PERTANYAAN yang masih melekat, hingga saat ini. Apakah Bangsa Indonesia telah kehilangan senyumannya? Apakah predikat negara paling ramah Peringkat ke-7 masih disandang oleh Indonesia? (Expat Insider, 2014). Jika membaca tulisan sebelumnya berjudul “Menitik Berat Kaum Milenial: Agen Moderasi Beragama Di Nusantara” Mencantumkan data bahwa separuh penduduk Indonesia telah menguasai jagat hampir seluruh dunia maya (Topan Setiawan, 2022).
Seperti dua belah pisau yang saling menyatu. Ungkapan tersebut, pantas disandangkan terhadap kondisi bangsa Indonesia saat ini. Mengingat, tulisan di atas dapat menjadi keuntungan bonus demografi bagi Indonesia. Namun, menjadi senjata yang cukup mematikan, bagi sebutan negeri dengan seribu pulau ini. Kendati demikian, dunia kedua (dunia maya) menjadi dunia yang sangat berpengaruh, terhadap pengaruh sosial di dunia nyata. Bahkan, hanya cukup dengan dua ibu jari, Imej seseorang, dapat terenggut dengan sekejap. Menjadi sumber penghakiman paling afdol dilakukan oleh warga netizen Indonesia.
Berbagai Kasus Netizen Indonesia
Lebih jauh lagi, bahkan mengancam hubungan diplomatik antar negara. Beberapa kasus yang pernah mencuat, diantaranya terkait pembully-an Netizen (Internet Citizen=Warga Pengguna Maya) kepada dua sepasang Gay (penyuka sesama jenis Lak-laki) di Thailand. Hal tersebut menyebabkan pemerintahan Negara Thailand melarang seluruh netizen Indonesia yang terdata, untuk melakukan penerbangan ke Ibukota Bangkok. Kemudian, kasus yang pernah menimpa selebritis TikTok asal negara Filipina, Reemar Martin. Remaja yang terkenal dengan video TikTok, menjadi buah bibir di hampir semua platform media sosial, Reemar Martin dikabarkan menjadi korban bully netizen Indonesia.
Reemar Martin diserang netizen, karena dianggap terlalu digandrungi kalangan pria di Indonesia. Gadis remaja asal Filipina ini memang terkenal dengan konten video di TikTok. Kecantikan remaja kelahiran 1999 ini banyak bermain hati kaum adam di Indonesia. Oleh karena hal itu, Reemar diserang dengan aksi report dan komentar bernada bully di akun media sosial miliknya. (Kompas, 2021)
Tak cukup dengan itu, tak lama berselang satu tahun, setelah kasus Reemar. Netizen Indonesia kembali menyerbu akun perusahaan raksasa di dunia, yakni Microsoft. Lantaran Microsoft mengunduh postingan terkait data, yang menyematkan netizen paling tidak ramah di dunia terhadap negara Indonesia. Hal tersebut menimbulkan, berbagai hujatan dengan bertuliskan bahasa Indonesia di room chat akun Microsoft tersebut. Alhasil, perusahaan tersebut menutup kolom komentar dan memperkuat dugaan tersebut. Sebagai Netizen Negara Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara.(Digital Civility Index, 2022)
Indonesia dan Tingkat Kesopanan Terburuk
Riset yang dirilis oleh Microsoft ini, tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk. Survei yang sudah memasuki tahun kelima tersebut mengamati sekitar 16.000 responden di 32 wilayah, yang diselesaikan selama kurun waktu bulan April hingga Mei 2020.
Survei tersebut mencakup responden dewasa dan remaja tentang interaksi online mereka dan pengalaman mereka menghadapi risiko online. Paling tinggi adalah hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47 persen. Kemudian faktor ujaran kebencian yang naik 5 poin, menjadi 27 persen. Dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13 persen, yang turun sebanyak 2 poin dibanding tahun lalu. Kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong pengguna dewasa dengan persentase 68 persen. Sementara usia remaja disebut tidak berkontribusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada 2020.
MUI Haramkan Ujaran Kebencian di Dunia Maya
Pernyataan kebencian sangat berbahaya dan bertolak belakang dengan ajaran Islam yang menghargai dan menghormati orang lain. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, sebaik-baiknya keadaan adalah menjaga kata-katamu dari semua bahaya mengumpat, mengadu domba, bermusuhan, berdebat, dan lain-lain.
Kajian tersebut yakni, mengenai apa yang diizinkan, yang tidak ada bahaya baginya dan bagi orang lain sama sekali. Jika berbicara yang tidak perlu, maka sesungguhnya telah menyia nyiakan-nyiakan dan telah menggantikan apa yang baik dengan yang buruk. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa bahwa mengharamkan perbuatan ujaran benci, penyebaran hoaks atau semacamnya hingga dengan bermuamalah tanpa mendasar. Dalam fatwa tersebut tertulis: Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan, Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan. Kemudian, menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i. Terakhir menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
Sadar Literasi Digital dan Pendewasaan Bermedia Sosial
Ini membuktikan, perlu ada dorongan dan perhatian khusus untuk membatasi permasalahan tersebut. Dengan menjadi smart netizen dan paham akan sadar ber-Media Sosial. Polemik netizen nakal dapat diminimalisir sejak dini. Edukasi literasi digital perlu digaungkan pemerintah, untuk memberikan pemahaman. Pentingnya peran pemuda mengendalikan manfaat bonus demografi kedepan.
Selain itu, karakter netizen harus terus ditempa sebagai doktrin nasionalis, menjaga nama baik Bangsa Indonesia. Dimulai dengan mengatur emosional diri terhadap kehormatan negara. Hingga doktrin keagamaan berwatak Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Al Wasathiyah (moderat). Karena tak dipungkiri, sejak Indonesia diterpa dengan kondisi pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu, membuat dampak karakter kebanyakan netizen Indonesia semakin sensitif, terhadap respon problem sosial. Sehingga, perlu penanganggulan khusus dari Pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut.