Dijelaskan pada tulisan sebelumnya Otoritas Politik dalam Negara Khilafah (1) bahwa aktivitas praktis pemerintahan Islam, secara umum hanya terpusat pada satu ras tertentu, dan secara khusus pada keluarga Nabi Saw. Inilah yang mendorong upaya para khalifah untuk memerangi negara-negara lain guna melindungi hak kekuasaan atau menambah kekuatan dan mengembangkan sumber penghasilan.
Kendati tujuan ekspansi-ekspansi yang dilakukan untuk menyebarkan Islam, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Orang-orang Mesir, sebagai contoh, tetap memeluk agama lama mereka selama lebih dari tiga abad setelah ekspansi Islam, kemudian di Andalusia banyak dari penduduk yang masih memeluk agama Kristen selama pemerintahan Islam yang berlangsung selama tujuh abad.
Meskipun non-Muslim tidak mendapat tekanan secara sebenarnya di bawah pemerintahan Islam di negara-negara taklukan, tetapi keadaan mereka tetap dibedakan dengan orang-orang Arab. Benar bahwa mereka bebas melakukan ritual-ritual keagamaan, namun mereka sama sekali tidak bebas melaksanakan hak-hak politik atau sosial seperti membangun tempat-tempat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan secara terang-terangan. Akibatnya, para warga tertindas membuat aliran-aliran keagamaan khusus, dan banyak dari mereka—setelah masuk Islam—mengaku-ngaku Nabi dengan tujuan mendapatkan kekuasaan atau harapan untuk mendapat keselamatan.
Banyak dari para khalifah dengan orang-orang kepercayaan, para menteri serta para hakimnya yang anti terhadap pendidikan atau kebudayaan luhur di luar Islam. Mereka melarang pendidikan, mereka lebih suka kebodohan, mereka membatasi hak warga negara meskipun Muslim sekalipun hanya sekedar menghafal ayat-ayat al-Qur`an dan beberapa hadis Nabi, di samping tentunya memberangus pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ahli fikih.
Demikianlah kita melihat bagaimana otoritas politik dalam negara Khilafah nampak bertentangan dengan al-Qur`an. Harus diakui bahwa prinsip-prinsip dasarnya memang banyak diambil dari al-Qur`an. Misalnya “Lâ hukma illâ Allâh”, dari sini kemudian muncul apa yang kita kenal dengan “hâkimiyyatullâh” yang seringkali diulang-ulang oleh para khalifah—setelah masa-masa al-Khulafâ` al-Râsyidîn—agar menjadi bagian dari agama Islam, menjadi topeng yang menutupi tujuan-tujuan pribadi mereka, dan menjustifikasi kezhaliman-kezhaliman mereka terhadap rakyat.
Padahal kata “al-hukm” di dalam al-Qur`an tidak bermakna otoritas politik (al-sulthah al-siyâsîyyah), atau makna yang saat ini lagi berkembang. Kata-kata “Lâ hukma illâ Allâh” (tiada hukum kecuali Allah) dengan makna yang politis, sebenarnya bukan dari Islam, al-Qur`an juga tidak mengenalnya. Pandangan semacam ini sama seperti pandangan yang muncul pada masa Mesir kuno, kemudian menyebar dalam masyarakat-masyarakat Kristen di abad-abad petengahan.
Kata “al-hukm” dalam bahasa al-Qur`an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [QS. al-Nisa`: 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [QS. al-Zumar: 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah [QS. al-Syu’ara`: 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.
Al-Qur`an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata “al-amr”. Dari kata ini kemudian muncul “al-amîr”, yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan, makanya Umar ibn al-Khatthab menyebut dirinya Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman) yang juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib).
Sebenarnya, apapun itu bentuk negara, tidak menjadi soal. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika otoritas politik dijadikan senjata ampuh untuk memeras dan menindas rakyat. Tujuan utama pendirian sistem politik bukanlah penguasaan, atau pemaksaan atau penundukan rakyat untuk kepentingan para penguasa, tetapi pembebasan dari rasa takut, sehingga setiap orang dapat hidup dalam keadaan damai. Tujuan dari sistem politik bukan mengubah manusia menjadi sebatas hewan-hewan atau alat-alat, tetapi untuk mencapai keselamatan akal dan tubuh, artinya bahwa sebenarnya tujuan daripada sistem politik adalah kebebasan.
Di dalam masyarakat munculnya kekuasaan bisa dari kelompok atau dari sebagian orang atau dari satu orang. Setiap orang mempunyai hukumnya sendiri dan boleh memasrahkan haknya kepada otoritas negara tanpa harus melepaskan kebebasannya dalam berpikir dan menyampaikan pendapat, tentu saja dengan syarat harus berpijak pada akal, bukan pada penipuan atau penghianatan, serta tidak didorong oleh perasaan dendam dan perasaan benci. Setiap orang bisa mengutarakan apa yang dipikirkannya tanpa mengganggu keselamatan negara dan keamanan internalnya.
Selama negara masih berpijak pada keadilan, setiap warga negara harus menerima segala ketentuan yang telah ditetapkan, meskipun mungkin ketentuan-ketentuan tersebut berlawanan dengan pendapat pribadinya. Artinya, negara masih menerima kebebasan orang lain, dan keputusan-keputusan yang diambil muncul dari kesepakatan masyarakat, kendati ada beberapa orang yang tidak sepakat. Adalah lumrah kalau percaturan politik selalu saja dilalui dengan pertentangan pendapat yang begitu “keras” dan “panas”, namun ketika sudah diputuskan, maka harus diikuti. Ini sama dengan sebuah kasus di masa Nabi ketika beliau kalah dalam memenangkan pendapatnya.
Tetapi, adakah pendapat-pendapat yang akan mengancam keutuhan negara? Jelas ada, yaitu pendapat-pendapat yang mengancam dengan melepaskan ikatan yang dengannya para warga memasrahkan hak mereka kepada negara, misalnya pendapat-pendapat anarkis yang disertai tindakan-tindakan anarkis pula. Sedangkan pendapat-pendapat yang tidak membawa konsekuensi praktis yang mengancam keselamatan negara tidak dianggap sebagai tindak kejahatan, kecuali bila negara tersebut dipimpin oleh seorang fanatis dan bodoh yang memang hendak menteror manusia.