PROPORSI nikah beda agama meningkat dalam konteks global, yang menciptakan ruang-ruang baru untuk hidup berdampingan, sehingga menyebabkan penurunan sekat-sekat budaya dan agama, dan menjadi tantangan bagi agama-agama, karena menimbulkan pertanyaan yang menggelisahkan tentang kemampuan mereka untuk mengelola hubungan antara kesucian perasaan manusia dan kesucian ajaran agama. Sebagian besar pemuka agama membatasi hak-hak kemanusiaan dengan alasan keimanan. Mereka memperingatkan pemeluk agama, terutama perempuan, agar tidak menikah dengan orang di luar agama yang mereka yakini. Akibatnya, banyak pemeluk agama yang masih bersikap seolah-olah agama adalah kelompok yang tertutup.
Di dalam fikih, seorang laki-laki Muslim boleh menikah dengan perempuan non-Muslim. Namun, menurut fatwa para ulama dan sejumlah lembaga keagamaan, tidak diperbolehkan bagi seorang perempuan Muslim untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim dengan alasan “supaya tidak lahir dari rahim seorang perempuan Muslim anak yang tidak memeluk agama Islam”, dan juga untuk mencegah penyebaran orang-orang non-Muslim di kalangan umat Muslim. Dalam konteks yang sama, fikih menerima pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan seorang perempuan non-Muslim dengan tujuan untuk memperbanyak jumlah umat Muslim, dan pernikahan ini kadang-kadang dianggap sebagai semacam jihad di jalan Allah (al-jihâd fî sabîlillâh).
Jika agama mengharamkan pernikahan seorang perempuan Muslim dengan laki-laki non-Muslim dengan dalih bahwa laki-laki Kristiani atau Yahudi adalah musyrik atau kafir, lalu bagaimana ia dapat menerima sekaligus pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Kristiani atau Yahudi dengan alasan bahwa ia dari Ahli Kitab? Jelas, ini adalah adalah kontradiksi yang nyata.
Faktanya, tidak ada teks al-Qur`an yang secara eksplisit membahas masalah ini, tetapi terkait dengan pendapat para ahli fikih, dan mungkin juga dengan budaya. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa peran perempuan dalam pernikahan adalah subordinatif, sehingga pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Kristiani atau Yahudi dapat diterima atau dibolehkan dengan alasan bahwa laki-lakilah yang akan memaksakan keyakinan terhadap istri dan anak-anaknya, sedangkan sebaliknya tidak diterima atau tidak diperbolehkan.
Pandangan ini menimbulkan sejumlah masalah. Pertama, relasi perkawinan dibangun dalam kerangka prinsip subordinasi, bukan partisipasi dan kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Kedua, diasumsikan bahwa salah satu pihak di dalam rumah tangga harus memaksa pihak lain untuk memeluk agamanya. Ketiga, perkawinan dianggap sebagai proyek prokreasi yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah penganut agama tertentu dengan mengesampingkan agama yang lain, seolah-olah itu adalah pertandingan antara dua tim di mana tim yang jumlahnya meningkat lebih banyak akan menang!
Dan yang paling penting adalah mengabaikan fakta bahwa perempuan Muslim adalah manusia yang bebas dengan seluruh haknya, dan bahwa ia memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya terlepas dari interpretasi agama—apakah itu interpretasi yang melarang atau mendukung.
Di sini, sebenarnya, kita tidak berbicara tentang perempuan Muslim di Indonesia secara khusus, tetapi berbicara tentang perempuan Muslim secara umum. Mungkin ada yang mengatakan bahwa perempuan Muslim di Indonesia memiliki banyak pilihan dalam masyarakat mayoritas Muslim dalam hal pernikahan, dan ini mungkin benar, tetapi itu tidak menafikan haknya untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim jika ia mau.
Tetapi bagaimana dengan perempuan Muslim di dalam masyarakat non-Muslim, semisal di Amerika Serikat, di mana umat Muslim berjumlah sekitar 1% dari populasi. Ini berarti bahwa perempuan Muslim di Amerika Serikat akan bertemu 99 laki-laki non-Muslim berbanding 1 laki-laki Muslim dalam hidupnya. Atau di negara-negara seperti Lebanon, di mana ada beragam aliran agama, dan dengan keragamannya, peluang untuk terjalinnya hubungan di antara para anggota aliran-aliran ini sangat besar.
Bagaimana jika seorang perempuan Muslim ingin menikah dengan laki-laki non-Muslim? Bukankah ia setidaknya berhak secara hukum untuk melakukannya? Di sini kita sebaiknya berhenti berbicara tentang pernikahan sebagai masalah agama, dan membicarakannya dari perspektif sipil dan hak asasi manusia. Perkawinan sebagai masalah agama tunduk pada interpretasi dan aturan-aturan para ulama, yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Tunisia, misalnya, membolehkan pernikahan seorang perempuan Muslim dengan laki-laki non-Muslim, sementara di Mesir masih tidak diperbolehkan dari sudut pandang hukum syariat, menurut pandangan ulama Al-Azhar.
Perkawinan adalah hak asasi manusia yang diatur dalam Konvensi Internasional dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam Pasal 16 yang mengakui hak untuk menikah dan membentuk keluarga bagi laki-laki dan perempuan, tanpa batasan ras, kebangsaan, atau agama.
Dengan demikian, seorang perempuan, apakah ia Muslim atau Kristiani, atau apa pun agamanya, adalah manusia dewasa dengan hak penuh, dan salah satu haknya adalah memilih pasangan hidupnya, meskipun ini tidak sesuai dengan interpretasi lembaga keagamaan. Dengan demikian, peran negara hanyalah memungkinkannya untuk menggunakan hak ini melalui perkawinan sipil. Persoalannya di sini bukanlah penafsiran teks-teks agama melainkan pengakuan hak-hak ini oleh negara dan masyarakat.
Bersambung . . .