar dan tidak sekondang Habib, Habaib. Mungkin karena peran publik mereka tidak sebanyak Habaib yang melintasi profesi, benua dan ilmu pengetahuan.

Penulis sebut demikian, karena sebagaimana peradaban yang dominan patriarki, peran habib telah mewarnai berbagai bidang kehidupan dan nama panggilannya hampir pasti melekat pada nama lahirnya. Walaupun ada keturunan tidak menjadikan atribut itu di depan namanya. Misalnya Quraish Shihab, mufassir masyhur se-Asia Tenggara, Ali Al Attas, mantan Menteri Luar Negeri di era Soeharto, Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri di era Gus Dur, dan lain lain. 

BacaJuga

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

Lain halnya, syarifah tidak tampak sekali menyandangkan namanya maupun terlibat aktif dalam pengakuan publik. Namun mereka bukan tidak ada sama sekali, mereka ada kalau ada yang memberi tahu bahwa mereka adalah Syarifah. Tulisan ini hendak mendeskripsikan secara singkat tentang perdebatan dzurriyah nabi dari sisi perempuan dan pergulatan hidup seorang syarifah.

Siapa Syarifah?

Menurut organisasi Rabithah Alawiyah (2018) sekarang ini terdapat  40 juta keturunan Nabi, silsilahnya  membentang dari Saudi hingga Kwitang. Ada 1,2 juta yang terdapat di Indonesia. Mereka yang disebut dengan Habib biasanya bergaris kepada negeri Hadramaut (Yaman). Namun yang tidak identik dengan negeri atau daerah itu, biasanya disebut dengan Sayyid, Syarif atau Yek kalau di Jawa dan lain-lain. Adapun fam-nya, bisa Shahab, Shihab, Assegaf atau al-Attas.

Van den Bergh dalam Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, menulis bahwa Arab Hadramut telah berada di Nusantara pada abad 18. Statistik mereka tidak membedakan apakah mereka adalah yang dilahirkan orang tuanya disini atau di negerinya sendiri lalu melakukan migrasi. Data juga tidak membedakan garis fam-nya habib atau bukan.

Gelar syarifah sendiri kalau dia dilahirkan dari ayah dan ibu yang satu fam, garis dzurriyah Nabi. Atau dari ayah saja yang bergaris nasab sampai Rasulullah. Namun jika seorang Syarifah menikah bukan dari klan yang sama dengannya maka ia telah dianggap memutus sendiri garis keturunannya kepada Rasulullah. Berat tentu ketika perasaan harus linear dengan formalitas itu, terlebih sanksi sosialnya; dikeluarkan dari keluarga. 

Mengapa sampai demikian? karena dalam suatu perkawinan yang masih bisa dinasabkan kepada nabi adalah  laki-laki, bukan perempuan, syarifah. Ini khas dengan suatu pemahaman dan erat kaitannya dengan konsep bahwa laki-laki adalah penanggung jawab kehidupan dan seorang pemimpin atau imam, baik untuk keluarganya maupun umat. 

Laki-laki seperti dibanyak klan amatlah istimewa karena itu ada pertanyaan, mengapa habib, habibah, syarifah, sayyid atau apa saja namanya disebut keturunan Nabi?. Bukankah satu-satunya anak nabi yang hidup dan berketurunan adalah perempuan, Fatimah. Ya Fatimah-lah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, sepupu nabi sendiri. Darinya beliau melahirkan Sayyidina Hasan dan Husein. Habib awalnya adalah panggilan kesayangan Rasulullah kepada mereka.

Pertanyaannya, ketika syarifah tidak legitimate menikah dengan non Habib yang berimbas pada terputusnya keturunan Nabi. Perempuan pun tidak dapat meneruskan garis keturunan untuk menyandang nasab keluarga, demikian memang budayanya hingga kini. 

Seorang Ali R.A dan Fatimah yang berasal dari satu suku yang sama-sama istimewa, yaitu Quraisy, saja masih jadi pertanyaan. Padahal mereka satu bani, Bani Hasyim. Terhadap hal itu, seorang sayyid dari Aceh, Said Muniruddin (2014) menuliskan pemikirannya ketika ditanya bukankah cucu atau keturunan Rasulullah sudah putus? Karena Fatimah adalah perempuan, mengapa masih ada sayyid. Ia mengakui bahwa amatlah berat menyandang keturunan Nabi itu, karena secara umum mereka belum baik semuanya dan banyak juga sayyid-sayyid lain yang melakukan maksiat, tidak menjaga marwah.  

Namun Sayyid Munir menjawab pertanyaaan di atas dengan mencoba menggali argumentasi naqliyah bahwa  sayyid dan syarifah adalah cucu-cucu Rasulullah. Dianggap cucu karena merupakan garis keturunan kedua, lahir anak-anak dari kakek dan neneknya, tidak membedakan dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Ini adalah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa mereka adalah cucu Nabi dari jalur Fatimah R.A. 

Jalur perempuan bukan hanya dimiliki oleh Sayyidah Fatimah Zahra, kalau kita baca Alquran surah al-An’am, 83-85, yang menceritakan tentang Ishaq, Ya’qub Dawud, Sulaiman dan keturunannya  Nabi Nuh,  Isa merupakan garis keturunan dari Nuh, berasal dari perempuan, Maryam.  

Ayat itu bicara tentang dzurriyah, dzurriyah kerasulan. Isa adalah satu-satunya Nabi yang dinisbatkan kepada perempuan, yakni ibunya. Namun garis keturunannya sampai Nabi Nuh. Ini menunjukkan tak ada masalah ia ber-binti Maryam.

Juga dalam surah lain, Ali Imran 61, ketika Nabi bermubadalah dengan ahlul kitab (Nashrani):

Kemudian, dalam ayat lain Allah swt juga berfirman, “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu yang meyakinkanmu, maka katakanlah (kepadanya), “marilah kita memanggil anak-anak kami (abna ana) dan anak-anak kamu, perempuan kami (nisa ana) dan perempuan kamu, diri kami (anfusana) dan diri kamu. Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta” (QS. Ali ‘Imran -3: 61).

Abna ana itu artinya Hasan dan Husain, nisa ana adalah Fatimah dan anfusana adalah Ali R.A. 

Fatimah dan Ali barangkali adalah Lex Spesialis, khususiyah yang tak dapat disusul dalam kasus syarifah yang menikah dengan laki-laki biasa. 

Ayat ini turun ketika Nabi S.A.W bermubahalah dengan kaum Nasrani, yang menyertakan Ali, Fathimah, Hasan, dan Husen dalam jubah atau kain kisa. 

Ketika Nabi memproklamirkan Fatimah sebagai garis keturunanya, ini adalah kemajuan luar biasa pada budaya yang sangat patriarkhi.

Eksklusivisme  Nasab

Kenyataannya Lex spesialis memang tidak berlaku untuk dzurriyah ke bawah. Seorang  Syarifah yang merupakan keturunan Nabi ke 37, mengalami pergumulan batin yang luar biasa. Dari soal pendidikan maupun kemerdekaan memilih jodoh hingga keteladanan dari keluarga yang adil gender. Perempuan, sebagaimana yang ia tuturkan kepada penulis, ranahnya adalah domestik. Karena itu meskipun ia belajar sampai menyeberang keluar pulau ketika SMA, yang ditempuhnya itu adalah hanya bekal untuk mengabdi kepada sayyid (yang kelak akan jadi pendampingnya) dan keluarga. SMA merupakan usia-usia akil baligh, maka pesan kuat yang ia terima dari orang tuanya adalah jangan sampai ketemu dan menikah dengan non sayyid !. sebab itu akan memutuskan keluarga, sekaligus hilangnya marga Assegaf. 

Barangkali ini adalah harapan setiap orang tua yang menginginkan jodoh yang sebanding atau kufu. Habib Mundzir al-Musawa almarhum mengutip kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa pernikahan antara syarifah dengan yang bukan adalah tidak kufu sebagaimana tidak kufunya perkawinan antara orang miskin dan kaya.  Padahal Habib dan Syarifah adalah orang yang diminta menjaga keturunan Rasulullah sebagaimana mereka pahami dalam salah satu ayat;

Katakanlah wahai Muhammad, aku tak meminta pada kalian upah bayaran atas jasa ini, terkecuali kasih sayang kalian pada keluargaku” (QS. As-syuura: 23).

Tapi, siapa yang dapat menolak hati dan perasaan? Usai SMA, sang Syarifah sebenarnya  mendapatkan kemerdekaan untuk melanjutkan studinya, kuliah. Dalam dunia yang benderang karena memungkinkannya bertemu dengan berbagai komunitas yang disandangnya. Ia belajar tentang kesetaraan, keterbukaan pandangan, dialog antar iman dan hal-hal baru lain. 

Banyak sisi kehidupan yang tentu saja menyergap perasaan hatinya tanpa kenal nasab dan strata sosial. Namun perasaan tak mengenal sekat dan ter-hijabi, begitu  juga pesan inti ayahnya untuk hanya menikah dengan seorang Sayyid, habib.  Pada perjalanan hidupnya itu, ia memutuskan menikah dengan seorang Jawa non sayyid. Tak ada dialog, ia auto keluar dari garis keluarga sayyid. Beda dengan Fatimah Az Zahra yang mendapat Lex Spesialis, meksipun itu dzurriyahnya, syarifah ini tak bisa mewacanakan dalam ruang keluarga. Ayahnya tetap tegas untuk tidak menjadi walinya dan tidak terlibat dalam proses-proses hidup baru. Lewat sebuah proses yang menyakitkan di pengadilan, ia menikah dan mendapatkan wali mujbir. 

Ibunya adalah satu-satunya keluarga yang hadir. Keberadaan ibunya ketika ia menikah pun tak luput dari intimidasi, bapaknya. Sang Ibu adalah orang yang paling dekat dengannya. Seorang yang muthiah dan qana’ah, menerima segala perlakuan suaminya, seorang sayyid yang sangat patriarkhi, dan membalas kesetiaan total ibunya dengan poligami. Sejak kecil, sang Syarifah ini selalu bertanya atas watak dan kriteria ayahnya. Kuat kemungkinan menurut penulis, ia bukan role model untuk menjadi teladan. Meski selalu ada sisi sisi kemanusiannya yang baik. Yang baik ini tak mampu membendung sang syarifah untuk menjadikan pijakan memilih dan mencari Sayyid sebagai pendampingnya kelak.

Dengan pergaulan dan pengetahuan yang membukakan mata hatinya termasuk bertemu dengan korban-korban budaya yang patriarki, perlakuan yang diskriminatif dan seksis, ia menyelami kehidupan. Ia membantu menolong mereka tidak dalam wacana saja tapi juga dalam pendampingan aktif. Ia membalikkan dari sosok yang ekslusif menjadi pribadi yang inklusif.

Kebahagiannya tentu bertambah ketika wacana-wacana itu bisa ia transfer kepada ibunya dan menjadikannya perempuan berdaya. Sang syarifah memposisikan diri sebagai manusia di hadapan Tuhan di mana hanya takwalah yang membedakan. Atas semua konsekuensi itu, ia terlempar dari kehidupan keluarga besarnya dan anak-anaknya tak boleh melekatkan nama ke-habibannya.

Tentu saja tak semua syarifah mengalami pergumulan pemikiran dan memilih kehidupannya sendiri. Ada banyak kita melihat mereka memikili pasangan dari golongan ningrat yang sama dan mempunyai anak-anak sebagai cucu Rasulullah.  Bahwa mereka  meneladani atau tidak akhlak “kakeknya” publiklah yang menilai, termasuk pandangan pandangan keislaman dan afiliasi politiknya.  Suka tidak suka mereka adalah ahlul bait dan menurut Imam Syafii dalam salah satu syairnya; Hubbun ilal bait fardh min Allah.

Baca Juga: Menyelamatkan Habib di Nusantara | Bulletin Islamina Vol. 1/No. 4

Tags: AlawiyyinHabibKeturunan Nabi SAWNasabSayyidSyarifah
Previous Post

Indonesia Berdoa untuk Korban Kekerasan Seksual

Next Post

Membendung Habaib “Petakilan”

Ala'i Nadjib, MA.

Ala'i Nadjib, MA.

Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Pengurus Lakpesdam PBNU; Redaktur Tashwirul Afkar.

RelatedPosts

Menyapa Agama Agama dalam Sejarah dan Teologi
Kajian

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

26/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan
Peradaban

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

24/01/2023
Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI
Kajian

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

19/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan Hari
Peradaban

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (1)

16/01/2023
Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz
Kajian

Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

12/01/2023
Pesantren Kontinuitas dan Perubahan (3)
Kajian

Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan (3)

06/01/2023
Next Post
membendung habaib petakilan

Membendung Habaib “Petakilan”

Ainun Najib

Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

Menyapa Agama Agama dalam Sejarah dan Teologi

Menyapa Agama-Agama dalam Sejarah dan Teologi (1)

26/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (2)

24/01/2023
Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

Duri Islamisme dalam Sejarah NKRI

19/01/2023
Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan Hari

Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (1)

16/01/2023
Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

Fenomena Mualaf Menjadi Ustadz

12/01/2023

Trending Artikel

  • Pribadi Nabi Muhammad Saw Yang Introvert

    Pribadi Nabi Muhammad SAW yang Introvert

    110 shares
    Share 44 Tweet 28
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    106 shares
    Share 42 Tweet 27
  • Cara Islam Mengatasi Rasa Insecure

    72 shares
    Share 29 Tweet 18
  • Definisi Dai, Ustadz, Mufti, Murobbi dan Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

    60 shares
    Share 24 Tweet 15
  • Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

    54 shares
    Share 22 Tweet 14
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.